Rabu, 10 Desember 2014

Posisi KIS pada Jaminan Kesehatan Nasional

            Posisi KIS pada Jaminan Kesehatan Nasional

 Wahyu Pudji Nugraheni  ;   Mahasiswi Program Doktoral Universitas Indonesia
JAWA POS,  08 Desember 2014

                                                                                                                       


KETIKA Barack Obama berkampanye dengan menyampaikan program health care reform, dia mendapat kecaman dari lawan politiknya. Obama dituding sebagai agen sosialis dan sebagainya.

Reformasi jaminan kesehatan 2008 yang diajukan Obama pada intinya menambah porsi negara agar lebih besar dalam pembiayaan kesehatan masyarakat yang sebelumnya diserahkan penuh ke pasar. Program tersebut ketika itu menjadi salah satu isu unggulan kampanye Obama.

Lawan politik Obama melalui partai Republik menentangnya. Tentu saja dengan atmosfer yang berbau kapitalis. Kelompok itu disponsori perusahaan-perusahaan besar asuransi yang merasa dirugikan atas kampanye Obama tersebut.

Menurut mereka, biaya kesehatan tidak boleh digratiskan. Bahkan, pengeluaran negara akan membengkak saat Amerika sendiri dihantam krisis ekonomi dahsyat dan lain-lain. Oposisi (Partai Republik) akhirnya mau tak mau setuju dengan portofolio yang diajukan Obama dengan landasan demi kepentingan rakyat banyak –kepentingan nasional– melalui debat alot di kongres. Usulan itu pun diundangkan dan menjadi bagian paling bersejarah dalam pemerintahan Obama.

Dari hal itu, dapat dilihat isu jaminan kesehatan memang sudah menjadi komoditas politik yang strategis. Rakyat Amerika Serikat, khususnya yang berpendapatan menengah, kini menjadi sangat menikmati health care reform tersebut.

Pemberian jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat akhir-akhir ini memang menjadi perhatian. Masalahnya tentu terkait dengan biaya kesehatan yang semakin mahal dan terus meningkat tajam, melewati kenaikan harga barang dan jasa serta angka inflasi. Reformasi kesehatan yang dilakukan di Amerika bisa saja menjadi komoditas politik. Tetapi, pada akhirnya toh demi kepentingan nasional –terbantunya rakyat dalam pelayanan kesehatan–, mengesampingkan kepentingan politik itu sendiri.

Di Indonesia, jaminan kesehatan ”nyaris” masuk ke jurang debat kusir dalam koridor politik. Terbitnya Kartu Indonesia Sehat (KIS) secara tiba-tiba seolah membingungkan kebijakan jaminan kesehatan nasional. Sebab, pemerintahan sebelumnya sudah menerbitkan jaminan kesehatan yang berjalan sejak 1 Januari 2014 melalui UU JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional).

Lihat sejenak sejarahnya. Keinginan mencipta jaminan kesehatan sebenarnya sudah lama, yakni diperkenalkan pada era Presiden Soekarno. Saat itu Soekarno meneken SK No 230/1968 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan bagi PNS dan Pensiunan. Menkes Prof Dr Siwabessy membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang merupakan embrio asuransi kesehatan nasional –bagi seluruh penduduk Indonesia.

Cita-cita itu belum terwujud sampai sekarang. Bahkan, BPDPK bangkrut pada 1972, sebelum kembali beroperasi setelah utang-utang kepada pemberi pelayanan kesehatan dilunasi. Pada 1977–1978, BPDPK kembali mengalami krisis.

Evaluasi dilakukan terkait dengan status BPDPK sebagai instansi pemerintah. Kemudian, instansi itu diubah menjadi BUMN dengan nama Perum Husada Bhakti pada 1984 dan menjadi PT Asuransi Kesehatan Nasional (Persero) pada 1992. Perubahan itu menjadi lebih efisien.

Pada 1998, terjadi krisis nasional. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) waktu itu bergerak, mengadakan rapat dengar pendapat dengan penyelenggara jaminan sosial. DPA memberikan pertimbangan kepada presiden untuk memperluas penyelenggaraan program jaminan sosial ke seluruh Indonesia.

Dari istana, Presiden Habibie, Gus Dur, maupun Megawati merespons pertimbangan DPA itu dengan membentuk kelompok kerja di lingkungan Kantor Wapres (saat itu dijabat Megawati) untuk menyiapkan naskah akademis RUU sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Status kelompok tersebut ditingkatkan menjadi tim berdasar SK presiden sehingga menjadi lebih lintas sektoral.

Setelah tiga tahun RUU itu digodok, Presiden Megawati menyampaikan Ampres RUU SJSN kepada DPR. Lalu, RUU tersebut ditandatangani Presiden Megawati untuk menjadi UU No 40/2004 tentang SJSN. Semestinya UU itu sudah diimplementasikan pada 2009, namun kandas.

DPR periode 2009–2014 mengambil inisiatif agar UU No 40/2004 diimplementasikan. Kemudian, melalui UU No 24/2011, implementasi JKN dimulai sehingga UU itu disebut UU JKN. Karena itu, dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Dalam UU No 24/2011, diamanatkan mengimplementasikan jaminan kesehatan sebagaimana yang tercantum dalam UU SJSN, yakni mulai 2014, melalui badan publik BPJS Kesehatan yang merupakan transformasi PT Askes Indonesia (Persero). Ke depan, UU JKN mengimplementasikan program jaminan sosial bagi tenaga kerja Indonesia pada 2015 melalui BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan transformasi PT Jamsostek (Persero).

UU SJSN dan UU BPJS itu bertujuan sangat mulia. Jika semuanya berjalan sesuai dengan road map, jaminan sosial yang bersifat jangka panjang seperti JHT (jaminan hari tua), jaminan pensiun (JP), dan program jaminan kematian. Dengan demikian, terwujud tabungan nasional yang sangat besar yang bisa berperan dalam pembangunan ekonomi.

Lantas, posisi KIS di mana? Apa hubungannya dengan BPJS Kesehatan, terutama kepesertaan penerima bantuan iuran (PBI)? Atau KIS terpisah dari BPJS? Apakah program itu berkelanjutan atau temporer? Apa landasan hukumnya dan dari mana anggarannya?

Masyarakat yang memiliki masalah sosial mungkin bisa dimasukkan sebagai peserta PBI dalam kerangka UU BPJS Kesehatan. Kalau pemerintah sekarang mendaftarkan kelompok itu pada peserta BPJS kategori tersebut, masalah simpang siur KIS akan selesai. KIS bisa saja ”disesuaikan” dalam UU JKN/UU SJSN karena bersifat sama, yakni upaya kesehatan perorangan (UKP).

Masyarakat sudah terbiasa dengan budaya kartu untuk jaminan berobat gratis. Tetapi, apa pun nama kartu atau programnya, diperlukan lagi sosialisasi yang tentu memakan biaya besar. Sedangkan sosialisasi kartu BPJS saja belum rampung.

Bila pemerintah memaksakan opsi KIS berdiri sendiri, sebut saja dengan menerbitkan UU lagi, sungguh makin tampak tidak efisien. Terkait dengan landasan hukum, akan terjadi tumpang tindih.

Kalau KIS digelontor begitu saja, sama saja dengan bantuan sosial biasa yang penyelenggaraannya bergantung pada ketersediaan anggaran pemerintah, yang biasanya menjadi program beraroma politis.

Seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat, kepentingan politik seyogianya disingkirkan. Sebab, jaminan kesehatan menyangkut rakyat banyak. Ketika ada kepentingan nasional yang lebih tinggi, kita harus bersatu. Tidak ada saling klaim bahwa itu karya rezim tertentu. Apa pun nama kartu atau program tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar