Rabu, 10 Desember 2014

Pemerintahan Baru dan Hari Antikorupsi

                 Pemerintahan Baru dan Hari Antikorupsi

Zainal Arifin Mochtar  ;   Pengajar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta;
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  08 Desember 2014

                                                                                                                       


TANGGAL 9 Desember di jadikan Hari Antikorupsi. Hari itu diikrarkan seba gai bagian dari keinginan untuk melawan korupsi dan berbagai praktik miring serta akibat yang dihadirkan dari berbagai praktik korupsi. Korupsi adalah hostis humanis generis. Musuh bagi seluruh umat manusia. Korupsi menjadi akar dari berbagai penyakit yang sering diderita negara yang mengalami korupsi. Siapa yang menyenangi praktik korupsi dilanjutkan tentu saja ialah bagian dari koruptor itu sendiri.
Menariknya, Hari Antikorupsi tahun ini sangat berdekatan dengan agenda nasional, yakni pergantian rezim. Pemilihan umum sudah dilaksanakan, terlepas dari segala catatan dan kritik atas hasilnya, kita sudah mendapatkan lembaga eksekutif dan legislatif yang baru. Pemerintahan baru sudah ditegakkan dan berhadapan dengan problem-problem lama dalam pemberantasan korupsi. Hari Antikorupsi ialah saat untuk merenungi apakah pendekatan, langkah, dan pemahaman melawan korupsi yang kita kibarkan selama ini sudah berada pada track yang tepat. Jika tidak, saatnya kirimkan pesan kepada pembesar negara terpilih untuk melakukan hal-hal dan pendekatan yang baru.
Mendekati dengan multiperspektif
Rezim yang terpilih harus mau melihat korupsi dengan beberapa permakluman agar tidak salah dalam merumuskan langkah dan kreativitas memerangi korupsi. Memandang korupsi tidaklah dapat sesederhana melihat secara perspektif tunggal. Karena itu, mengambil langkah pembenahan korupsi bukanlah menghela satu langkah tunggal. Konteks korupsi seperti `kaki laba-laba' yang berada serta menjejakkan kaki di banyak tempat. Mustahil pendekatan monodisipliner akan moncer untuk hal tersebut. Sentuhan serempak dengan cara pandang yang jamak menjadi pendekatan wajib yang harus diambil.
Pendekatan Desta (2006) dalam membagi definisi korupsi dapat digunakan untuk melihat dan membagi wilayah definisi korupsi yang tak mungkin tunggal. Dalam sudut pandang itu, setidaknya tersentralisasi ketiga hal utama, yakni definisi yang berpusat pada jabatan publik (public office centred definitions), definisi yang berpusat pada pasar (market centred definitions), dan yang berikutnya ialah definisi yang berpusat pada kepen tingan publik (public interest centred definitions).
Dalam konteks definisi yang tersentralisasi di ketiga kutub tersebut, menjadi mustahil untuk mendekati korupsi secara hukum semata dan dengan mendefinisikan perbaikan hanya dalam konteks hukum. Dari setiap sentralisasi yang ada pun, bahkan mustahil untuk memandang hukum menjadi satu-satunya sarana untuk melihat korupsi serta upaya perbaikannya. Dalam perspektif market misalnya, jika hukum dikedepankan, akan terjadi tarik-menarik pertentangan kuat antara model negara sebagai pengatur dengan membangun standar-standarnya dan pemberian kebebasan sebesar-besarnya kepada pasar untuk mengatur modelnya secara internal.
Lihat saja yang dikatakan Gillespie dan Okruhlik (1991) yang dalam sudut pandang bisnis dengan cara mengurangi intervensi pemerintah dalam perekonomian serta mengurangi regulasi yang kompleks dan berlapis. Hal yang akan berbeda dengan sudut pandang kepentingan publik atau kepentingan negara. Perdebatan perihal kerugian negara dalam uang-uang yang dimiliki badan usaha milik negara (BUMN) misalnya. Doktrin bisnis untuk harta kekayaan negara yang dipisahkan telah mendorong sudut pandang bisnis untuk tidak lagi menggolongkan uang BUMN sebagai uang negara.
Namun, pada saat yang sama, tentu mustahil membiarkan uang BUMN tidak termasuk ke konsep keuangan negara, perdebatan yang sedikit banyak diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu melalui putusannya. Namun, putusan MK ialah jenis jawaban hukum yang tentunya mustahil menampung semua doktrin perspektif dan perdebatan di dalam isu korupsi antara model yang demi kepentingan pemerintah dan menjaga kesinambungan pasar.
Dalam konteks ini juga, pembangunan pemberantasan korupsi jika hanya terdedahkan di wilayah pejabat publik akan mempersulit pemberantasan korupsi.Suap di sektor swasta, termasuk berbagai model facilitation payment, harus dipikirkan untuk diselesaikan dan dibangun model perlawanannya.
Kesinambungan
Meski sistem presidensial memberikan kebebasan besar bagi seorang presiden berakrobat dengan kebijakan yang diinginkan, tetap tak dapat dipisahkan dari kerangka pembangunan nasional jangka panjang dan menengah yang dicanangkan presiden sebelumnya. Karena itu, proses transisi kebijakan tetap menjadi hal yang penting untuk mengawal kesinambungan. Format dan pola lama yang dikembangkan presiden sebelumnya harus dianalisis dan dikaji dalam kerangka pengambilan keputusan dan kebijakan negara dalam pemberantasan korupsi.
Konsep itu menghendaki sebuah kerangka pemberantasan korupsi yang tidak hanya dalam term waktu yang mengikuti term waktu masa jabatan presiden. Jika setiap presiden hanya berpikir untuk membangun apa yang dia inginkan tanpa memperhatikan rezim lainnya, tentu itu hal yang keliru. Pada posisi tidak ada legacy sama sekali yang ditinggalkan rezim sebelumnya, penting untuk berpikir kerangka membuat blue print, fondasi, kerangka kerja, pelaksanaan dan monitoring yang tak terputus.
Masalah ketiadaan cetak biru ialah hal yang mutlak dipikirkan. Kita belum tahu harus dibawa ke mana lembaga-lembaga pemberantas korupsi. Pertarungan di antara mereka masih sering menghiasi pemberantasan korupsi. Pada saat yang sama, perlawanan antikorupsi selalu mendapatkan perlawanan yang kuat dan terka dang dari penegak hukum itu sendiri. Mau tak mau, cetak biru harus dibangun. Fondasi harus diletakkan. Rencana kerja harus dicanangkan. Tidak dalam hitungan untuk memeriahkan masa jabatan seorang presiden, tetapi diikuti dengan konsep hingga puluhan tahun setelahnya.
Kemenangan cepat
Langkah simultan menjadi penting, tetapi tetap harus digagas sistem `kemenangan cepat' (quick wins). Harus disadari bahwa kemenangan cepat ialah cara terbaik untuk menjaga asa publik. Mau tak mau, ada langkah-langkah kreatif dan cepat yang harus diambil Jokowi-JK agar kepercayaan dan asa publik tetap ada untuk perubahan Indonesia. Konsep kemenangan cepat juga untuk membentuk hasil yang diharapkan dalam rangka mencari format yang tepat untuk langkah jangka panjang yang lebih bersifat membangun sistem, tetapi bukan berarti melupakan jangka panjang.
Jangka panjang adalah pandu dan jangka pendek adalah palu. Jangka panjang membentangkan harapan dan jangka pendek mempercepat pukulan. Keduanya ialah hal penting dan tetap harus dikelola. Kebutuhan kemenangan cepat tidaklah boleh menjadi langkah yang tanpa perhitungan hukum. Terobosan perlu dicari, tetapi jangan biarkan dipertanyakan secara hukum itu sendiri. Indonesia dipenuhi berbagai petualang yang dengan mudah mempersoalkan hingga meruntuhkan langkah yang dibangun ketika tidak taat prinsip hukum atau melanggar aturan hukum sesepele apa pun.
Indonesia menjadi negara yang belum bisa berdamai di antara berbagai kepentingan yang ada. Antinomi hukum, tarikmenarik antara materi dan prosedur, sering menghiasi penegakan hukum. Antara kepastian dan keadilan sering kali jadi dual hal yang mustahil diletakkan pada konsep penegakan hukum antikorupsi itu sendiri.
Karenanya, langkah hati-hati merumuskan kemenangan cepat harus diimbangi dengan pengawalan yang benar dan recheck atas konsep yang ditawarkan. Seringkali iktikad baik tak cukup. Harus diimbuhi dengan cara yang benar agar bisa terkawal dengan baik. Terobosan ialah langkah cepat dan mutlak yang sering kali mendatangkan keberhasilan dan kegagalan hanya karena hal yang sepele.
Bangun contoh
Langkah-langkah yang bersifat membangun contoh akan integritas kepemimpinan juga jangan dilupakan. Salah satu daya tarik Jokowi yang harusnya dipertahan kan ialah menjadi contoh kepemimpinan yang sederhana dan jauh dari kesan pelayan publik yang minta kemewahan dan dilayani. Dalam konteks itu, memperpanjang budaya itu di kehidupan birokrasi akan memberikan efek selalu akan besar dalam mengelola pemerintahan.
Mengikuti cara pandang Robert Klitngaard (1998), salah satu yang paling utama dalam memberikan perang terhadap korupsi ialah `menggoreng ikan yang besar'. Tentu dapat dimaknai dengan upaya memberantas korupsi dari kasus-kasus yang besar dan melibatkan orang besar. Namun, di sinilah peran membangun orang besar yang baik. Orang besar yang baik akan memberikan harapan perbaikan bahwa pada akhirnya tidak ada lagi korupsi besar dan memang `ikan yang terbesar tergoreng bukanlah ikan yang amat-amat besar'.
 Menyadari `busuk ikan dari kepala' akan membubuhkan semangat men cari kepala-kepala yang baik. Mencari orang-orang yang baik dan kuat untuk menduduki jabatan publik ialah langkah yang harus dilakukan karena kepala inilah yang sedikit banyak akan menentukan untuk menahan dimulainya pembusukan di dalam sebuah organisasi.
Hari Antikorupsi lagi-lagi ialah ruang reflektif. Empat tawaran tersebut hanya empat dari sekian banyak yang dibutuhkan dan diperlukan. Namun, intinya ialah memulai langkah. Hari Antikorupsi ialah cermin yang darinya kita bisa melihat wajah saat ini terjadi dan apa yang mungkin diperbaiki. Tidak hanya itu, Hari Antikorupsi ialah pijakan untuk mencanangkan kembali hal-hal yang sudah pernah dilakukan dan ingin dilakukan.
Selamat Hari Antikorupsi untuk tahun ini. Di tengah kepemimpinan baru, harapan tentu saja dapat kembali dikembangkan. Semoga diteguhkan, dan pada akhirnya dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar