Rabu, 17 Desember 2014

Asa di Pendidikan Tinggi

                                              Laporan Pendidikan dan Kebudayaan

Asa di Pendidikan Tinggi
KOMPAS,  17 Desember 2014

                                                                                                                       


PRO kontra tepatkah pendidikan tinggi yang semula di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bergabung dengan Kementerian Riset dan Teknologi menemukan ujungnya saat Presiden Joko Widodo mengumumkan susunan menterinya dalam Kabinet Kerja pada Oktober lalu. Hasilnya, lahirlah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti). Penggabungan ini memberikan harapan sekaligus tantangan bagi pendidikan tinggi Indonesia.

Saatnya pendidikan tinggi di Indonesia menunjukkan eksistensinya sebagai institusi yang mampu menghasilkan manusia Indonesia berilmu yang berperan dalam pembangunan bangsa dan negara dalam menghadapi tantangan global.

Meskipun masih ada tanda tanya besar bagaimana wajah pendidikan tinggi Indonesia ke depannya, pertukaran pikiran yang berkembang mulai mengarah untuk membuat perguruan tinggi di bawah Kemenristek dan Dikti menjadi penghasil ilmu pengetahuan dan inovasi yang bisa membawa Indonesia melesat maju. Tantangan yang segera dijawab adalah membuat bangsa ini mandiri dengan inovasi-inovasi yang dihasilkan ilmuwan Indonesia, di antaranya lebih dari 186.000 dosen, guna menjawab berbagai persoalan yang masih membelit negeri ini.

Menyambut semangat terbentuknya Kemenristek dan Dikti, kini kata hilirisasi dan komersialisasi riset selalu terselip dalam pernyataan Menristek dan Dikti Muhammad Nasir, dalam berbagai kesempatan pertemuan atau acara dengan perguruan tinggi. Semangat penggabungan ini dilandasi untuk membuat perguruan tinggi tidak lagi menjadi ”menara gading”, tetapi dapat berperan nyata dalam persoalan bangsa untuk kemajuan bangsa.

Riset-riset perguruan tinggi ditargetkan tidak terhenti untuk publikasi di jurnal ilmiah atau pengurusan hak kekayaan intelektual. Pekerjaan berikutnya, dengan dukungan Kemenristek dan Dikti, riset-riset harus dikembangkan menjadi inovasi yang bisa dipakai masyarakat dan dunia usaha memajukan Indonesia dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan anak-anak bangsa yang ada di perguruan tinggi. Inilah hilirisasi dan komersialisasi riset yang diharapkan membuat Indonesia bisa unggul karena sumber daya alam yang ada dikembangkan berbasis riset dan teknologi untuk memberi nilai tambah sehingga meningkatkan pundi-pundi pendapatan negara.

Sekretaris Ditjen Dikti Kemenristek dan Dikti Patdono Suwignjo pernah menyatakan pekan lalu, peningkatan alokasi dana penelitian di perguruan tinggi pada 2015 yang mencapai Rp 1,7 triliun memungkinkan penelitian inovatif dikembangkan oleh dosen dan peneliti di perguruan tinggi. Dana penelitian yang diberikan untuk setiap penelitian inovatif di perguruan tinggi dapat mencapai Rp 20 miliar.

Peningkatan dana penelitian bersumber dari bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Alokasi dana BOPTN pada 2015 berkisar Rp 4,5 triliun, naik dari tahun ini yang besarnya sekitar Rp 3 triliun. Dengan demikian, penelitian tak lagi terhenti pada paten atau prototipe skala laboratorium, tetapi harus dilanjutkan sehingga bisa dimanfaatkan masyarakat dan dunia usaha atau industri.

Dorongan untuk menghasilkan penelitian inovatif juga dengan memberikan penghargaan kepada dosen atau peneliti dan masyarakat yang menghasilkan karya luar biasa. Penghargaan itu berupa program ”Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa Tahun 2014”.

Ilmuwan sosial

Pengembangan riset menjadi inovasi untuk bangsa bukan melulu monopoli perguruan tinggi sains dan teknologi. Ilmuwan sosial hingga seni dan budaya juga didorong berkontribusi untuk melahirkan kajian-kajian yang mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan dan solusi yang tepat atas beragam persoalan bangsa yang membutuhkan penyelesaian segera.

Hambatan-hambatan riset yang membelenggu perguruan tingi dan lembaga penelitian dijanjikan segera diatasi, terutama soal kebijakan penggunaan anggaran negara, yang salah satunya membuat insentif untuk peneliti bisa jadi dianggap ilegal. Lalu, hubungan dengan dunia usaha dan industri bakal direkatkan dengan membangun kesepahaman bersama yang berujung pada kerja sama untuk mengaplikasikan riset yang sesuai kebutuhan industri di dalam negeri.

Optimisme untuk berkembangnya riset di perguruan tinggi yang sering kali jadi ”karya sunyi” ilmuwan kampus mulai tumbuh. Direktur Kemitraan dan Inkubator Bisnis Universitas Indonesia Wiku Adisasmito meyakini produktivitas penelitian di perguruan tinggi bakal berkembang, asal hambatan insentif untuk peneliti yang dapat menggairahkan hasrat meneliti bisa dipangkas.



”Namun, untuk bisa komersial, dipakai dunia usaha dan industri maupun pemerintah daerah, masih jadi tantangan. Ini perlu lagi koordinasi dengan kementerian terkait. Harapannya, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bisa memahami ini dan segera bergerak membangun sinergi,” ujar Wiku.

Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia yang juga Rektor Institut Pertanian Bogor Herry Suhardiyanto mengatakan, dengan kuatnya riset, pendidikan di ruang-ruang kuliah menjadi up to date. Dengan demikian, ilmu pengetahuan berkembang dan merangsang pemikiran-pemikiran yang terus bergerak maju. Tridarma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, menjadi kekuatan yang mendorong perguruan tinggi benar-benar sebagai pusat keunggulan yang menopang kemajuan bangsa.

Masih terbelenggu

Di tengah optimisme yang menyeruak, terutama harapan hasil-hasil riset perguruan tinggi tidak lagi teronggok sebagai ”karya sunyi”, ada persoalan tak kalah pentingnya, yakni kemampuan melahirkan manusia berilmu dan ilmuwan unggul hasil pendidikan di perguruan tinggi. Di perguruan tinggilah manusia berilmu yang bakal menjadi penghasil inovasi itu dididik, mulai dari sikap atau karakter, pengetahuan, hingga keterampilannya.

Namun, gerak langkah perguruan tinggi di Indonesia masih terbelenggu persoalan dasar kuantitas dan kualitas. Daya saing perguruan tinggi Indonesia masih jadi pekerjaan berat yang harus segera dituntaskan. Dari total 3.485 perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta di Indonesia, berdasarkan penilaian Quacquarelli Symonds (QS) University Rankings: Asia 2014, tak satu pun mampu masuk 50 top universitas bergengsi di Asia.

Bahkan, perguruan tinggi negeri berstatus badan hukum yang jadi idaman dan lambang kemajuan sebuah perguruan tinggi di negeri ini saja masih menghadapi persoalan dalam tata kelola, terutama menyangkut pengelolaan keuangan dari negara. Sebagian besar lainnya, perguruan tinggi negeri berstatus satuan kerja, terbelenggu kuat pada aturan birokrasi yang membuat mereka jalan di tempat.

Masalah klasik seperti keterbatasan dana, infrastruktur maupun laboratorium penelitian, hingga kapasitas dosen, menjadi pekerjaan rumah yang mendesak dilakukan. Penuntasan berbagai persoalan di perguruan tinggi ini menjadi awal yang menjanjikan untuk membangun kapasitas ilmuwan yang andal di perguruan tinggi dengan karya-karya cemerlang.

Tanpa menafikan beragam keterbatasan yang umumnya dihadapi perguruan tinggi di Indonesia, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, kunci utama mendongkrak perguruan tinggi ialah dengan mengelola sumber daya manusia yang dimiliki. Sebab, perguruan tinggi mengelola manusia, memproses manusia, yang produknya adalah manusia yang lebih berkualitas, baik dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun karakter atau akhlaknya.

Tantangan sumber daya manusia utamanya adalah dosen di perguruan tinggi saat ini, yakni lulusan S-1 sebesar 23,8 persen, S-2 62,9 persen, dan S-3 hanya 13,3 persen. Dengan kualifikasi pendidikan dosen berkualifikasi doktor dan juga profesor yang masih sedikit, wajar pula kalau karya ilmiah yang dihasikan pun masih terbatas.

Bergabungnya pendidikan tinggi di dalam naungan Kemenristek dan Dikti seharusnya mampu membuktikan peran baru perguruan tinggi yang lebih nyata bagi bangsa, bukan lagi ”menara gading”. Embusan angin yang membangun harapan tersebut tentu saja membutuhkan pembuktian nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar