Pemerintahan
Baru dan Hari Antikorupsi
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta;
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Desember 2014
TANGGAL 9
Desember di jadikan Hari Antikorupsi. Hari itu diikrarkan seba gai bagian
dari keinginan untuk melawan korupsi dan berbagai praktik miring serta akibat
yang dihadirkan dari berbagai praktik korupsi. Korupsi adalah hostis humanis generis.
Musuh bagi seluruh umat manusia. Korupsi menjadi akar dari berbagai penyakit
yang sering diderita negara yang mengalami korupsi. Siapa yang menyenangi
praktik korupsi dilanjutkan tentu saja ialah bagian dari koruptor itu
sendiri.
Menariknya,
Hari Antikorupsi tahun ini sangat berdekatan dengan agenda nasional, yakni
pergantian rezim. Pemilihan umum sudah dilaksanakan, terlepas dari segala
catatan dan kritik atas hasilnya, kita sudah mendapatkan lembaga eksekutif
dan legislatif yang baru. Pemerintahan baru sudah ditegakkan dan berhadapan
dengan problem-problem lama dalam pemberantasan korupsi. Hari Antikorupsi
ialah saat untuk merenungi apakah pendekatan, langkah, dan pemahaman melawan
korupsi yang kita kibarkan selama ini sudah berada pada track yang tepat. Jika tidak, saatnya kirimkan pesan kepada
pembesar negara terpilih untuk melakukan hal-hal dan pendekatan yang baru.
Mendekati dengan multiperspektif
Rezim yang
terpilih harus mau melihat korupsi dengan beberapa permakluman agar tidak
salah dalam merumuskan langkah dan kreativitas memerangi korupsi. Memandang
korupsi tidaklah dapat sesederhana melihat secara perspektif tunggal. Karena
itu, mengambil langkah pembenahan korupsi bukanlah menghela satu langkah
tunggal. Konteks korupsi seperti `kaki laba-laba' yang berada serta
menjejakkan kaki di banyak tempat. Mustahil pendekatan monodisipliner akan
moncer untuk hal tersebut. Sentuhan serempak dengan cara pandang yang jamak
menjadi pendekatan wajib yang harus diambil.
Pendekatan
Desta (2006) dalam membagi definisi korupsi dapat digunakan untuk melihat dan
membagi wilayah definisi korupsi yang tak mungkin tunggal. Dalam sudut
pandang itu, setidaknya tersentralisasi ketiga hal utama, yakni definisi yang
berpusat pada jabatan publik (public
office centred definitions), definisi yang berpusat pada pasar (market centred definitions), dan yang
berikutnya ialah definisi yang berpusat pada kepen tingan publik (public interest centred definitions).
Dalam konteks
definisi yang tersentralisasi di ketiga kutub tersebut, menjadi mustahil
untuk mendekati korupsi secara hukum semata dan dengan mendefinisikan
perbaikan hanya dalam konteks hukum. Dari setiap sentralisasi yang ada pun,
bahkan mustahil untuk memandang hukum menjadi satu-satunya sarana untuk
melihat korupsi serta upaya perbaikannya. Dalam perspektif market misalnya,
jika hukum dikedepankan, akan terjadi tarik-menarik pertentangan kuat antara
model negara sebagai pengatur dengan membangun standar-standarnya dan
pemberian kebebasan sebesar-besarnya kepada pasar untuk mengatur modelnya
secara internal.
Lihat saja
yang dikatakan Gillespie dan Okruhlik (1991) yang dalam sudut pandang bisnis
dengan cara mengurangi intervensi pemerintah dalam perekonomian serta
mengurangi regulasi yang kompleks dan berlapis. Hal yang akan berbeda dengan
sudut pandang kepentingan publik atau kepentingan negara. Perdebatan perihal
kerugian negara dalam uang-uang yang dimiliki badan usaha milik negara (BUMN)
misalnya. Doktrin bisnis untuk harta kekayaan negara yang dipisahkan telah
mendorong sudut pandang bisnis untuk tidak lagi menggolongkan uang BUMN
sebagai uang negara.
Namun, pada
saat yang sama, tentu mustahil membiarkan uang BUMN tidak termasuk ke konsep
keuangan negara, perdebatan yang sedikit banyak diselesaikan di Mahkamah
Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu melalui putusannya. Namun, putusan MK
ialah jenis jawaban hukum yang tentunya mustahil menampung semua doktrin
perspektif dan perdebatan di dalam isu korupsi antara model yang demi
kepentingan pemerintah dan menjaga kesinambungan pasar.
Dalam konteks
ini juga, pembangunan pemberantasan korupsi jika hanya terdedahkan di wilayah
pejabat publik akan mempersulit pemberantasan korupsi.Suap di sektor swasta,
termasuk berbagai model facilitation
payment, harus dipikirkan untuk diselesaikan dan dibangun model
perlawanannya.
Kesinambungan
Meski sistem
presidensial memberikan kebebasan besar bagi seorang presiden berakrobat
dengan kebijakan yang diinginkan, tetap tak dapat dipisahkan dari kerangka
pembangunan nasional jangka panjang dan menengah yang dicanangkan presiden
sebelumnya. Karena itu, proses transisi kebijakan tetap menjadi hal yang
penting untuk mengawal kesinambungan. Format dan pola lama yang dikembangkan
presiden sebelumnya harus dianalisis dan dikaji dalam kerangka pengambilan
keputusan dan kebijakan negara dalam pemberantasan korupsi.
Konsep itu
menghendaki sebuah kerangka pemberantasan korupsi yang tidak hanya dalam term
waktu yang mengikuti term waktu masa jabatan presiden. Jika setiap presiden
hanya berpikir untuk membangun apa yang dia inginkan tanpa memperhatikan
rezim lainnya, tentu itu hal yang keliru. Pada posisi tidak ada legacy sama sekali yang ditinggalkan
rezim sebelumnya, penting untuk berpikir kerangka membuat blue print, fondasi, kerangka kerja,
pelaksanaan dan monitoring yang tak terputus.
Masalah
ketiadaan cetak biru ialah hal yang mutlak dipikirkan. Kita belum tahu harus
dibawa ke mana lembaga-lembaga pemberantas korupsi. Pertarungan di antara
mereka masih sering menghiasi pemberantasan korupsi. Pada saat yang sama,
perlawanan antikorupsi selalu mendapatkan perlawanan yang kuat dan terka dang
dari penegak hukum itu sendiri. Mau tak mau, cetak biru harus dibangun.
Fondasi harus diletakkan. Rencana kerja harus dicanangkan. Tidak dalam
hitungan untuk memeriahkan masa jabatan seorang presiden, tetapi diikuti
dengan konsep hingga puluhan tahun setelahnya.
Kemenangan cepat
Langkah
simultan menjadi penting, tetapi tetap harus digagas sistem `kemenangan
cepat' (quick wins). Harus disadari
bahwa kemenangan cepat ialah cara terbaik untuk menjaga asa publik. Mau tak
mau, ada langkah-langkah kreatif dan cepat yang harus diambil Jokowi-JK agar
kepercayaan dan asa publik tetap ada untuk perubahan Indonesia. Konsep
kemenangan cepat juga untuk membentuk hasil yang diharapkan dalam rangka
mencari format yang tepat untuk langkah jangka panjang yang lebih bersifat
membangun sistem, tetapi bukan berarti melupakan jangka panjang.
Jangka panjang
adalah pandu dan jangka pendek adalah palu. Jangka panjang membentangkan
harapan dan jangka pendek mempercepat pukulan. Keduanya ialah hal penting dan
tetap harus dikelola. Kebutuhan kemenangan cepat tidaklah boleh menjadi
langkah yang tanpa perhitungan hukum. Terobosan perlu dicari, tetapi jangan
biarkan dipertanyakan secara hukum itu sendiri. Indonesia dipenuhi berbagai
petualang yang dengan mudah mempersoalkan hingga meruntuhkan langkah yang
dibangun ketika tidak taat prinsip hukum atau melanggar aturan hukum sesepele
apa pun.
Indonesia
menjadi negara yang belum bisa berdamai di antara berbagai kepentingan yang
ada. Antinomi hukum, tarikmenarik antara materi dan prosedur, sering
menghiasi penegakan hukum. Antara kepastian dan keadilan sering kali jadi
dual hal yang mustahil diletakkan pada konsep penegakan hukum antikorupsi itu
sendiri.
Karenanya,
langkah hati-hati merumuskan kemenangan cepat harus diimbangi dengan
pengawalan yang benar dan recheck
atas konsep yang ditawarkan. Seringkali iktikad baik tak cukup. Harus
diimbuhi dengan cara yang benar agar bisa terkawal dengan baik. Terobosan ialah
langkah cepat dan mutlak yang sering kali mendatangkan keberhasilan dan
kegagalan hanya karena hal yang sepele.
Bangun contoh
Langkah-langkah
yang bersifat membangun contoh akan integritas kepemimpinan juga jangan
dilupakan. Salah satu daya tarik Jokowi yang harusnya dipertahan kan ialah
menjadi contoh kepemimpinan yang sederhana dan jauh dari kesan pelayan publik
yang minta kemewahan dan dilayani. Dalam konteks itu, memperpanjang budaya
itu di kehidupan birokrasi akan memberikan efek selalu akan besar dalam
mengelola pemerintahan.
Mengikuti cara
pandang Robert Klitngaard (1998), salah satu yang paling utama dalam
memberikan perang terhadap korupsi ialah `menggoreng ikan yang besar'. Tentu
dapat dimaknai dengan upaya memberantas korupsi dari kasus-kasus yang besar
dan melibatkan orang besar. Namun, di sinilah peran membangun orang besar
yang baik. Orang besar yang baik akan memberikan harapan perbaikan bahwa pada
akhirnya tidak ada lagi korupsi besar dan memang `ikan yang terbesar
tergoreng bukanlah ikan yang amat-amat besar'.
Menyadari `busuk ikan dari kepala' akan
membubuhkan semangat men cari kepala-kepala yang baik. Mencari orang-orang
yang baik dan kuat untuk menduduki jabatan publik ialah langkah yang harus dilakukan
karena kepala inilah yang sedikit banyak akan menentukan untuk menahan
dimulainya pembusukan di dalam sebuah organisasi.
Hari
Antikorupsi lagi-lagi ialah ruang reflektif. Empat tawaran tersebut hanya
empat dari sekian banyak yang dibutuhkan dan diperlukan. Namun, intinya ialah
memulai langkah. Hari Antikorupsi ialah cermin yang darinya kita bisa melihat
wajah saat ini terjadi dan apa yang mungkin diperbaiki. Tidak hanya itu, Hari
Antikorupsi ialah pijakan untuk mencanangkan kembali hal-hal yang sudah
pernah dilakukan dan ingin dilakukan.
Selamat Hari
Antikorupsi untuk tahun ini. Di tengah kepemimpinan baru, harapan tentu saja
dapat kembali dikembangkan. Semoga diteguhkan, dan pada akhirnya
dilaksanakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar