Kurikulum
Berbasis Sekolah
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Desember 2014
AKHIRNYA Mas
Menteri Anies mengambil keputusan untuk menghentikan kurikulum 2013 (K-13)
kepada seluruh sekolah yang telah menerima program tersebut selama satu
semester terakhir. Sebaliknya untuk sekolah yang telah menjalankan program
lebih dari setahun, K-13 tetap dilanjutkan dengan memperketat upaya perbaikan,
baik terhadap bahan ajar maupun proses pelatihan guru. Sontak kebijakan itu
menimbulkan reaksi pro dan kontra karena menyangkut efek samping yang tidak
mudah dari segi teknis dan operasional gagasan kurikulum di tingkat sekolah.
Ketika gagasan
K-13 muncul beberapa waktu lalu, saya ialah orang yang menyetujui rencana
perubahan tersebut, tetapi tetap memberikan catatan kritis terhadap rencana
implementasinya. Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya tentang standar
implementasi kurikulum, saat itu saya mengingatkan Pak M Nuh agar perubahan
kurikulum harus dilakukan minimal pada tiga level, yaitu guru, kelompok, dan
sekolah. Selama ini perubahan kurikulum hanya tertuju pada aspek dokumen dan
guru semata, tetapi lupa melihat kelompok-kelompok kritis dan peduli
pendidikan dan melihat sekolah sebagai sebuah lembaga otonom.
Melupakan
sekolah sebagai lembaga otonom yang harus diberi kepercayaan mengelola
program pengembangan kurikulum sering kali terjadi. Ketika kurikulum berubah,
sebagai sebuah entitas sekolah hanya dipandang sebagai tempat para guru
mengajar, tetapi kurang dilihat peran dan fungsinya sebagai lembaga yang
merepresentasi masyarakat secara utuh. Akhirnya perubahan kurikulum hanya
menyentuh secara formal guru semata, tanpa menghitung implikasi sosial-budaya
terhadap peran kepala sekolah, komite sekolah, pengawas, serta masyarakat di
sekitar sekolah yang seharusnya menjadi bagian dari target perubahan
kurikulum.
Kekhawatiran
saya tentang minimnya peran sekolah dalam proses pengembangan kurikulum
terlihat dari kebijakan pelatihan yang dibuat melulu untuk guru, dan guru
hanya dilihat secara individual dan bukan bagian dari critical mass yang sangat juga memiliki peran penting. Selain
guru, sebenarnya masih ada orangtua, kepala sekolah, pengawas, LSM, dan dinas
pendidikan yang seharusnya secara terpadu memperoleh pelatihan tentang K-13.
Perubahan kurikulum secara terang benderang memiliki implikasi teknis dan
praktis bukan hanya terhadap cara dan gaya mengajar guru, melainkan juga
terhadap perilaku manajemen sekolah, birokrasi pendidikan, dan cara pandang
orangtua.
Karena itu,
melakukan pelatihan tentang perubahan kurikulum sebaiknya dilakukan pada
sekolah terpilih dan di dalam sekolah, dengan pesertanya harus terdiri dari
guru, kepala sekolah, pengawas, dinas, perwakilan komite sekolah, dan LSM
serta pegiat pendidikan lainnya. Dalam tiga tahun terakhir saya melakukan
pendampingan terhadap kurang lebih 24 sekolah, saya merasa pendekatan ini yang
paling mungkin dan rasional dalam mengenalkan perubahan kurikulum.
Alami kegagalan
Selama
pemerintah tidak membuat skema pelatihan berbasis sekolah, sekali lagi
berbasis sekolah dan bukan mencabut guru, kepala sekolah, dan pengawas satu
per satu dan dikumpulkan secara homogen dengan guru, kepala sekolah, dan
pengawas dari sekolah lainnya, maka implementasi kurikulum baru jelas akan
mengalami kegagalan. Itu terbukti ketika jajaran
Pak Nuh melakukan grounded terhadap
para guru inti yang katanya telah dilatih tentang K-13, tetapi dianggap
gagal, padahal dana ratusan miliar telah dikeluarkan.
Secara
historis seperti terlihat dalam sejarah pendidikan di Indonesia, dalam 30
tahun terakhir perubahan kurikulum di Indonesia selalu bersifat top-down approach, dengan mengambil perubahan pada aspek kurikulum dengan
menggunakan simplistic curriculum
change approach, atau fokus perubahan yang menitikberatkan pada aspek
kapasitas guru dengan model pendekatan teacher
competence development approach. Meskipun pelibatan semua pemangku
kepentingan telah dilakukan, jika dilihat dari sudut pandang arah perubahan
kurikulum yang diinginkan, agenda untuk memasukkan secara serius perbaikan
manajemen sekolah belum dimasukkan ke skema perubahan kurikulum.
Yin Cheong
Cheng dalam Effectiveness of Curriculum
Change in School: An Organizational Perspective (1994) mengingatkan agar
perubahan kurikulum bisa berlangsung setidaknya di tiga level, yaitu individu
guru, kelompok, dan sekolah.
Organizational model of curriculum change ini jelas harus memasukkan agenda seperti perbaikan manajemen
sekolah, memberlakukan kurikulum berbasis sekolah (school based curriculum), serta membiarkan sekolah memiliki
strategi implementasi kurikulum berdasarkan perencanaan pengembangan sekolah
yang sesuai dengan visi dan misinya.
Mengapa harus
berbasis sekolah? Dengan titik tekan pada pengembangan sikap, keterampilan,
dan pengetahuan siswa, dapat dipastikan akan terjadi kegagapan baru bagi para
guru dalam mengimplementasi kurikulum baru. Karena itu, proses pembelajaran
terhadap kerangka konseptual dan filosofis kurikulum baru harus didasari pada
eksistensi sekolah. Dengan pelatihan berbasis sekolah, kita dapat dengan
mudah mengukur tingkat efektivitas sebuah kebijakan. Kelas dan sekolah harus
dijadikan cermin oleh birokrasi pendidikan tentang bagaimana sebenarnya
sistem pendidikan kita ditegakkan dan dijalankan.
Karena itu,
kebebasan akademis dari para guru, kepala sekolah, siswa, dan masyarakat
harus tecermin kuat dalam program penguatan kapasitas guru dan sekaligus kapasitas
peran serta masyarakat yang berkesinambungan. The primacy of teachers harus
menjadi prioritas bukan hanya aspek kesejahteraannya, melainkan juga
kapasitasnya. Tanpa kapasitas yang mumpuni, para guru akan semakin terjebak
pada rutinitas mengajar yang formal, dengan guru selalu ingin memaksakan
prakonsepsi tertentu kepada pikiran para siswa tinimbang sebagai fasilitator yang akan membuat para siswa lebih
kreatif dan terbuka (Hatch, White,
& Faigenbaum, 2005). Semoga penghentian K-13 oleh Mas Menteri Anies bukan
problem teknis semata, melainkan juga matang dengan alternatif solusi yang
lebih baik dan lebih berpihak pada posisi sekolah secara adil dan
berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar