Orang-Orang
Besar di Perpustakaan
Mohamad Sobary ; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 08 Desember 2014
Baik-buruknya perpustakaan, menentukan baik-buruknya manusia dan
masyarakat di sekitarnya. Diperjelas; jika perpustakaan baik, manusia dan
masyarakat di sekitarnya juga baik. Jika perpustakaan buruk, yang terjadi
sebaliknya. Dilihat dari sudut yang berkebalikan: Manusia dan masyarakat baik
jika perpustakaannya baik. Manusia dan masyarakat buruk jika kondisi
perpustakaan sebaliknya. Dengan kata lain, ini menjelaskan betapa penting
makna perpustakaan.
Apa Isi Perpustakaan?
“Buku-buku, yang menjadi sarana pengembangan pribadi manusia,
dan kebebasan memilih buku-buku yang diinginkannya, yang di tempat lain tidak
ada”. Orang boleh bebas sebebas-bebasnya mau membaca buku apa saja. Orang
bebas memilih, mau mematangkan diri dengan ilmu-ilmu macam apa.
Mereka yang ingin memperoleh keterampilan teknis, boleh membaca
buku-buku teknis yang diinginkan. Mereka yang ingin menjadi sufi dan
tokoh-tokoh rohani terkemuka, di sana buku dalam bidang itu tersedia. Kita
mengasumsikan anggaran tahunan perpustakaan kita besar. Bahkan mungkin
“unlimited“ Dengan anggaran seperti itu, buku apa pun bisa dibeli untuk
membuat warga masyarakat, perorangan maupun kelompok, menjadi orang baik,
pandai, dan terampil di bidang-bidang ilmu keduniaan.
Selebihnya, warga masyarakat bisa menjadi orang mulia, dan
terpuji secara rohaniah. Mereka itu merupakan modal sosial kita. Modal itu
bisa diandalkan untuk mengangkat derajat dan martabat bangsa di mata
bangsa-bangsa lain. Itu pun kita belum bicara guru, menteri, dan kebijakan
pendidikan.
Tapi kenyataan di masyarakat kita tak seperti itu. Perpustakaan
kita sepi. Pengunjung utamanya hanya kepala perpustakaan itu sendiri dan anak
buahnya. Itu pun tidak untuk membaca buku, melainkan untuk rapat. Mereka
sibuk rapat dan rapat melulu hingga semua lupa mengurus agar perpustakaan
yang sunyi sepi itu bisa sedikit memberi tanda adanya kehidupan.
Memeriahkan Perpustakaan
Kita harus kreatif. Kita
bikin ruang-ruang baca besar, misalnya cukup buat lima puluh orang. Bikinlah
umpamanya, ruang Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, di mana tersedia segenap
buku agama. Semua buku biografi beliau, hadis-hadis beliau, dan potret
kesalehan beliau, yang tak tertandingi itu dihadirkan di sana.
Sediakan di ruang itu suatu tempat kecil, buat satu dua orang
salat, lengkap dengan sajadahnya. Memang sudah ada musala, bahkan mungkin
masjid besar. Tapi bagi orang yang terlalu getol membaca, siapa tahu memilih
salat sendirian di tempat tersebut. Kita bikin pula ruang Socrates yang hebat
itu. Di sana, pengunjung boleh membaca filsafat, boleh memilih buku lain.
Bila kelak di situ akan jadi ruang pembaca khusus filsafat, itu
baik saja. Bikin pula ruang KH Ahmad Dahlan, atau hadratusyeikh KH Hasyim
Asyary. Sebut mereka tokoh pemikir, pemimpin umat yang besar dan kreatif.
Jangan sekedar disebut kiai. Tidak cukup. Mereka pemimpin besar, teladan
umat. Bikin pula ruang Bung Karno.
Di situ orang bebas membaca, bahkan berdiskusi tentang politik
dan pergerakan. Kita ambil hikmah dari beliau, tapi pergerakan yang kita
diskusikan kita terapkan khusus untuk menata kehidupan bangsa kita yang
sekarang terjajah lagi secara terang-terangan oleh pedagang asing, politik
asing dan segala macam kepentingan asing. Kita belajar dari Bung Karno, cara
membebaskan bangsa kita sekarang ini dari begitu banyak belenggu tadi. Bikin
pula ruang Gus Dur.
Di sana orang harus ketawa dan membuat humor-humor segar, yang
memancing tumbuhnya sikap bijaksana. Bangsa kita kurang humor. Kurang ketawa.
Tak mengherankan kita tampak kusut, dan jarang di tengah kita hadir orang
bijaksana. Tapi jangan lupa, di ruang Gus Dur juga harus ada yang membaca
buku-buku kebudayaan dan politik etnisitas, dan keumatan, yang cemerlang.
Kita tampilkan bacaan yang menggambarkan pergaulan antar umat,
antar etnis, antarsesama bangsa, yang tawaduk,
penuh humor dan kearifan, dan penghormatan, maupun sikap toleran dan rendah
hati, agar suasana politik keagamaan kita terasa nyaman, bebas dan terbuka
tapi penuh ukhuwah insaniah yang
saling memuliakan.
Di Asia Tenggara yang kecil ini, jangan bangsa lain yang
terkemuka. Kitalah pemimpinnya. Bahkan di seluruh kawasan Asia, kita harus
menjadi yang terbesar, terhormat, paling beradab dan makmur. Mustahil kita
tak mampu mewujudkannya. Mustahil, selama kita punya perpustakaan, selama
perpustakaan ada buku, selama perpustakaan dikelola dengan cara yang penuh
kreativitas.
Hidup harus punya imajinasi yang sehat, dan berkeadaban. Tanpa
itu, buku boleh lengkap, buku bisa numpuk, tapi buku hanya jadi kertas bisu
jika perpustakaan. “rumah buku” tak dikelola dengan imajinasi yang
berorientasi untuk maju, dan berkembang. Disediakan pula ruang lebih besar,
yang memuat sekitar seratus orang, untuk diskusi tentang apa saja yang
penting.
Syukur kalau anggota DPR, atau menteri, suka datang, dan
bersedia ikut belajar bersama. Kehadiran mereka bakal menjadi cambuk bagi
seluruh bangsa. Ini tidak sulit. Ketua perpustakaan harus gigih mendatangi
para tokoh, agar mereka sudi membuang waktu ke perpustakaan. Syukur presiden,
dan wakil presiden juga bersedia datang, sesekali dalam setahun. Gubernur
wajib datang minimal sebulan sekali.
Dialah tuan rumah bagi perpustakaan daerah. Orang-orang besar di
perpustakaan bakal menyemarakkan apa yang kita sebut pendidikan bangsa, dan
memajukan kehidupan bangsa. Pak Gubernur, Pak Basuki Tjahaja Purnama, bisa
menjadi cahaya perpustakaan. Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW punya mukjizat
sebuah buku, kitab suci, dan bukan pedang. Ini tanda kita diminta maju lewat
buku.
Kita bisa menjadikan buku mukjizat kecil bagi pemimpin bangsa.
Orang-orang besar datang ke perpustakaan, dan tinggal beberapa saat di sana,
niscaya mampu merangsang, agar kita bisa menjadi bangsa besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar