Jokowinomics
ala Pengusaha Mebel
Berly Martawardaya ; Pengajar Mata Kuliah
Kebijakan Ekonomi Indonesia di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
10 Desember 2014
SAAT Orde Lama, politik menjadi
panglima dan ekonomi menjadi serdadu. Ketika Orde Baru berkuasa, ekonomi baru
naik pangkat. Pada dekade 1990-an muncul dua kelompok dengan strategi ekonomi
yang berbeda bagi Indonesia.
Satu kelompok mengajukan
strategi ekonomi berbasis keunggulan komparatif sumber daya alam dan tenaga
kerja yang bisa ditelusuri pada Richard Ricardo.
Kelompok lain berpendapat
Indonesia perlu melakukan lompatan (leapfrog)
ke industri teknologi tinggi untuk meningkatkan nilai tambah dan keunggulan
kompetitif ala Michael Porter. Kedua pendekatan ini dikenal sebagai
Widjojonomics dan Habibienomics.
Kedua pendekatan ini sering
dikategorikan sebagai strategi pembangunan berbasis negara (state-led development strategy) yang
dapat diterapkan ketika peran pemerintah masih besar di perekonomian. Dengan
porsi pengeluaran pemerintah hanya 8 persen dari total PDB pada triwulan II
tahun 2014, bagaimana strategi ekonomi Presiden Jokowi?
Visi dan misi kampanye Jokowi-JK
mendefinisikan strategi ekonomi sebagai upaya membangun kekuatan ekonomi
kolektif yang masif dan berjejaring. Fachry Ali mendefinisikan Jokowinomics
sebagai ekspansi fiskal secara masif (Kompas,
14/10).
Budiman Sudjatmiko, politisi
PDI-P, fokuskan Jokowinomics sebagai keberpihakan pada daerah pinggir dan
desa (Kompas, 21/10). Jokowi
tampaknya akan menerapkan strategi ekonomi dan pendekatan pembangunan yang
bersifat eklektik dan induktif berbasis pengalaman serta kondisi lapangan.
Bahan baku
Jokowi adalah sarjana kehutanan
UGM, bekerja tiga tahun di BUMN Kehutanan di Aceh dan perusahaan pamannya
sebelum membuka usaha sendiri.
Selama 17 tahun Jokowi menjadi
pengusaha produk kayu sebelum terpilih sebagai Wali Kota Solo tahun 2005.
Tahapan produksi perusahaan produk kayu itu terefleksikan pada kebijakan ekonomi
dan gaya kepemimpinannya.
Tahap pertama yang sangat
penting adalah pemilihan bahan dasar yang berkualitas. Lemari, kursi, ataupun
mebel lain tidak akan kokoh dan berfungsi baik jika kayunya keropos.
Reformasi birokrasi di Indonesia
telah berjalan satu dekade, tetapi masih jauh dari tuntas. Pada beberapa
diskusi informal muncul keluhan betapa sulitnya mencari dirjen dan direktur
yang sigap sebagai ujung tombak mengimplementasikan kebijakan.
Sebelum UU Aparatur Sipil Negara
(ASN) pejabat harus berasal dari internal PNS dan berbasis senioritas
sehingga pilihan terbatas. Lelang jabatan (fit and proper test) yang dilakukan Jokowi di Solo dan Jakarta
menerobos kebuntuan tersebut sehingga PNS berkualitas bisa menempati posisi
yang sesuai.
Jokowi juga tidak ragu menggeser
pejabat di tengah jalan apabila bermasalah atau minim prestasi. Apalagi
sekarang sudah ada UU ASN yang memungkinkan posisi eselon 1 dan 2 ditempati
non-PNS.
Setelah menteri diumumkan,
bersiaplah menyambut lelang jabatan dirjen dan direktur di sejumlah
kementerian untuk mengisi pucuk birokrasi dengan pejabat yang bersih,
kompeten, dan sigap melayani.
Langkah berikutnya adalah
merekatkan berbagai potongan kayu menjadi mebel. Dalam pemerintahan nasional,
perekat adalah program prioritas lintas sektoral.
Dalam berbagai kesempatan,
Jokowi menegaskan bahwa prioritasnya adalah pembangunan manusia maritim dan
pertanian. Pembangunan manusia dijalankan dengan meningkatkan alokasi
anggaran untuk menyediakan fasilitas kesehatan dan akses pendidikan.
Sebagai negara kepulauan
terbesar, potensi ekonomi laut masih minim tergali. Perhitungan penulis
menunjukkan bahwa rasio PDB sektor perikanan per kilometer persegi luas laut
Indonesia hanya sepersepuluh rasio serupa di Thailand dan Filipina. Apabila
selama pemerintahan Jokowi rasio Indonesia bisa dinaikkan lima kali lipat
saja, target pertumbuhan tujuh persen bisa dicapai.
Sektor pertanian penting tidak
hanya untuk mencapai ketahanan pangan, tetapi juga menyerap 40 persen tenaga
kerja. Namun, sektor ini hanya tumbuh rata-rata 3,6 persen per tahun selama
dekade terakhir. Jauh di bawah pertumbuhan nasional yang sebesar 6,4 persen.
Akibatnya, kemakmuran di pedesaan kian tertinggal dan kesenjangan terus
meningkat.
Faktor budaya
Tahapan berikutnya adalah
meningkatkan nilai mebel dengan aksesori menarik dan finishing yang rapi.
Jika Habibienomics mengutamakan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan
Widjojonomics mengandalkan buruh murah, Jokowinomics menggunakan faktor
budaya. Kuliner dan produk lokal diberi tempat dan tidak digusur untuk
digantikan shopping mall modern.
Kedekatannya dengan para seniman
dan pekerja ekonomi kreatif mendorong perekonomian lokal dan berbagai
festival budaya diselenggarakan di Solo dan Jakarta.
Sebagai kepala daerah, Jokowi
juga mewajibkan staf pemda mengenakan baju daerah pada hari tertentu. John
Naisbitt (2001) menyebut unsur lokal dan budaya sebagai high touch yang
bernilai lebih.
Tak heran Menteri Pariwisata
dicari dari kalangan pemasar (marketer)
yang memang sangat dibutuhkan untuk mempromosikan potensi Indonesia. Jumlah
turis asing yang mengunjungi Indonesia per tahun belum menembus 9 juta orang,
sementara angka serupa di Malaysia sudah melebihi 25 juta, padahal kekayaan
budaya dan alam Indonesia jauh lebih besar.
Namun, tanpa kontrol kualitas,
semua tahap sebelumnya akan kehilangan arti. Sebagai kepala daerah, Jokowi
membangun sistem pengawasan yang memberi sanksi tegas untuk menjaga
kepercayaan masyarakat. Para menteri perlu sadar bahwa mereka berada di kursi
panas dan harus menunjukkan kinerja jika tidak mau digeser.
Dapatkah
Jokowinomics meningkatkan kesejahteraan rakyat dan daya saing bangsa selama
lima tahun mendatang? Semoga bagai memahat kayu jati: tidak mudah awalnya,
tetapi indah dan bertahan lama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar