Sabtu, 13 Desember 2014

Menyelamatkan Lingkungan dan Hutan

                    Menyelamatkan Lingkungan dan Hutan

Usep Setiawan  ;   Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria
KOMPAS,  11 Desember 2014

                                                                                                                       


DI luar dugaan, Presiden Joko Widodo menyatukan lingkungan hidup dengan kehutanan dalam satu kementerian. Sebelumnya, kedua urusan ini ibarat air dan minyak yang sulit menyatu.

Kehadiran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Kabinet Kerja menjadikan isu lingkungan dan hutan satu atap tak terpisah. Sejumlah pengamat menganggap penyatuan kedua ”isu” ini kurang tepat karena frekuensi substansi berbeda dengan kebijakan yang kerap bersilangan bahkan bertabrakan.
Kerusakan hutan dan degradasi kualitas lingkungan hidup nyatanya terus mengiringi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Kemajuan ekonomi mengabaikan kelangsungan daya dukung lingkungan. 

Konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainability development) yang dipercaya dapat mengendalikan laju kerusakan lingkungan ternyata macan ompong, tak sanggup membendung kerusakan lingkungan dan hutan.

Model pengelolaan

Penguasaan dan pengelolaan hutan yang monopolistik dan sentralistis menyumbang maraknya konflik agraria. Penguasaan dan pengelolaan hutan oleh korporasi di satu sisi, dan kebutuhan masyarakat sekitar hutan yang meningkat di sisi lain, menjadi sumber tubrukan kepentingan yang melahirkan konflik. Ketidakadilan dalam akses dan kontrol masyarakat yang sudah turun-temurun hidup di sekitar kawasan hutan menjadi bara api yang siap mengoyak kohesi sosial.

Model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat telah digulirkan. Misalnya, di Jawa diperkenalkan pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan mengandalkan kelompok-kelompok tani hutan. Di luar Jawa dikembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, seperti hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat. Namun, kenyataannya, hutan semakin gundul diikuti bencana ekologi yang kian sering dan kian besar. Dari sisi ekonomi, pengelolaan hutan belum menyejahterakan rakyat, bahkan belum signifikan mengisi kas negara.

Dari sisi kepenguasaan sumber daya (tenure of resources) dikenal istilah ”kawasan hutan”. Hampir 70 persen wilayah darat Indonesia diklaim sebagai ”kawasan hutan” di bawah Kementerian Kehutanan. ”Kawasan hutan” tidak selalu berupa tegakan pohon yang rapat dengan keragaman hayati di dalamnya. Banyak yang secara fisik sudah berubah fungsi menjadi lahan pertanian, permukiman, dan fasilitas umum yang tak ada hubungannya dengan konsep hutan secara ekologis.

Pembentukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan terobosan berani Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Kabinet Kerja ditunggu kerja nyatanya untuk perubahan. Dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup, kita menunggu penyelesaian tiga agenda pokok.

Pertama, pemulihan kerusakan lingkungan di semua wilayah dan ruang kehidupan. Kedua, pencegahan sistematis terhadap pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan. Ketiga, memastikan semua sektor terkait pengelolaan kekayaan alam tunduk patuh pada prinsip pembangunan yang ”ramah lingkungan”.

Untuk itu, tak terelakkan harus memperbarui paradigma, konsep, dan kebijakan kehutanan dan kekayaan alam nasional. Kondisi hutan sebagai kekayaan alam utama (dulu disebut sebagai emas hijau) sudah gawat darurat. Tegakan pohon dan keanekaragaman hayati di dalamnya, baik kuantitas maupun kualitasnya, terus menyusut tajam. Dari perspektif ekologi, keberadaan hutan perlu diproteksi dan direhabilitasi agar pulih kemampuannya dalam menopang kehidupan manusia dan seluruh spesies di Bumi.

Sinergi kelembagaan

Keputusan Mahkamah Konstitusi No 35/2012 yang mengeluarkan eksistensi ”hutan adat” dari kerangkeng ”hutan negara” menjadi momentum politik hukum guna meralat dan memulihkan sistem penguasaan hutan beserta kekayaan alam di dalamnya yang bersinggungan dengan hak-hak masyarakat adat. Kedaulatan rakyat harus ditegakkan. Mendesak pula implementasi Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga tentang percepatan pengukuhan kawasan hutan yang disupervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (11 Maret 2013). Penataan kebijakan dan regulasi kehutanan, perbaikan tata cara penetapan kawasan hutan, dan penyelesaian konflik mesti diprioritaskan Kabinet Kerja secara lintas sektor.

Penyatuan kelembagaan lingkungan dengan kehutanan memantulkan isyarat baik. Pengelolaan lingkungan harus menjadikan sektor kehutanan prioritas mengingat kondisi lapangan yang sudah sedemikian parah akibat eksploitasi yang berlebihan di masa lalu. Di lain sisi, pengelolaan hutan haruslah menempatkan perspektif keberlanjutan ekologi sebagai panglima sehingga segala langkah pelestarian, pemulihan, ataupun pengelolaan lingkungan dan hutan menjadi terintegrasi dalam pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Sebagian besar tanah potensi obyek reforma agraria pun bersumber dari eks hutan produksi konversi.

Implementasi reforma agraria di sektor kehutanan (forestry agrarian reform) menjadi batu ujian sekaligus prestasi besar yang dinanti. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam mengamanatkan presiden dan DPR segera melaksanakan reforma agraria, termasuk memulihkan degradasi kualitas lingkungan. Karena itu, secara kelembagaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mesti sinkron dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang sehingga komitmen Presiden Jokowi untuk menjalankan reforma agraria dapat terlaksana.

Kekompakan kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya Bakar dengan kementerian yang dinakhodai Ferry Mursyidan Baldan—keduanya dari satu perahu politik—semestinya memupus egosektoral masing-masing sehingga terjadi sinergi dalam reformasi agraria, terutama untuk menyelamatkan lingkungan dan…(hutan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar