Kamis, 04 Desember 2014

Sesat Pikir Seleksi KPK

                                            Sesat Pikir Seleksi KPK

Feri Amsari  ;   Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas; Alumnus William and Mary Law School
MEDIA INDONESIA,  03 Desember 2014

                                                                                                                       


SELEKSI pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berada di jalur rumit. Kerumitan itu terjadi karena Komisi III DPR memiliki dua opsi terhadap pemimpin KPK pengganti Busyro Muqoddas yang masa jabatannya segera berakhir.Kedua opsi DPR itu mengandung bahaya tersembunyi bagi lembaga antirasywah tersebut.

Kedua opsi itu ialah pertama, DPR tidak akan memilih salah satu dari dua calon Pemimpin KPK (Busyro Muqoddas atau Roby Arya Brata) yang dihasilkan dari proses fit and proper test yang dilakukan tim seleksi bentukan pemerintah. Dengan pilihan itu, KPK akan dipimpin empat pemimpin tanpa memerlukan pengganti Busyro Muqoddas. Pilihan itu berbahaya jika menilik ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a UU Nomor 30/ 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (baca: KPK) yang menyebutkan bahwa pemimpin KPK terdiri dari lima anggota.

Tanpa kelima anggota pemimpin KPK yang lengkap, keputusan pemimpin KPK tidak dapat dilakukan menurut Pasal 21 ayat (5) UU KPK. Menurut ketentuan itu, pemimpin KPK bekerja secara kolektif, yaitu setiap keputusan harus diputuskan secara bersama-sama oleh pemimpin KPK. Ketentuan tersebut tentu saja dapat ditafsirkan bahwa tanpa kehadiran lima pemimpin KPK secara lengkap, maka putusan yang diambil memiliki cacat hukum.

Karena itu, walaupun ditafsirkan bahwa kata kolektif (bersama) pada Pasal 21 UU KPK bermakna putusan dapat diambil pemimpin KPK yang tersisa (empat orang), kelemahan lain dapat pula terjadi. Potensi rapat pemimpin KPK mengalami deadlock putusan menjadi terbuka luas jika dengan empat orang pemimpin. Keputusan itu dapat berakhir dengan suara dua berbanding dua apabila KPK dipimpin empat komisioner. Jumlah suara yang berimbang itu membuat pemimpin KPK tidak dapat mengambil keputusan.

Opsi kedua, DPR akan memilih satu pemimpin KPK yang baru, tetapi hanya akan memegang jabatan selama satu tahun. Dengan opsi itu, kelima pemimpin KPK akan mengakhiri masa jabatan secara bersamaan. Pilihan tersebut mengesampingkan masa jabatan berkala (staggered terms) terhadap pemimpin KPK yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011. Keputusan tersebut menyebabkan pemimpin KPK tidak mengakhiri masa jabatannya secara serentak.

Menurut putusan MK itu, pemimpin KPK, baik yang diangkat bersamaan maupun pengganti akan memegang masa jabatan selama empat tahun. Putusan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UU KPK. Apabila DPR memaksa pemimpin KPK yang baru hanya menjabat selama satu tahun agar lima pemimpin dapat berhenti serentak, pilihan itu bertentangan dengan Putusan MK dan UU KPK.

Masa jabatan berkala

Masa jabatan berkala diberlakukan kepada pemimpin KPK sebagai ketentuan yang konstitusional. Menurut MK, pola masa jabatan berkala akan membantu kesinambungan kinerja pemimpin KPK. Sehingga, ketika empat pemimpin KPK berakhir masa jabatannya, maka masih terdapat satu pemimpin yang lama menjabat. Pemimpin yang lama tersebut ditujukan sebagai `penunjuk jalan' mekanisme kerja bagi empat pemimpin yang baru.Dengan pola masa jabatan seperti itu, pemimpin KPK yang baru tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi terhadap kerja pemberantasan korupsi karena pemimpin lama dapat memberikan petunjuk.

Pola masa jabatan berkala itu juga berfungsi memecah kebuntuan (deadlock) putusan. Sehingga, ketika kelima pemimpin KPK tidak memiliki keputusan yang mayoritas saat posisi suara dua berbanding dua dengan satu suara abstain, maka pergantian pemimpin yang baru dapat mengubah kebuntuan tersebut. Kehadiran orang baru akan membuat keputusan KPK dapat diimplementasikan dalam bentuk tindakan konkret pemberantasan korupsi.

Secara hukum, pola masa jabatan berkala tersebut sesungguhnya telah diakomodasi pada ketentuan Pasal 30 ayat (9) UU KPK. Menurut pasal tersebut, pemerintah melalui tim seleksi diminta memberikan jumlah calon pemimpin KPK sebanyak dua kali dari jumlah jabatan yang dibutuhkan. Ketentuan itu bermakna bahwa seleksi pemimpin KPK tidak selalu untuk menyeleksi lima pemimpin KPK.

Jika ketentuan itu mengharuskan setiap seleksi akan menghasilkan lima pemimpin, pasal tersebut tentu akan meminta tim seleksi untuk memberikan sepuluh nama yang dipilih DPR menjadi lima pemimpin KPK. Namun, faktanya Pasal 30 ayat (9) UU KPK tetap membuka ruang seleksi sesuai kebutuhan kursi kosong pemimpin KPK. Artinya, suatu saat KPK dapat saja memilih satu atau lebih calon pemimpin KPK yang menurut Pasal 21 UU KPK memegang masa jabatan empat tahun. Meskipun masa jabatan itu empat tahun, tetapi berdasarkan Putusan MK dan UU KPK bahwa pemimpin KPK akan mengakhiri jabatan pada tahun yang berbeda.Itulah yang disebut masa jabatan berkala (staggered terms).

Menurut William Funk and Richard Seamon, salah satu ciri lembaga independen ialah penerapan masa jabatan berkala terhadap pemimpin lembaga (2009; H 9). Dengan demikian, putusan MK sudah tepat, baik secara teori dan peraturan perundang-undangan ketika menerapkan masa jabatan berkala kepada pemimpin KPK.

Pelanggaran konstitusional

DPR melakukan pelanggaran konstitusional jika tidak memilih pengganti Busyro Muqoddas tepat waktu atau memilih satu pemimpin dengan masa jabatan satu tahun saja. Dua pilihan DPR itu bertentangan dengan ketentuan UU KPK dan Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011 yang menerapkan staggered terms dengan masa jabatan empat tahun bagi seluruh pemimpin KPK.

Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat (binding) bagi DPR. Kajian hukum tata negara menyebutkan bahwa Putusan MK merupakan tafsir resmi konstitusional dari sebuah peraturan perundangundangan yang harus dipatuhi DPR. Apabila anggota DPR tidak mematuhi isi putusan MK tersebut, tindakan anggota merupakan pengabaian pelaksanaan UUD 1945 dan tidak menaati ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut ketentuan Pasal 81 huruf b, 
Pasal 237 ayat (1), dan Pasal 238 UU Nomor 17/ 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, dan (MD3), jika tindakan anggota DPR mengabaikan UUD 1945 dan tidak menaati ketentuan peraturan perundang-undangan (termasuk ketentuan Putusan MK final dan mengikat), anggota DPR tersebut dapat dikenakan sanksi pemberhentian.

Jika Komisi III DPR bermain mata dengan melakukan tarik ulur seleksi pemimpin KPK, publik dapat melakukan pelaporan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memberhentikan anggota DPR tersebut. Hati-hatilah anggota Dewan yang terhormat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar