Kartelisasi
Suara Rakyat
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
08 Desember 2014
ADALAH sebuah
contoh demokrasi yang sungguh tak elok ketika sejumlah anggota DPR yang
terhormat secara kasatmata menampilkan dramaturgi perebutan kuasa dengan
melakukan penjarahan kekuasaan pimpinan dan kartelisasi suara rakyat justru
di rumah rakyat. Koalisi telah mengikis representasi dan mekanisme pilihan
para pimpinan sejak dari posisi pucuk pimpinan DPR hingga posisi ketua
komisi. Ini semua dengan telanjang mempertontonkan permainan persekongkolan
daripada permusyawaratan.
Undang-Undang
MD3 yang dipaksakan hadir menjelang pergantian anggota DPR yang dilanjutkan
dengan pembuatan tata tertib DPR yang sarat dengan libido nafsu berkuasa
telah mengawali proses kartelisasi suara rakyat di Senayan.
Amputasi
hak-hak politik sejumlah anggota DPR telah melumpuhkan nalar sehat yang
menyebabkan kursi pucuk pimpinan di rumah rakyat tersebut justru direbut
dengan cara-cara unfairness.
Tak puas
dengan hal itu, kursi-kursi ketua komisi yang nantinya akan menjadi mitra
strategis kementerian sektoral untuk membahas dan mengeksekusi
program/kegiatan yang digunakan melayani kepentingan rakyat sebagai pemberi
mandat kekuasaaan kepada legislatif dan eksekutif tak luput untuk
dikartelisasi. Di titik inilah, para wakil rakyat telah menggadaikan suara
rakyat di arena politik transaksional dan persekongkolan.
Sejumlah wakil
rakyat yang mengartelisasi suara rakyat tersebut tak paham mengenai ungkapan
filsuf Emanuel Levinas yang menolak untuk membangun dunia dengan sekadar
bertitik tolak dari ”ego”.
Jika hal itu
dilakukan, ”yang lain” akan diobyekkan oleh ”sang ego”. Dengan bertindak
dibimbing oleh hasrat-kuasa, sang wakil rakyat telah bertindak melampaui
kuasa yang diterimanya dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan sejati.
Hasrat berkuasa
Para wakil
rakyat telah membuat distansi dengan yang diwakili ketika suara dari sang pemilik
telah direduksi sekadar menjadi hasrat berkuasa. Maka, tak salah jika sang
pemilik suara berkehendak untuk mencabut kuasa yang telanjur diberikan di
kala pemilu legislatif digelar dengan sederet janji manis politik.
Hal ini karena
kewajiban representasi yang harus dilaksanakan oleh sang wakil sebagaimana
diamanatkan dalam UU MD3 hanya menjelma menjadi naluri barbar untuk
mengartelisasi kursi sebagai pelampiasan ambisi.
Delegitimasi
pimpinan Senayan dan kini memunculkan pimpinan bayangan, yang dalam pandangan
pemikiran psikoanalisa Lacan dalam bukunya The Mirror of Stage, perlu dimaknai sebagai manifestasi
subyek-subyek yang teralienasi dan suara rakyat yang dikartelisasi.
Matinya
kedaulatan rakyat di tangan sang wakil rakyat merupakan lonceng kematian sebuah
negara yang kini sedang merangkak untuk melepaskan diri dari kuasa
totalitarian dan oligarki di masa lalu.
Arus Orde
Reformasi terancam diputarbalikkan kembali ke rezim hegemoni, di saat para
wakil rakyat menyubstitusi mandat yang diberikan rakyat untuk membeli tiket
koalisi agar bisa turut berpesta pora dalam pesta kuasa di tengah puluhan
juta rakyat miskin menunggu kucuran subsidi.
Ketika filsuf
Levort mengisahkan sebuah ”revolusi demokratik” di Perancis yang telah
menjadi wilayah baru yang mengandaikan adanya pergeseran pada aras simbolik
yang berujung pada kebaruan penataan sosial, tentu tak sempat membayangkan
bahwa di rumah perwakilan rakyat yang merupakan buah dari revolusi demokratik
di Senayan justru bisa direduksi menjadi sebuah permainan dominasi dan
hegemoni.
Sila Pancasila
”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan” kini mengalami pendangkalan makna yang justru
dilakukan oleh para wakil rakyat yang seharusnya menjadi barisan terdepan
untuk melaksanakan sila tersebut.
Sebagian dari
mereka kini lebih memilih menjadi budak totalitarianisme yang selalu
berkeinginan menghadirkan logika kepenuhan dan kepemilikan kuasa secara penuh
dengan mengatasnamakan ruang kosong kedaulatan rakyat.
Rumah rakyat
tersebut kini telah menjadi tempat persemaian benih-benih totalitarianisme
bagi kembalinya rezim totaliter. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar