Posisi KIS
pada Jaminan Kesehatan Nasional
Wahyu Pudji Nugraheni ; Mahasiswi Program Doktoral Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 08 Desember 2014
KETIKA Barack Obama berkampanye dengan menyampaikan program
health care reform, dia mendapat kecaman dari lawan politiknya. Obama
dituding sebagai agen sosialis dan sebagainya.
Reformasi jaminan kesehatan 2008 yang diajukan Obama pada
intinya menambah porsi negara agar lebih besar dalam pembiayaan kesehatan
masyarakat yang sebelumnya diserahkan penuh ke pasar. Program tersebut ketika
itu menjadi salah satu isu unggulan kampanye Obama.
Lawan politik Obama melalui partai Republik menentangnya. Tentu
saja dengan atmosfer yang berbau kapitalis. Kelompok itu disponsori
perusahaan-perusahaan besar asuransi yang merasa dirugikan atas kampanye
Obama tersebut.
Menurut mereka, biaya kesehatan tidak boleh digratiskan. Bahkan,
pengeluaran negara akan membengkak saat Amerika sendiri dihantam krisis ekonomi
dahsyat dan lain-lain. Oposisi (Partai Republik) akhirnya mau tak mau setuju
dengan portofolio yang diajukan Obama dengan landasan demi kepentingan rakyat
banyak –kepentingan nasional– melalui debat alot di kongres. Usulan itu pun
diundangkan dan menjadi bagian paling bersejarah dalam pemerintahan Obama.
Dari hal itu, dapat dilihat isu jaminan kesehatan memang sudah
menjadi komoditas politik yang strategis. Rakyat Amerika Serikat, khususnya
yang berpendapatan menengah, kini menjadi sangat menikmati health care reform
tersebut.
Pemberian jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat akhir-akhir ini
memang menjadi perhatian. Masalahnya tentu terkait dengan biaya kesehatan
yang semakin mahal dan terus meningkat tajam, melewati kenaikan harga barang
dan jasa serta angka inflasi. Reformasi kesehatan yang dilakukan di Amerika
bisa saja menjadi komoditas politik. Tetapi, pada akhirnya toh demi
kepentingan nasional –terbantunya rakyat dalam pelayanan kesehatan–,
mengesampingkan kepentingan politik itu sendiri.
Di Indonesia, jaminan kesehatan ”nyaris” masuk ke jurang debat
kusir dalam koridor politik. Terbitnya Kartu Indonesia Sehat (KIS) secara
tiba-tiba seolah membingungkan kebijakan jaminan kesehatan nasional. Sebab,
pemerintahan sebelumnya sudah menerbitkan jaminan kesehatan yang berjalan
sejak 1 Januari 2014 melalui UU JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan UU SJSN
(Sistem Jaminan Sosial Nasional).
Lihat sejenak sejarahnya. Keinginan mencipta jaminan kesehatan
sebenarnya sudah lama, yakni diperkenalkan pada era Presiden Soekarno. Saat
itu Soekarno meneken SK No 230/1968 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
bagi PNS dan Pensiunan. Menkes Prof Dr Siwabessy membentuk Badan
Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang merupakan embrio
asuransi kesehatan nasional –bagi seluruh penduduk Indonesia.
Cita-cita itu belum terwujud sampai sekarang. Bahkan, BPDPK
bangkrut pada 1972, sebelum kembali beroperasi setelah utang-utang kepada
pemberi pelayanan kesehatan dilunasi. Pada 1977–1978, BPDPK kembali mengalami
krisis.
Evaluasi dilakukan terkait dengan status BPDPK sebagai instansi
pemerintah. Kemudian, instansi itu diubah menjadi BUMN dengan nama Perum
Husada Bhakti pada 1984 dan menjadi PT Asuransi Kesehatan Nasional (Persero)
pada 1992. Perubahan itu menjadi lebih efisien.
Pada 1998, terjadi krisis nasional. Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) waktu itu bergerak, mengadakan rapat dengar pendapat dengan
penyelenggara jaminan sosial. DPA memberikan pertimbangan kepada presiden
untuk memperluas penyelenggaraan program jaminan sosial ke seluruh Indonesia.
Dari istana, Presiden Habibie, Gus Dur, maupun Megawati
merespons pertimbangan DPA itu dengan membentuk kelompok kerja di lingkungan
Kantor Wapres (saat itu dijabat Megawati) untuk menyiapkan naskah akademis
RUU sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Status kelompok tersebut
ditingkatkan menjadi tim berdasar SK presiden sehingga menjadi lebih lintas
sektoral.
Setelah tiga tahun RUU itu digodok, Presiden Megawati
menyampaikan Ampres RUU SJSN kepada DPR. Lalu, RUU tersebut ditandatangani
Presiden Megawati untuk menjadi UU No 40/2004 tentang SJSN. Semestinya UU itu
sudah diimplementasikan pada 2009, namun kandas.
DPR periode 2009–2014 mengambil inisiatif agar UU No 40/2004
diimplementasikan. Kemudian, melalui UU No 24/2011, implementasi JKN dimulai
sehingga UU itu disebut UU JKN. Karena itu, dibentuklah Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS).
Dalam UU No 24/2011, diamanatkan mengimplementasikan jaminan
kesehatan sebagaimana yang tercantum dalam UU SJSN, yakni mulai 2014, melalui
badan publik BPJS Kesehatan yang merupakan transformasi PT Askes Indonesia
(Persero). Ke depan, UU JKN mengimplementasikan program jaminan sosial bagi
tenaga kerja Indonesia pada 2015 melalui BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan
transformasi PT Jamsostek (Persero).
UU SJSN dan UU BPJS itu bertujuan sangat mulia. Jika semuanya
berjalan sesuai dengan road map, jaminan sosial yang bersifat jangka panjang
seperti JHT (jaminan hari tua), jaminan pensiun (JP), dan program jaminan
kematian. Dengan demikian, terwujud tabungan nasional yang sangat besar yang
bisa berperan dalam pembangunan ekonomi.
Lantas, posisi KIS di mana? Apa hubungannya dengan BPJS
Kesehatan, terutama kepesertaan penerima bantuan iuran (PBI)? Atau KIS
terpisah dari BPJS? Apakah program itu berkelanjutan atau temporer? Apa
landasan hukumnya dan dari mana anggarannya?
Masyarakat yang memiliki masalah sosial mungkin bisa dimasukkan
sebagai peserta PBI dalam kerangka UU BPJS Kesehatan. Kalau pemerintah
sekarang mendaftarkan kelompok itu pada peserta BPJS kategori tersebut,
masalah simpang siur KIS akan selesai. KIS bisa saja ”disesuaikan” dalam UU
JKN/UU SJSN karena bersifat sama, yakni upaya kesehatan perorangan (UKP).
Masyarakat sudah terbiasa dengan budaya kartu untuk jaminan berobat
gratis. Tetapi, apa pun nama kartu atau programnya, diperlukan lagi
sosialisasi yang tentu memakan biaya besar. Sedangkan sosialisasi kartu BPJS
saja belum rampung.
Bila pemerintah memaksakan opsi KIS berdiri sendiri, sebut saja
dengan menerbitkan UU lagi, sungguh makin tampak tidak efisien. Terkait
dengan landasan hukum, akan terjadi tumpang tindih.
Kalau KIS digelontor begitu saja, sama saja dengan bantuan
sosial biasa yang penyelenggaraannya bergantung pada ketersediaan anggaran
pemerintah, yang biasanya menjadi program beraroma politis.
Seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat, kepentingan
politik seyogianya disingkirkan. Sebab, jaminan kesehatan menyangkut rakyat
banyak. Ketika ada kepentingan nasional yang lebih tinggi, kita harus bersatu.
Tidak ada saling klaim bahwa itu karya rezim tertentu. Apa pun nama kartu
atau program tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar