Mengefektifkan
Peran Media
Sabam Leo Batubara ; Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
|
KOMPAS,
12 Desember 2014
MEDIA
berdasarkan konsep kebebasan pers berstandar internasional berperan sebagai
anjing penggonggong, pilar keempat demokrasi, dan panggung publik terbuka. Penerbitan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memerdekakan pers memberi
peluang kepada media massa melaksanakan tiga peran itu secara tepat guna.
Pertanyaannya, pertama, apakah media massa—cetak, radio, televisi, siber, dan
media sosial—era Reformasi ini telah menggunakan kebebasannya menyebarkan
aneka ragam informasi dan pendapat secara berkualitas? Berkualitas artinya
menaati kode etik dan memenuhi kewajiban pertamanya: hanya mengungkap
kebenaran serta loyalitas pertamanya kepada kepentingan publik.
Kedua,
apakah temuan media berkualitas didengarkan dan ditindaklanjuti pilar ke-1,
2, 3 (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) sebagai masukan dalam menyempurnakan
kebijakan tiap lembaga itu untuk lebih mengefektifkan penyelenggaraan negara
yang lebih baik?
Ketiga,
apakah media telah berfungsi sebagai panggung publik terbuka, menolak
menyalurkan informasi yang menghakimi, bohong, fitnah, beriktikad buruk,
cabul, atau memenuhi berita pesanan kelompok kepentingan, tetapi hanya
memasok aneka ragam informasi dan pendapat yang memenuhi kriteria benar dan
memberi manfaat bagi kepentingan umum?
Fakta
empiris menunjukkan, pertama, selama 10 tahun terakhir ini media berkualitas
tidak henti-hentinya mengungkap temuannya tentang penyimpangan sistem oleh
penyelenggara negara. Legislatif, eksekutif, dan yudikatif hanya menganggap
temuan media itu angin lalu. Media sarat informasi tentang gambaran paradoks
penyelenggara negara kita. Legislatif, yang menurut fungsinya melakukan
pengawasan, justru memperdagangkan fungsi anggaran, legislasi, dan
pengawasannya. Ratusan anggota Dewan terlibat korupsi. Eksekutif menurut
fungsinya melayani kepentingan rakyat, tetapi ratusan kepala daerah dan
menteri masuk bui karena korupsi. Yudikatif menurut sistem menegakkan hukum
dan keadilan terkesan tidak sedikit anggotanya dipengaruhi mafia peradilan.
Paradoks
Paradoksnya,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang, oleh sebagian besar dari 32 pakar
media penyumbang tulisan buku SBY dan Kebebasan Pers, dinilai menghargai dan
melindungi kebebasan pers selama pemerintahannya justru tak menghargai media
sebagai pilar keempat. Peringatan media tentang dugaan tindak korupsi oleh
penyelenggara negara dan partainya tidak jadi bahan pertimbangan bagi SBY
merealisasikan janji politiknya menyelenggarakan pemerintahan bersih dan
baik.
Kedua,
dalam 10 tahun ini media massa surplus gonggongan, tetapi defisit kebenaran.
Media tak hanya menggonggong, tetapi sudah menggigit dan melukai. Kode etik
bukan hanya telah dilanggar, hukum pun dilabrak. Misalnya, dalam
penyelenggaraan Pemilu 2014, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sudah dua kali
merilis penilaiannya bahwa sejumlah media televisi nasional telah tidak netral
dan mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Karena KPI bukan penegak
hukum, semestinya Menteri Komunikasi dan Informatika memproses penilaian KPI
itu ke jalur hukum. Namun, pemerintah melakukan pembiaran.
Dewan
Pers juga telah menyampaikan penilaiannya soal lembaran Obor Rakyat kepada
Mabes Polri. Obor Rakyat tidak hanya tak memenuhi syarat sebagai perusahaan
pers legal berdasarkan UU No 40/1999 tentang Pers, tetapi isinya pun
terindikasi melanggar KUHP. Mengapa pemerintah tidak proaktif mendorong penegakan
hukum, padahal Dewan Pers dan KPI telah melaksanakan kewenangannya?
Penyalahgunaan
media sebagai panggung publik juga dilakukan Muhammad Arsyad, penjual sate.
Ia ditahan kepolisian (23/10/2014). Melalui akun Facebook miliknya dengan
nama samaran Arsyad Assegaff, ia menghina Joko Widodo. Karena itu, ia bisa
dikenai Pasal 310 dan 311 KUHP dengan ancaman pidana penjara 4 tahun. Ia juga
terancam hukuman 12 tahun karena melanggar Pasal 29 UU Pornografi. Saat
kampanye pilpres lalu, di akunnya muncul gambar hasil rekayasa seolah-olah
ada perbuatan bersetubuh antara Jokowi dengan Megawati, presiden kelima.
Arsyad juga terancam pidana penjara sampai 6 tahun berdasarkan Pasal 27 dan
45 UU Informasi dan Transaksi Elektronik sebab gambar cabulnya didistribusikan
lewat jalur elektronik.
Dalam
perkembangannya, saat menerima ibunda Arsyad, Mursidah, di Istana Negara
(1/11/2014), Jokowi menerima permintaan maaf Arsyad dan penangguhan
penahanannya dikabulkan.
Terkait
revolusi mental, bagaimana mengefektifkan media agar taat asas terhadap salah
satu tujuan bernegara: mencerdaskan kehidupan berbangsa? Apakah membiarkan
media seperti Obor Rakyat dan akun Facebook milik Arsyad? Kalau pemerintahan
Jokowi masih membiarkannya, sama seperti pemerintahan SBY membiarkannya, kebijakan
seperti itu pasti bukan kebijakan revolusi mental.
Ataukah
penegak hukum belajar dari pengalaman Paus Yohanes Paulus yang ditembak
Mehmet Ali (13/5/1981). Paus dari pembaringannya di rumah sakit memaafkan
penembaknya. Namun, sistem hukum Italia tetap ditegakkan. Mehmet dihukum
penjara seumur hidup. Jika Arsyad dimaafkan dan tidak dituntut dengan pasal
penghinaan KUHP, tidakkah dia sepatutnya dituntut pidana penjara karena
menyebarluaskan hal cabul?
Memidana
penjara pengasuh Obor Rakyat dan Arsyad tidak bertujuan menyenangkan Jokowi,
tetapi mewujudkan konsep revolusi mental agar ke depan media massa sebagai
panggung publik terbuka dibersihkan dari penumpang gelap kebebasan
berekspresi demi tegaknya salah satu tujuan bermasyarakat dan bernegara kita,
yakni mencerdaskan kehidupan berbangsa.
Langkah lain mengefektifkan media: tak salah Jokowi mengikuti jejak
Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) yang menghargai dan mengakui peran media
sebagai pilar keempat. Menurut Jokowi, demokrasi adalah mendengar suara
rakyat. Mendengar dan menindaklanjuti temuan media berkualitas adalah juga
melaksanakan blusukan secara efisien dan efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar