Menyelamatkan
Lingkungan dan Hutan
Usep Setiawan ; Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan
Agraria
|
KOMPAS,
11 Desember 2014
DI luar dugaan, Presiden Joko
Widodo menyatukan lingkungan hidup dengan kehutanan dalam satu kementerian.
Sebelumnya, kedua urusan ini ibarat air dan minyak yang sulit menyatu.
Kehadiran Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan dalam Kabinet Kerja menjadikan isu lingkungan dan hutan
satu atap tak terpisah. Sejumlah pengamat menganggap penyatuan kedua ”isu”
ini kurang tepat karena frekuensi substansi berbeda dengan kebijakan yang
kerap bersilangan bahkan bertabrakan.
Kerusakan hutan dan degradasi
kualitas lingkungan hidup nyatanya terus mengiringi pembangunan yang
mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Kemajuan ekonomi mengabaikan kelangsungan
daya dukung lingkungan.
Konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainability
development) yang dipercaya dapat mengendalikan laju kerusakan lingkungan
ternyata macan ompong, tak sanggup membendung kerusakan lingkungan dan hutan.
Model pengelolaan
Penguasaan dan pengelolaan hutan
yang monopolistik dan sentralistis menyumbang maraknya konflik agraria.
Penguasaan dan pengelolaan hutan oleh korporasi di satu sisi, dan kebutuhan
masyarakat sekitar hutan yang meningkat di sisi lain, menjadi sumber tubrukan
kepentingan yang melahirkan konflik. Ketidakadilan dalam akses dan kontrol
masyarakat yang sudah turun-temurun hidup di sekitar kawasan hutan menjadi
bara api yang siap mengoyak kohesi sosial.
Model pengelolaan hutan yang
melibatkan masyarakat telah digulirkan. Misalnya, di Jawa diperkenalkan
pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan mengandalkan kelompok-kelompok
tani hutan. Di luar Jawa dikembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat,
seperti hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat. Namun, kenyataannya,
hutan semakin gundul diikuti bencana ekologi yang kian sering dan kian besar.
Dari sisi ekonomi, pengelolaan hutan belum menyejahterakan rakyat, bahkan
belum signifikan mengisi kas negara.
Dari sisi kepenguasaan sumber
daya (tenure of resources) dikenal istilah ”kawasan hutan”. Hampir 70 persen
wilayah darat Indonesia diklaim sebagai ”kawasan hutan” di bawah Kementerian
Kehutanan. ”Kawasan hutan” tidak selalu berupa tegakan pohon yang rapat
dengan keragaman hayati di dalamnya. Banyak yang secara fisik sudah berubah
fungsi menjadi lahan pertanian, permukiman, dan fasilitas umum yang tak ada
hubungannya dengan konsep hutan secara ekologis.
Pembentukan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan terobosan berani Joko Widodo dan
Jusuf Kalla. Kabinet Kerja ditunggu kerja nyatanya untuk perubahan. Dalam
konteks pengelolaan lingkungan hidup, kita menunggu penyelesaian tiga agenda
pokok.
Pertama, pemulihan kerusakan
lingkungan di semua wilayah dan ruang kehidupan. Kedua, pencegahan sistematis
terhadap pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan. Ketiga, memastikan
semua sektor terkait pengelolaan kekayaan alam tunduk patuh pada prinsip
pembangunan yang ”ramah lingkungan”.
Untuk itu, tak terelakkan harus
memperbarui paradigma, konsep, dan kebijakan kehutanan dan kekayaan alam
nasional. Kondisi hutan sebagai kekayaan alam utama (dulu disebut sebagai
emas hijau) sudah gawat darurat. Tegakan pohon dan keanekaragaman hayati di
dalamnya, baik kuantitas maupun kualitasnya, terus menyusut tajam. Dari perspektif
ekologi, keberadaan hutan perlu diproteksi dan direhabilitasi agar pulih
kemampuannya dalam menopang kehidupan manusia dan seluruh spesies di Bumi.
Sinergi kelembagaan
Keputusan Mahkamah Konstitusi No
35/2012 yang mengeluarkan eksistensi ”hutan adat” dari kerangkeng ”hutan
negara” menjadi momentum politik hukum guna meralat dan memulihkan sistem
penguasaan hutan beserta kekayaan alam di dalamnya yang bersinggungan dengan
hak-hak masyarakat adat. Kedaulatan rakyat harus ditegakkan. Mendesak pula implementasi
Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga tentang percepatan
pengukuhan kawasan hutan yang disupervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (11
Maret 2013). Penataan kebijakan dan regulasi kehutanan, perbaikan tata cara
penetapan kawasan hutan, dan penyelesaian konflik mesti diprioritaskan
Kabinet Kerja secara lintas sektor.
Penyatuan kelembagaan lingkungan
dengan kehutanan memantulkan isyarat baik. Pengelolaan lingkungan harus
menjadikan sektor kehutanan prioritas mengingat kondisi lapangan yang sudah
sedemikian parah akibat eksploitasi yang berlebihan di masa lalu. Di lain
sisi, pengelolaan hutan haruslah menempatkan perspektif keberlanjutan ekologi
sebagai panglima sehingga segala langkah pelestarian, pemulihan, ataupun
pengelolaan lingkungan dan hutan menjadi terintegrasi dalam pembangunan yang
adil dan berkelanjutan. Sebagian besar tanah potensi obyek reforma agraria
pun bersumber dari eks hutan produksi konversi.
Implementasi reforma agraria di
sektor kehutanan (forestry agrarian reform) menjadi batu ujian sekaligus
prestasi besar yang dinanti. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam mengamanatkan presiden dan
DPR segera melaksanakan reforma agraria, termasuk memulihkan degradasi
kualitas lingkungan. Karena itu, secara kelembagaan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan mesti sinkron dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang
sehingga komitmen Presiden Jokowi untuk menjalankan reforma agraria dapat
terlaksana.
Kekompakan
kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya Bakar dengan kementerian yang
dinakhodai Ferry Mursyidan Baldan—keduanya dari satu perahu
politik—semestinya memupus egosektoral masing-masing sehingga terjadi sinergi
dalam reformasi agraria, terutama untuk menyelamatkan lingkungan dan…(hutan) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar