Laporan Pendidikan dan Kebudayaan
Asa di
Pendidikan Tinggi
|
KOMPAS,
17 Desember 2014
PRO
kontra tepatkah pendidikan tinggi yang semula di bawah Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan bergabung dengan Kementerian Riset dan Teknologi menemukan
ujungnya saat Presiden Joko Widodo mengumumkan susunan menterinya dalam
Kabinet Kerja pada Oktober lalu. Hasilnya, lahirlah Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti). Penggabungan ini
memberikan harapan sekaligus tantangan bagi pendidikan tinggi Indonesia.
Saatnya
pendidikan tinggi di Indonesia menunjukkan eksistensinya sebagai institusi
yang mampu menghasilkan manusia Indonesia berilmu yang berperan dalam
pembangunan bangsa dan negara dalam menghadapi tantangan global.
Meskipun
masih ada tanda tanya besar bagaimana wajah pendidikan tinggi Indonesia ke
depannya, pertukaran pikiran yang berkembang mulai mengarah untuk membuat
perguruan tinggi di bawah Kemenristek dan Dikti menjadi penghasil ilmu
pengetahuan dan inovasi yang bisa membawa Indonesia melesat maju. Tantangan
yang segera dijawab adalah membuat bangsa ini mandiri dengan inovasi-inovasi
yang dihasilkan ilmuwan Indonesia, di antaranya lebih dari 186.000 dosen,
guna menjawab berbagai persoalan yang masih membelit negeri ini.
Menyambut
semangat terbentuknya Kemenristek dan Dikti, kini kata hilirisasi dan
komersialisasi riset selalu terselip dalam pernyataan Menristek dan Dikti
Muhammad Nasir, dalam berbagai kesempatan pertemuan atau acara dengan
perguruan tinggi. Semangat penggabungan ini dilandasi untuk membuat perguruan
tinggi tidak lagi menjadi ”menara gading”, tetapi dapat berperan nyata dalam
persoalan bangsa untuk kemajuan bangsa.
Riset-riset
perguruan tinggi ditargetkan tidak terhenti untuk publikasi di jurnal ilmiah
atau pengurusan hak kekayaan intelektual. Pekerjaan berikutnya, dengan
dukungan Kemenristek dan Dikti, riset-riset harus dikembangkan menjadi
inovasi yang bisa dipakai masyarakat dan dunia usaha memajukan Indonesia
dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan anak-anak
bangsa yang ada di perguruan tinggi. Inilah hilirisasi dan komersialisasi
riset yang diharapkan membuat Indonesia bisa unggul karena sumber daya alam
yang ada dikembangkan berbasis riset dan teknologi untuk memberi nilai tambah
sehingga meningkatkan pundi-pundi pendapatan negara.
Sekretaris
Ditjen Dikti Kemenristek dan Dikti Patdono Suwignjo pernah menyatakan pekan
lalu, peningkatan alokasi dana penelitian di perguruan tinggi pada 2015 yang
mencapai Rp 1,7 triliun memungkinkan penelitian inovatif dikembangkan oleh
dosen dan peneliti di perguruan tinggi. Dana penelitian yang diberikan untuk
setiap penelitian inovatif di perguruan tinggi dapat mencapai Rp 20 miliar.
Peningkatan
dana penelitian bersumber dari bantuan operasional perguruan tinggi negeri
(BOPTN) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Alokasi dana BOPTN pada
2015 berkisar Rp 4,5 triliun, naik dari tahun ini yang besarnya sekitar Rp 3
triliun. Dengan demikian, penelitian tak lagi terhenti pada paten atau
prototipe skala laboratorium, tetapi harus dilanjutkan sehingga bisa
dimanfaatkan masyarakat dan dunia usaha atau industri.
Dorongan
untuk menghasilkan penelitian inovatif juga dengan memberikan penghargaan
kepada dosen atau peneliti dan masyarakat yang menghasilkan karya luar biasa.
Penghargaan itu berupa program ”Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa
Tahun 2014”.
Ilmuwan sosial
Pengembangan
riset menjadi inovasi untuk bangsa bukan melulu monopoli perguruan tinggi
sains dan teknologi. Ilmuwan sosial hingga seni dan budaya juga didorong
berkontribusi untuk melahirkan kajian-kajian yang mendorong berkembangnya
ilmu pengetahuan dan solusi yang tepat atas beragam persoalan bangsa yang membutuhkan
penyelesaian segera.
Hambatan-hambatan
riset yang membelenggu perguruan tingi dan lembaga penelitian dijanjikan
segera diatasi, terutama soal kebijakan penggunaan anggaran negara, yang
salah satunya membuat insentif untuk peneliti bisa jadi dianggap ilegal.
Lalu, hubungan dengan dunia usaha dan industri bakal direkatkan dengan
membangun kesepahaman bersama yang berujung pada kerja sama untuk
mengaplikasikan riset yang sesuai kebutuhan industri di dalam negeri.
Optimisme
untuk berkembangnya riset di perguruan tinggi yang sering kali jadi ”karya
sunyi” ilmuwan kampus mulai tumbuh. Direktur Kemitraan dan Inkubator Bisnis
Universitas Indonesia Wiku Adisasmito meyakini produktivitas penelitian di
perguruan tinggi bakal berkembang, asal hambatan insentif untuk peneliti yang
dapat menggairahkan hasrat meneliti bisa dipangkas.
”Namun,
untuk bisa komersial, dipakai dunia usaha dan industri maupun pemerintah
daerah, masih jadi tantangan. Ini perlu lagi koordinasi dengan kementerian
terkait. Harapannya, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
bisa memahami ini dan segera bergerak membangun sinergi,” ujar Wiku.
Ketua
Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia yang juga Rektor Institut
Pertanian Bogor Herry Suhardiyanto mengatakan, dengan kuatnya riset,
pendidikan di ruang-ruang kuliah menjadi up to date. Dengan demikian, ilmu
pengetahuan berkembang dan merangsang pemikiran-pemikiran yang terus bergerak
maju. Tridarma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat, menjadi kekuatan yang mendorong perguruan tinggi
benar-benar sebagai pusat keunggulan yang menopang kemajuan bangsa.
Masih terbelenggu
Di
tengah optimisme yang menyeruak, terutama harapan hasil-hasil riset perguruan
tinggi tidak lagi teronggok sebagai ”karya sunyi”, ada persoalan tak kalah
pentingnya, yakni kemampuan melahirkan manusia berilmu dan ilmuwan unggul
hasil pendidikan di perguruan tinggi. Di perguruan tinggilah manusia berilmu
yang bakal menjadi penghasil inovasi itu dididik, mulai dari sikap atau
karakter, pengetahuan, hingga keterampilannya.
Namun,
gerak langkah perguruan tinggi di Indonesia masih terbelenggu persoalan dasar
kuantitas dan kualitas. Daya saing perguruan tinggi Indonesia masih jadi
pekerjaan berat yang harus segera dituntaskan. Dari total 3.485 perguruan
tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta di Indonesia, berdasarkan penilaian
Quacquarelli Symonds (QS) University Rankings: Asia 2014, tak satu pun mampu
masuk 50 top universitas bergengsi di Asia.
Bahkan,
perguruan tinggi negeri berstatus badan hukum yang jadi idaman dan lambang
kemajuan sebuah perguruan tinggi di negeri ini saja masih menghadapi
persoalan dalam tata kelola, terutama menyangkut pengelolaan keuangan dari
negara. Sebagian besar lainnya, perguruan tinggi negeri berstatus satuan
kerja, terbelenggu kuat pada aturan birokrasi yang membuat mereka jalan di
tempat.
Masalah
klasik seperti keterbatasan dana, infrastruktur maupun laboratorium
penelitian, hingga kapasitas dosen, menjadi pekerjaan rumah yang mendesak
dilakukan. Penuntasan berbagai persoalan di perguruan tinggi ini menjadi awal
yang menjanjikan untuk membangun kapasitas ilmuwan yang andal di perguruan
tinggi dengan karya-karya cemerlang.
Tanpa
menafikan beragam keterbatasan yang umumnya dihadapi perguruan tinggi di
Indonesia, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi
Hamid mengatakan, kunci utama mendongkrak perguruan tinggi ialah dengan
mengelola sumber daya manusia yang dimiliki. Sebab, perguruan tinggi
mengelola manusia, memproses manusia, yang produknya adalah manusia yang
lebih berkualitas, baik dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
maupun karakter atau akhlaknya.
Tantangan
sumber daya manusia utamanya adalah dosen di perguruan tinggi saat ini, yakni
lulusan S-1 sebesar 23,8 persen, S-2 62,9 persen, dan S-3 hanya 13,3 persen.
Dengan kualifikasi pendidikan dosen berkualifikasi doktor dan juga profesor
yang masih sedikit, wajar pula kalau karya ilmiah yang dihasikan pun masih
terbatas.
Bergabungnya pendidikan tinggi di dalam naungan Kemenristek dan Dikti
seharusnya mampu membuktikan peran baru perguruan tinggi yang lebih nyata
bagi bangsa, bukan lagi ”menara gading”. Embusan angin yang membangun harapan
tersebut tentu saja membutuhkan pembuktian nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar