Laporan Pendidikan dan Kebudayaan
Berlimpah
“Ladang”, Minim Penelitian
|
KOMPAS,
17 Desember 2014
PENELITIAN
arkeologi sepanjang 2014 menghasilkan beberapa temuan baru yang menonjol.
Meski demikian, pencapaian ini belumlah maksimal karena dihasilkan dalam
kondisi penuh keterbatasan.
Selama
2014, setidaknya ada dua contoh hasil penelitian menonjol yang dihasilkan
para peneliti lokal, pertama tentang terkuaknya hunian sekaligus kuburan
massal Homo sapiens yang usianya lebih dari 14.825 tahun di Goa Harimau, Ogan
Komering Ulu, Sumatera Selatan, dan kedua tentang penemuan data migrasi baru
manusia purba di Situs Sangiran, Jawa Tengah, yang selama ini belum masuk
dalam literatur.
Hingga
Mei 2014, Tim Pusat Arkeologi Nasional berhasil mengekskavasi 78 kerangka
Homo sapiens di Goa Harimau. Yang menarik, dari 78 kerangka itu, empat
individu merupakan ras Australomelanesid dan 74 individu lain adalah ras
Mongoloid. Diduga, pernah ada masa ketika kedua ras ini bertemu dan
berinteraksi.
Sementara
itu, dalam tiga tahun terakhir, di Sangiran, terpantau ada data baru migrasi
manusia purba beserta budayanya setelah migrasi tertua, yaitu pada masa
800.000-an tahun lalu. Hal ini terdeteksi dari keberadaan kapak-kapak genggam
dan pembelah yang merupakan ciri khas peralatan di Afrika.
Arkeolog
prasejarah Prof Harry Truman Simanjuntak mengatakan, migrasi ini
disebut-sebut sebagai Out of Africa kedua yang melengkapi teori migrasi
tertua pertama Out of Africa saat Homo erectus keluar dari Afrika 1,8 juta
tahun lalu. ”Kapan Out of Africa kedua keluar dari Afrika belum diketahui
secara pasti, entah itu 1,1 juta tahun lalu atau 1,2 juta tahun lalu. Yang
jelas, mereka sampai di Indonesia bersamaan dengan Tiongkok sekitar 800.000
tahun lalu,” kata Truman akhir November lalu.
Budaya
migrasi kedua manusia purba ini terus berkembang pada periode selanjutnya
walaupun tidak mampu menggantikan budaya yang tertua. Dari sisi teknologi,
model teknologi generasi kedua memang lebih canggih dengan teknik pangkasan
kapak yang lebih baik dan bentuk simetris yang menarik.
Akan
tetapi, rupanya alat-alat seperti ini tak terlalu dibutuhkan di kawasan
Indonesia. Hal itu karena bahan peralatan tersedia melimpah di mana-mana
sehingga manusia purba saat itu tidak perlu membawa alat ke mana-mana.
Dua
penemuan, baik di Goa Harimau maupun Sangiran, menurut Truman sangat penting
dan masih perlu terus diselidiki. Sebetulnya masih banyak situs-situs lain
yang jika diteliti secara intensif bisa didapatkan hasil-hasil luar biasa.
”Budaya
di pesisir timur Sumatera bagian utara mulai dari Medan hingga Aceh,
misalnya, terdapat bukti-bukti adanya migrasi dan kontak budaya dengan Asia
Tenggara daratan sekitar awal masehi hingga pertengahan holosen 5.000-6.000
tahun lalu. Jika ini diteliti, akan ditemukan data-data baru lagi tentang
kehidupan periode tersebut paling tidak sejak akhir zaman es,” katanya.
Contoh
lain adalah Situs Kalumpang di Sulawesi Barat yang jika diteliti lebih lanjut
akan membuka perspektif baru tentang asal-usul leluhur langsung bangsa
Indonesia. Karena sampai saat ini, Kalumpang dipercaya sebagai situs neolitik
tertua pada masa 3.800 hingga sekitar 4.000 tahun lalu.
Terbentur keterbatasan
Namun,
banyaknya ”lahan” penelitian itu rupanya terbentur dengan
keterbatasan-keterbatasan yang akhirnya tidak memungkinkan para peneliti
untuk bisa bekerja secara maksimal. Salah satu hambatan serius adalah
minimnya dana penelitian.
Mantan
Kepala Pusat Arkeologi Nasional Bambang Sulistyanto mengungkapkan, selama
2014, total dana yang dikucurkan negara untuk Pusat Arkeologi Nasional Rp 20
miliar. Dari dana itu, alokasi untuk penelitian hanya Rp 7,5 miliar dan
sisanya untuk kebutuhan lain.
”Saya
sering diprotes teman-teman peneliti kenapa dana penelitian sangat kecil.
Mereka butuh dana cukup, tetapi saya tidak bisa memberi karena kucuran dana
dari pemerintah memang sangat sedikit,” ujarnya.
Bambang
berharap ke depan pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk penelitian
arkeologi. Melihat luas wilayah Indonesia beserta keberadaan cagar budaya dan
situs yang sangat banyak, idealnya tersedia dana penelitian Rp 25 miliar
setahun yang dialokasikan khusus untuk kebutuhan penelitian.
Selama
ini, dalam setiap penelitian besar, rata-rata hanya tersedia dana sekitar Rp
250 juta. Karena terbatasnya anggaran, para peneliti menggandeng peneliti
dari luar negeri dengan konsekuensi penemuan-penemuan besar akhirnya harus
muncul dalam kerja sama internasional, bukan hasil penelitian murni peneliti
dalam negeri.
Oktober
lalu, Adam Brumm, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Universitas
Wollongong, Australia, bersama Maxime Aubert, peneliti dari Unit Evolusi
Peradaban dan Seni Cadas Universitas Griffith, menyampaikan hasil penelitian
usia lukisan goa di Maros, Sulawesi Selatan, yang menguak misteri kehidupan
manusia prasejarah di Indonesia periode 40.000-an tahun lalu. Penelitian ini
memang melibatkan banyak pihak, mulai dari Pusat Arkeologi Nasional,
Universitas Wollongong, Australia, Universitas Griffith, Australia, Balai
Peninggalan Cagar Budaya Makassar, dan Balai Arkeologi Makassar, tetapi
seluruh dana pembiayaan penelitian ini berasal dari Australia.
Meski
terkadang harus melibatkan pihak luar dalam penelitian, Truman yakin,
persoalan penelitian sebenarnya bukan pada kemampuan, melainkan semata-mata
masalah kesempatan saja. Karena dana dan fasilitas minim, dinamika penelitian
dalam negeri kurang maksimal.
Dengan
kondisi seperti ini, langkah kerja sama dengan peneliti luar negeri terpaksa
harus diambil. Dengan catatan, para peneliti harus tegas menghadapi mitra
asing.
Jangan
sampai peneliti dari luar negeri mencari peluang untuk kepentingan sendiri
tanpa berlandaskan etika, seperti yang pernah terjadi pada kasus Liang Bua,
Flores, ketika hasil penelitian justru diumumkan peneliti asing secara
sepihak di Sydney, Australia.
Selain
menggandeng peneliti luar negeri, untuk menyiasati minimnya pendanaan, para
peneliti kadang menerapkan strategi penghematan dari 2 x 15 hari penelitian
selama dua tahun menjadi 1 x 21 hari penelitian setahun. Berdasarkan
evaluasi, hasil penelitian 2 x 15 hari selama dua tahun jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan 1 x 21 hari setahun. Dari sisi biaya, penelitian selama 2
x 15 hari selama dua tahun juga jauh lebih mahal dibandingkan dengan
penelitian satu kali setahun selama 21 hari.
”Dengan
waktu penelitian yang lebih lama meski hanya setahun sekali, biayanya jauh
lebih murah, hanya kurang dari setengah biaya penelitian dua kali selama dua
tahun. Biaya transportasi, misalnya, jauh banyak terpotong. Strategi seperti
ini sudah kami perjuangkan, tetapi memang tidak mudah,” kata Truman.
Bambang menambahkan, dalam waktu dekat, apabila anggaran penelitian
tidak digenjot banyak situs dan cagar budaya di Indonesia yang semakin
telantar. Ia juga mengungkapkan, sekarang banyak peneliti Indonesia yang lari
ke luar negeri karena kesempatan dan fasilitas penelitian di sana jauh lebih
menjanjikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar