Sabtu, 13 Desember 2014

Mengefektifkan Peran Media

                                    Mengefektifkan Peran Media

Sabam Leo Batubara  ;   Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
KOMPAS,  12 Desember 2014

                                                                                                                       


MEDIA berdasarkan konsep kebebasan pers berstandar internasional berperan sebagai anjing penggonggong, pilar keempat demokrasi, dan panggung publik terbuka. Penerbitan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memerdekakan pers memberi peluang kepada media massa melaksanakan tiga peran itu secara tepat guna. Pertanyaannya, pertama, apakah media massa—cetak, radio, televisi, siber, dan media sosial—era Reformasi ini telah menggunakan kebebasannya menyebarkan aneka ragam informasi dan pendapat secara berkualitas? Berkualitas artinya menaati kode etik dan memenuhi kewajiban pertamanya: hanya mengungkap kebenaran serta loyalitas pertamanya kepada kepentingan publik.

Kedua, apakah temuan media berkualitas didengarkan dan ditindaklanjuti pilar ke-1, 2, 3 (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) sebagai masukan dalam menyempurnakan kebijakan tiap lembaga itu untuk lebih mengefektifkan penyelenggaraan negara yang lebih baik?

Ketiga, apakah media telah berfungsi sebagai panggung publik terbuka, menolak menyalurkan informasi yang menghakimi, bohong, fitnah, beriktikad buruk, cabul, atau memenuhi berita pesanan kelompok kepentingan, tetapi hanya memasok aneka ragam informasi dan pendapat yang memenuhi kriteria benar dan memberi manfaat bagi kepentingan umum?

Fakta empiris menunjukkan, pertama, selama 10 tahun terakhir ini media berkualitas tidak henti-hentinya mengungkap temuannya tentang penyimpangan sistem oleh penyelenggara negara. Legislatif, eksekutif, dan yudikatif hanya menganggap temuan media itu angin lalu. Media sarat informasi tentang gambaran paradoks penyelenggara negara kita. Legislatif, yang menurut fungsinya melakukan pengawasan, justru memperdagangkan fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasannya. Ratusan anggota Dewan terlibat korupsi. Eksekutif menurut fungsinya melayani kepentingan rakyat, tetapi ratusan kepala daerah dan menteri masuk bui karena korupsi. Yudikatif menurut sistem menegakkan hukum dan keadilan terkesan tidak sedikit anggotanya dipengaruhi mafia peradilan.

Paradoks

Paradoksnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang, oleh sebagian besar dari 32 pakar media penyumbang tulisan buku SBY dan Kebebasan Pers, dinilai menghargai dan melindungi kebebasan pers selama pemerintahannya justru tak menghargai media sebagai pilar keempat. Peringatan media tentang dugaan tindak korupsi oleh penyelenggara negara dan partainya tidak jadi bahan pertimbangan bagi SBY merealisasikan janji politiknya menyelenggarakan pemerintahan bersih dan baik.

Kedua, dalam 10 tahun ini media massa surplus gonggongan, tetapi defisit kebenaran. Media tak hanya menggonggong, tetapi sudah menggigit dan melukai. Kode etik bukan hanya telah dilanggar, hukum pun dilabrak. Misalnya, dalam penyelenggaraan Pemilu 2014, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sudah dua kali merilis penilaiannya bahwa sejumlah media televisi nasional telah tidak netral dan mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Karena KPI bukan penegak hukum, semestinya Menteri Komunikasi dan Informatika memproses penilaian KPI itu ke jalur hukum. Namun, pemerintah melakukan pembiaran.

Dewan Pers juga telah menyampaikan penilaiannya soal lembaran Obor Rakyat kepada Mabes Polri. Obor Rakyat tidak hanya tak memenuhi syarat sebagai perusahaan pers legal berdasarkan UU No 40/1999 tentang Pers, tetapi isinya pun terindikasi melanggar KUHP. Mengapa pemerintah tidak proaktif mendorong penegakan hukum, padahal Dewan Pers dan KPI telah melaksanakan kewenangannya?

Penyalahgunaan media sebagai panggung publik juga dilakukan Muhammad Arsyad, penjual sate. Ia ditahan kepolisian (23/10/2014). Melalui akun Facebook miliknya dengan nama samaran Arsyad Assegaff, ia menghina Joko Widodo. Karena itu, ia bisa dikenai Pasal 310 dan 311 KUHP dengan ancaman pidana penjara 4 tahun. Ia juga terancam hukuman 12 tahun karena melanggar Pasal 29 UU Pornografi. Saat kampanye pilpres lalu, di akunnya muncul gambar hasil rekayasa seolah-olah ada perbuatan bersetubuh antara Jokowi dengan Megawati, presiden kelima. Arsyad juga terancam pidana penjara sampai 6 tahun berdasarkan Pasal 27 dan 45 UU Informasi dan Transaksi Elektronik sebab gambar cabulnya didistribusikan lewat jalur elektronik.

Dalam perkembangannya, saat menerima ibunda Arsyad, Mursidah, di Istana Negara (1/11/2014), Jokowi menerima permintaan maaf Arsyad dan penangguhan penahanannya dikabulkan.

Terkait revolusi mental, bagaimana mengefektifkan media agar taat asas terhadap salah satu tujuan bernegara: mencerdaskan kehidupan berbangsa? Apakah membiarkan media seperti Obor Rakyat dan akun Facebook milik Arsyad? Kalau pemerintahan Jokowi masih membiarkannya, sama seperti pemerintahan SBY membiarkannya, kebijakan seperti itu pasti bukan kebijakan revolusi mental.

Ataukah penegak hukum belajar dari pengalaman Paus Yohanes Paulus yang ditembak Mehmet Ali (13/5/1981). Paus dari pembaringannya di rumah sakit memaafkan penembaknya. Namun, sistem hukum Italia tetap ditegakkan. Mehmet dihukum penjara seumur hidup. Jika Arsyad dimaafkan dan tidak dituntut dengan pasal penghinaan KUHP, tidakkah dia sepatutnya dituntut pidana penjara karena menyebarluaskan hal cabul?

Memidana penjara pengasuh Obor Rakyat dan Arsyad tidak bertujuan menyenangkan Jokowi, tetapi mewujudkan konsep revolusi mental agar ke depan media massa sebagai panggung publik terbuka dibersihkan dari penumpang gelap kebebasan berekspresi demi tegaknya salah satu tujuan bermasyarakat dan bernegara kita, yakni mencerdaskan kehidupan berbangsa.

Langkah lain mengefektifkan media: tak salah Jokowi mengikuti jejak Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) yang menghargai dan mengakui peran media sebagai pilar keempat. Menurut Jokowi, demokrasi adalah mendengar suara rakyat. Mendengar dan menindaklanjuti temuan media berkualitas adalah juga melaksanakan blusukan secara efisien dan efektif.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar