Rabu, 10 Desember 2014

Kurikulum Berbasis Sekolah

                                     Kurikulum Berbasis Sekolah

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  08 Desember 2014

                                                                                                                       


AKHIRNYA Mas Menteri Anies mengambil keputusan untuk menghentikan kurikulum 2013 (K-13) kepada seluruh sekolah yang telah menerima program tersebut selama satu semester terakhir. Sebaliknya untuk sekolah yang telah menjalankan program lebih dari setahun, K-13 tetap dilanjutkan dengan memperketat upaya perbaikan, baik terhadap bahan ajar maupun proses pelatihan guru. Sontak kebijakan itu menimbulkan reaksi pro dan kontra karena menyangkut efek samping yang tidak mudah dari segi teknis dan operasional gagasan kurikulum di tingkat sekolah.

Ketika gagasan K-13 muncul beberapa waktu lalu, saya ialah orang yang menyetujui rencana perubahan tersebut, tetapi tetap memberikan catatan kritis terhadap rencana implementasinya. Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya tentang standar implementasi kurikulum, saat itu saya mengingatkan Pak M Nuh agar perubahan kurikulum harus dilakukan minimal pada tiga level, yaitu guru, kelompok, dan sekolah. Selama ini perubahan kurikulum hanya tertuju pada aspek dokumen dan guru semata, tetapi lupa melihat kelompok-kelompok kritis dan peduli pendidikan dan melihat sekolah sebagai sebuah lembaga otonom.

Melupakan sekolah sebagai lembaga otonom yang harus diberi kepercayaan mengelola program pengembangan kurikulum sering kali terjadi. Ketika kurikulum berubah, sebagai sebuah entitas sekolah hanya dipandang sebagai tempat para guru mengajar, tetapi kurang dilihat peran dan fungsinya sebagai lembaga yang merepresentasi masyarakat secara utuh. Akhirnya perubahan kurikulum hanya menyentuh secara formal guru semata, tanpa menghitung implikasi sosial-budaya terhadap peran kepala sekolah, komite sekolah, pengawas, serta masyarakat di sekitar sekolah yang seharusnya menjadi bagian dari target perubahan kurikulum.

Kekhawatiran saya tentang minimnya peran sekolah dalam proses pengembangan kurikulum terlihat dari kebijakan pelatihan yang dibuat melulu untuk guru, dan guru hanya dilihat secara individual dan bukan bagian dari critical mass yang sangat juga memiliki peran penting. Selain guru, sebenarnya masih ada orangtua, kepala sekolah, pengawas, LSM, dan dinas pendidikan yang seharusnya secara terpadu memperoleh pelatihan tentang K-13. 
Perubahan kurikulum secara terang benderang memiliki implikasi teknis dan praktis bukan hanya terhadap cara dan gaya mengajar guru, melainkan juga terhadap perilaku manajemen sekolah, birokrasi pendidikan, dan cara pandang orangtua.

Karena itu, melakukan pelatihan tentang perubahan kurikulum sebaiknya dilakukan pada sekolah terpilih dan di dalam sekolah, dengan pesertanya harus terdiri dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas, perwakilan komite sekolah, dan LSM serta pegiat pendidikan lainnya. Dalam tiga tahun terakhir saya melakukan pendampingan terhadap kurang lebih 24 sekolah, saya merasa pendekatan ini yang paling mungkin dan rasional dalam mengenalkan perubahan kurikulum.

Alami kegagalan

Selama pemerintah tidak membuat skema pelatihan berbasis sekolah, sekali lagi berbasis sekolah dan bukan mencabut guru, kepala sekolah, dan pengawas satu per satu dan dikumpulkan secara homogen dengan guru, kepala sekolah, dan pengawas dari sekolah lainnya, maka implementasi kurikulum baru jelas akan mengalami kegagalan. Itu terbukti ketika jajaran Pak Nuh melakukan grounded terhadap para guru inti yang katanya telah dilatih tentang K-13, tetapi dianggap gagal, padahal dana ratusan miliar telah dikeluarkan.

Secara historis seperti terlihat dalam sejarah pendidikan di Indonesia, dalam 30 tahun terakhir perubahan kurikulum di Indonesia selalu bersifat top-down approach, dengan mengambil perubahan pada aspek kurikulum dengan menggunakan simplistic curriculum change approach, atau fokus perubahan yang menitikberatkan pada aspek kapasitas guru dengan model pendekatan teacher competence development approach. Meskipun pelibatan semua pemangku kepentingan telah dilakukan, jika dilihat dari sudut pandang arah perubahan kurikulum yang diinginkan, agenda untuk memasukkan secara serius perbaikan manajemen sekolah belum dimasukkan ke skema perubahan kurikulum.

Yin Cheong Cheng dalam Effectiveness of Curriculum Change in School: An Organizational Perspective (1994) mengingatkan agar perubahan kurikulum bisa berlangsung setidaknya di tiga level, yaitu individu guru, kelompok, dan sekolah.
Organizational model of curriculum change ini jelas harus memasukkan agenda seperti perbaikan manajemen sekolah, memberlakukan kurikulum berbasis sekolah (school based curriculum), serta membiarkan sekolah memiliki strategi implementasi kurikulum berdasarkan perencanaan pengembangan sekolah yang sesuai dengan visi dan misinya.

Mengapa harus berbasis sekolah? Dengan titik tekan pada pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan siswa, dapat dipastikan akan terjadi kegagapan baru bagi para guru dalam mengimplementasi kurikulum baru. Karena itu, proses pembelajaran terhadap kerangka konseptual dan filosofis kurikulum baru harus didasari pada eksistensi sekolah. Dengan pelatihan berbasis sekolah, kita dapat dengan mudah mengukur tingkat efektivitas sebuah kebijakan. Kelas dan sekolah harus dijadikan cermin oleh birokrasi pendidikan tentang bagaimana sebenarnya sistem pendidikan kita ditegakkan dan dijalankan.

Karena itu, kebebasan akademis dari para guru, kepala sekolah, siswa, dan masyarakat harus tecermin kuat dalam program penguatan kapasitas guru dan sekaligus kapasitas peran serta masyarakat yang berkesinambungan. The primacy of teachers harus menjadi prioritas bukan hanya aspek kesejahteraannya, melainkan juga kapasitasnya. Tanpa kapasitas yang mumpuni, para guru akan semakin terjebak pada rutinitas mengajar yang formal, dengan guru selalu ingin memaksakan prakonsepsi tertentu kepada pikiran para siswa tinimbang sebagai fasilitator yang akan membuat para siswa lebih kreatif dan terbuka (Hatch, White, & Faigenbaum, 2005). Semoga penghentian K-13 oleh Mas Menteri Anies bukan problem teknis semata, melainkan juga matang dengan alternatif solusi yang lebih baik dan lebih berpihak pada posisi sekolah secara adil dan berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar