Laporan Pendidikan dan Kebudayaan
Revitalisasi
Peradaban Kepulauan
|
KOMPAS,
17 Desember 2014
PRESIDEN
Joko Widodo mencuatkan istilah revolusi mental menyusul kemudian istilah Indonesia
sebagai poros maritim dunia. Beragam lapisan masyarakat, beragam golongan,
beragam profesi, dan sebagainya, secara gegap gempita menanggapinya, termasuk
para budayawan. Mereka menggelar Temu Akbar II Mufakat Budaya Indonesia, di
Jakarta, 28-30 November 2014.
Temu
akbar itu menghasilkan Deklarasi Teluk Jakarta 2014 Mufakat Budaya Indonesia
dengan empat rekomendasi. Pada bagian pengantarnya, secara tegas diungkapkan,
studi-studi sejarah dan arkeologi memberikan petunjuk bahwa kepulauan
Indonesia pernah menjadi salah satu pusat peradaban bahari dunia.
Itu
untaian kalimat pembuka pertama di dalam deklarasi. Sepertinya, ini merujuk
pada salah satu paparan narasumber Sidang Komisi I Temu Akbar II Mufakat
Budaya Indonesia tersebut, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada, Daud Aris Tanudirjo.
Temuan
sejumlah artefak di pelabuhan purba di India dan Afrika Timur menunjukkan,
sejak 5.000 tahun yang lalu sudah terdistribusikan hasil bumi di wilayah
Austronesia (Asia Tenggara, termasuk Indonesia) ke India dan Afrika. Artefak
pasak kayu jati, misalnya, ditemukan di beberapa pelabuhan purba di India.
Dari
situlah kemudian Deklarasi Teluk Jakarta 2014 dikembangkan. Indonesia dinilai
perlu merevitalisasi peradaban kepulauan sebagai dasar kebudayaan bangsa.
Peradaban kepulauan yang mengandung arti kesatuan darat dan laut. Laut dan
darat yang tidak dipisahkan. Memadukan budaya laut dan pulau melahirkan
budaya Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut
Daud, peradaban kepulauan memang memiliki fokus memadukan pembangunan di laut
dan di darat yang saling mendukung. Ada pola distribusi dendritik melalui
poros maritim, yaitu ketika setiap daerah berhasil mengembangkan dan memiliki
produk unggulan untuk didistribusikan ke antarpulau.
Ada
mobilitas tinggi di wilayah kepulauan. Masyarakat pesisir berperan sebagai
perantara. Peran mereka menyebabkan pergaulan lebih terbuka, egalitarian,
toleran, penuh inisiatif, progresif, dan berjiwa merdeka. Nilai-nilai ini
yang ditekankan Daud untuk diraih kembali. Secara kekinian, nilai itulah yang
harus diraih melalui revolusi mental Jokowi (Presiden Joko Widodo).
Tuntutan perubahan
Bhinneka
Tunggal Ika, yang bermakna ’berbeda-beda tetapi tetap satu jua’, dikukuhkan
menjadi tempat berpijaknya perubahan melalui revitalisasi peradaban kepulauan.
Ada tuntutan perubahan nilai-nilai moral menjadi sikap pergaulan lebih
terbuka, egalitarian, toleran, penuh inisiatif, progresif, berjiwa merdeka.
Pembangunan
semestinya memperhatikan keseimbangan laut dan darat. Kebudayaan menjadi
strategi untuk menjawab tantangan zaman dengan prasyarat memberikan ruang
untuk menumbuhkan kemajemukan, keanekaragaman kebudayaan. yang mempertemukan
dan memperlakukan secara setara ratusan suku bangsa, ragam penganut agama,
dan kepercayaan.
”Inilah
landasan demokrasi kita,” kata Radhar Panca Dahana, penggagas Temu Akbar
Mufakat Budaya Indonesia ini.
Sebelumnya,
pada Temu Budaya I dihasilkan Deklarasi Cikini 2009. Menilik kalimat pembuka
Deklarasi Cikini 2009, dinyatakan secara lugas, ”Apa yang terjadi di
Indonesia masa kini adalah kebingungan dan kekeliruan yang akut di semua
level dan elemen kehidupan kita.”
Lebih
lanjut, dinyatakan, hal itu diakibatkan peran negara yang terlampau dominan
dan menafikan publik dalam semua pengambilan keputusan yang dilandasi pendekatan
kebudayaan agraris, orientasi kedaratan atau kontinental. Orientasi dan
tradisi ini hasil kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-17
melalui cara mencangkokkan budaya.
Tidak
mengherankan. Di dalam lima butir rekomendasinya, pada rekomendasi pertama,
secara tegas dinyatakan, ”Menolak (dan mendesak dihentikannya) proses-proses
berkebudayaan dengan implikasinya dalam kehidupan hukum, politik, ekonomi,
dan seterusnya, yang dilakukan dengan cara mencangkokkan begitu saja sistem
nilai asing ke dalam kehidupan rakyat Indonesia di semua dimensinya.”
Dilanjutkan,
rekomendasi kedua, mengembalikan cara-cara kita bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, termasuk di dalamnya tradisi kekuasaan serta praksis politik, pada
kearifan bangsa-bangsa di kepulauan ini yang telah berkembang dan teruji
lebih dari 5.000 tahun.
Deklarasi
Teluk Jakarta 2014 memberikan kesinambungan sebuah tuntutan. Kesinambungan
yang juga sekaligus jawaban atas pendeklarasian butir-butir pemikiran
sebelumnya. Kesinambungan yang bersifat praktis untuk dijalankan.
Rekomendasi
Simak
rekomendasi butir pertama Deklarasi Teluk Jakarta 2014. Kita harus
memperjuangkan lahirnya budaya integratif yang bersifat merangkul, setara,
menerima perbedaan, untuk memadu kerja sama.
Untuk
mengatasi agresivitas dan kekerasan, baik struktural maupun kultural, dalam
interaksi sosial, perlu mengaktualisasikan kembali peran kearifan lokal
sebagai solusi konflik. Dan, seterusnya.
Poros maritim dunia
Presiden
Joko Widodo memaparkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia bukanlah
suatu visi tanpa latar belakang sejarah dan karakter kuat bangsa yang
terpendam sekian lama terdampak kolonialisme berorientasi kultur darat. Poros
maritim dunia bukanlah fatamorgana, melainkan cakrawala berupa garis akhir sejauh
mata memandang dengan perasaan antusiasme dan optimisme.
Dalam
pidato kenegaraan pada Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur, 13 November
2014, di Myanmar, Presiden Joko Widodo mengungkapkan, Indonesia menyadari
sebuah transformasi besar sedang terjadi pada abad ke-21 ini. Pusat gravitasi
geoekonomi dan geopolitik dunia sedang bergeser dari Barat ke Asia Timur.
Negara-negara Asia sedang bangkit.
Laut
akan semakin penting artinya bagi masa depan kita. Jalur laut yang
menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik menjadi jalur penting lalu
lintas perdagangan dunia. Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia merupakan lorong
lalu lintas maritim dunia.
Indonesia
berada tepat di tengah-tengah proses perubahan strategis itu, baik secara
geografis, geopolitik, maupun geoekonomi. Oleh karena itu, Indonesia harus
menegaskan dirinya sebagai poros maritim dunia.
Pandangan
Joko Widodo tidaklah berlebihan. Sebuah dinasti di Trowulan, Jawa Timur, yang
berkembang menjadi kerajaan besar Majapahit, tidak luput dari pandangan-pandangan
kenegaraan berupa Sumpah Palapa yang berskala luas atau global.
Bukan
semata kerja keras yang dibutuhkan. Revolusi mental dibutuhkan. Semangat dan
kerja keras dengan tujuan pasti adalah manifestasi revolusi mental.
Poros maritim dunia adalah cakrawalanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar