Mengasingkan
Manusia Indonesia Seutuhnya
Dedi Mulyadi
; Bupati Purwakarta
|
KORAN
SINDO, 08 Desember 2014
Kini kelas penuh sesak dengan buku pelajaran bahkan ada yang
mencapai 21 jenis pelajaran, berarti ada 21 jenis buku. Guru tak punya
ekspresi, miskin ide imajinasi karena dia kini tidak lagi mewakili Tuhan
penyampai obor kebenaran, tetapi lebih mewakili obor percetakan sehingga
sorot matanya tak lagi bersinar dan lidahnya tak lagi tajam. Waktu yang
terbatas dari pesan isi buku yang harus disampaikan membuat guru memberi
tugas baru pada muridnya yang bernama pekerjaan rumah (PR), palebah dieu mah
asa teu adil (di sini terasa tidak adil).
Bila kita punya pekerjaan yang tidak selesai di kantor lalu
dibawa ke rumah namanya pekerjaan kantor, kenapa pelajaran sekolah dibawa ke
rumah disebut pekerjaan rumah? Anak-anak pulang dengan lunglai tergambar dari
raut muka yang penuh kesedihan. Mereka mengalami depresi yang cukup panjang.
Ciri dari mereka depresi adalah kalau diumumkan besok libur mereka akan
bersorak kegirangan.
Di rumah mereka mengalami kepenatan akibat selain pekerjaan
sekolah yang harus dikerjakan, nonton sampai larut malam atau bermain
permainan mekanikal, keluyuran keluar hingga larut malam dan menjelang subuh
mereka buruburu pulang karena takut datangnya sang fajar.
Perasaan agak mirip hantu lagi nih. Pelajaran sekarang memang
hebat-hebat. Bukunya lebih hebat lagi karena perubahannya sangat cepat,
bahkan saking cepatnya ada yang belum sempat dibaca oleh murid harus ditarik
lagi. Entah pemikir lulusan mana yang membuatnya, pikirannya sangat
imajinatif sehingga kata-kata dan gambar yang berbau pornografi pun ia
tuangkan, sangat inovatif hingga ingar-bingar politik bisa masuk dalam
lembaran buku.
Tapi sangat disayangkan, kepandaian siswa diukur melalui
kemampuan siswa dari jawaban ketika ujian. Hasilnya memang hebat.
Matematikanya mendapat nilai 9, jajannya pun Rp50.000 sehari, Biologinya 9
tapi dirawat di rumah sakit karena asam lambung akibat kelebihan kebiasaan
makan jajanan yang bercuka serta bersaus pedas tanpa diteliti di laboratorium
sekolahnya.
Saya teringat ketika terjadi dialog dengan warga Badui. Mang, kunaon anak amang teu disakolakeun?
Meureun engke jadi bodo hirupna. Naha ari dia, anak kula mah sakolana teu di
kelas, anak kula disakolakeun di kebon jeung di leuweung, malah anak kula mah
geus bisa ngitung kadu nu bakal murag jeung kadu nu bakal asak. Sabalikna
kula rek nanya ka dinya, anak dinya nu sakola nu luhur bisaeun teu ngitung
siga anak kula.
(Mang, kenapa anaknya
tidak disekolahkan? Nanti jadi bodoh. Anda ini bagaimana, anak saya
sekolahnya tidak di kelas, anak saya bersekolah di kebun dan di hutan, malah
anak saya sudah bisa menghitung berapa durian yang akan jatuh dari pohon dan
berapa durian yang akan matang. Sebaliknya saya bertanya pada Anda, anak Anda
yang sekolahnya tinggi bisakah berhitung seperti anak saya?).
Pendidikan kita
melahirkan sebuah jenjang, karena pendidikan dasar sembilan tahun dibagi ke
dalam dua jenjang, SD dan SMP. Ironisnya kelas VI SD siswa harus menghadapi
ujian nasional, setelah itu mereka masuk ke sekolah yang berbeda melalui
proses seleksi. Yang menjadi pertanyaan dalam diri saya, kenapa anak
diwajibkan sekolah sembilan tahun tetapi harus melewati masa seleksi untuk
menuju kelas VII? Apanan wajib diajar 9 taun, tapi dijieun hese (kan wajib
belajar 9 tahun, tapi dibuat sulit).
Andaikata saya boleh berkata, ujian nasional hanya layak
dilaksanakan untuk kelas XII (kelas III SMA), tidak mesti ada penjenjangan
antara SD-SMA dan SMA semuanya satu kesatuan sistem fase yang kedua, yaitu
wajib belajar 12 tahun. Yang namanya wajib maka yang harus menyediakan seluruh
fasilitas adalah yang mewajibkan. Rasa tidak percaya diri terhadap sistem
yang kita miliki adalah produk kegenitan kaum intelektual yang sok luar
negeri.
Sistem pendidikan kita dalam sejarahnya di tengah berbagai
keterbatasan fasilitas yang dimiliki telah banyak melahirkan nama besar yang
cukup dikagumi. Sederet orang ternama dalam sejarah peradaban Indonesia
seperti Bung Karno, Bung Tomo, Bung Hatta, Bung Syahrir, Dr Supomo, Chairil
Anwar, dr Wahidin Sudiro Husodo, Ki Hajar Dewantoro, KH Ahmad Dahlan, KH
Hasyim Asyhari, Jenderal Sudirman, Jenderal HM Soeharto, Jenderal TNI M Yusuf
adalah nama-nama yang merenda peradaban Nusantara.
Mereka dibangun dalam sistem pendidikan akademik yang berbasis
tradisi. Bukankah BJ Habibie yang dilahirkan dari sistem akademik Indonesia
ternyata dikagumi dalam teknologi pesawat terbang? Kini saya banyak menemui
orang-orang pintar masa kini yang ciri-cirinya dapat dilihat dari ucapan dan
tulisannya.
Mereka dalam berpendapat selalu berkata dengan kalimat awal
“menurut”; menurut Aristoteles, menurut Darwin, menurut Socrates, menurut
profesor doktor, dan menurut-menurut berdasarkan para pakar-pakar kenamaan
yang dia yakini kebenarannya. Mendengar itu semua Mang Udin gugurutu (menggerutu),“ Ceuk itu ceuk ieu,
ari ceuk Bapa naon?” (kata orang itu kata orang ini, kalau menurut Bapak
apa?).
Menurut itu kata orang Sunda artinya “Katanya”. Katanya itu
cenah. Kalau ilmunya katanya, ditanam di pohon barangkali, dahannya mungkin,
bunganya belum tentu, buahnya entahlah... entah hidup entah mati. Kan banyak
orang pintar yang pakar di bidangnya katanya, tapi hidup harus segala
membeli, daging beli, beras beli, gula beli, listrik juga beli, negara juga
ikut-ikutan segala beli ke luar negeri, sampaigaramsaja beli dari luar
negeri, yang paling baru kita beli listrik dari Malaysia padahal di
Kalimantan berlimpah batu bara.
Kebanggaan terhadap asing telah merambah sampai pedesaan bukan
hanya dalam metodologi, melainkan juga istilah yang terus menerus berubah
serba luar negeri. Di kampung saya kini ada playgroup yang diajarkan oleh para pakar pendidikan dari kota. Di
playgroup, anakanak didik diantar oleh ibu, nenek atau pembantunya.
Saat anak-anak mengikuti kegiatan playgroup, ibunya sibuk
berkerumun dan bercerita tentang suaminya, tentang tetangganya sambil
menghabiskan uang untuk jajan persis seperti anaknya. Sering kali suaminya
pulang ke rumah dalam keadaan marah-marah sebab nasi idaman sudah dua hari
mendekam di dalam tahanan magic jar, ketika dibuka kepanasan tanpa rasa,
sambel beledag, sambel goang, sambel tarasi, sambel jahe, sambel kutat,
pokona mah sambel we lah dengan seribu nama dan rasa berubah menjadi chili
sauce, sambal yang terkurung dalam botol bertahun-tahun, sayur diganti dengan
mi instan.
Akhirnya suami dan anak-anak tidak betah lagi makan di rumah,
penghasilan tiap bulan hanya tinggal catatan karena dipotong berbagai
pinjaman hampir di seluruh mata angin, gajih tinggal setrukna, akhirnya
menjadi depresi, sebagai bagian penyumbang terbesar penyakit stroke.
Ceu Nining bertanya pada saya, “Kang Dedi ari playgroup teh naon?”. “Ceu, ari playgroup teh kelompok
bermain bagi anak-anak yang orang tuanya supersibuk sehingga tidak punya
waktu untuk mengasuh dan mengurus mereka. Lahir dari tanah barat yang
individualistis sehingga dengan terpaksa mereka menitipkan anak-anaknya di
sanggar atau kelompok bermain agar bisa bersosialisasi dengan teman
sebayanya.”
Dahi Ceu Nining berkerut seraya berkata, “kan di kampung kita mah alamnya masih terbuka luas, ibunya banyak
yang tinggal di rumah, anak-anaknya memiliki sahabat sekampung bahkan sedesa.
Mereka bebas bermain
sepuasnya tanpa biaya seperti bancakan, dam-daman, kecor, egrang, ucing
sumput, gagajahan, sorodot gaplok, dampuh, sondah, dan masih banyak lagi
permainan yang tidak memerlukan biaya, diciptakan sendiri, alatnya dibuat
sendiri dan tidak memerlukan pengawasan, karena mereka sudah punya sistem
permainan yang diatur oleh semangat kejujuran, blep blep blep ketika main
kelereng, cak cak cak ketika petak umpet.
Ibunya tenang memasak di
dapur menyiapkan makan yang serba alami untuk anak-anaknya tanpa harus
berutang ke warung.” Ceu Nining menggerutu
lieur (pusing). Pendidikan yang serbaasing teh, membuat kita semakin terasing
dan pusing tujuh keliling karena mikirin utang ke bank keliling. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar