Korupsi
Kepala Daerah dan Nasib Demokrasi Lokal
Muhammadun ; Analis studi politik pada Program Pascasarjana
UIN Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Desember 2014
KASUS korupsi kepala daerah
semakin mengerikan! Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri pada September 2014
merilis data sudah ada 325 kepala daerah yang terjerat hukum. Baik yang masih
berstatus tersangka atau sudah menjadi narapidana.Sementara itu, data KPK
pada September 2014 mengabarkan kasus terkait dengan perbuatan melawan hukum
dan penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah sekitar 81% dari total kasus
korupsi yang ditangani KPK sepanjang 2004-2012.
Tragedi korupsi kepala daerah
semakin mengenaskan ketika menjelang akhir 2014 semakin banyak yang menunggu
daftar tersangka atau narapidana, Bupati Bogor (Rahmat Yasin), mantan Bupati
Bangkalan (Fuad Amin), Bupati Lombok Barat (Zainy Arony), dan lainnya.Daftar
itu bukanlah prestasi KPK atau aparat penegak hukum, melainkan potret buruk
negara yang semakin rusak dari daerah. Kalau daerah semakin tergerus, negara
ini juga terancam menuju kehancuran.
Menurut Bambang Widjojanto
(2014), hasil kajian dan data KPK menyimpulkan tidak adanya kaitan langsung
antara korupsi yang dilakukan kepala daerah dan pemilihan kepala daerah
secara langsung. Kasus korupsi kepala daerah cenderung terjadi setelah pemilu
kada. Selama ini, bagi Bambang, kasus korupsi kepala daerah sebagian besar
berupa perbuatan melawan dan penyalahgunaan wewenang sesuai dengan Pasal 2
Dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor.
Nasib demokrasi lokal
Reformasi menghadirkan demokrasi
lokal menjadi locus baru korupsi, yakni desentralisasi korupsi. Korupsi tidak
lagi dilakukan pejabat Jakarta, tetapi hampir seluruh pejabat daerah, bahkan sampai
ke perdesaan. Itu sungguh berbahaya. Karena korupsi kepala daerah yang
semakin menggurita, demokrasi lokal akan bernasib buruk. Kepala daerah
sebagai pemimpin lokal merupakan roh dan penggerak perubahan dan transformasi
sosial. Kalau roh dan penggeraknya rusak, demokrasi lokal bisa `terjun bebas'
menuju kehancuran.
Demokrasi lokal yang rusak
ditandai maraknya politik uang yang merusak tatanan sampai tingkat
desa.Politik uang sangat berbahaya karena bagi Ahmad Attory Hussein (1994),
politik uang menyebabkan lahirnya budaya politik yang negatif dan merusak,
seperti digunakan untuk membeli suara, menyogok, merasywah calon-calon
pemilihan atau anggota partai supaya menyenangkan si pemberi uang. Kerusakan
itu menyebabkan masyarakat semakin `nyaman' kerusakan sehingga demokrasi
lokal hancur sampai ke akarakarnya.
Rumitnya politik uang terkait
dengan peta korupsi yang berlapis. Aditjondro (2002) membagi korupsi dalam
tiga lapis. Pertama, suap (bribery)
dengan prakarsa dari pengusaha atau warga yang mem butuhkan jasa dari
birokrat atau penguasa layanan publik, atau pembatalan kewajiban membayar
denda ke kas negara. Lapis kedua, nepotisme, kronisme, kelas baru yang
terdiri dari semua kader partai peme rintah dan keluarga mereka yang
menguasai semua pos basah, pos ideologis, dan pos yuridis penting. Lapis
ketiga, jejaring yang bisa mencakup baik regional, nasional, maupun
internasional yang meliputi unsur pemerintah, politikus, pengusaha, dan
aparat penegak hukum.
Berlapisnya korupsi itu
menjadikan nilai-nilai lokal rusak dan demokrasi semakin bimbang. Siti Zuhro
dkk (2009: 268-270) melihat ada korelasi positif antara demokrasi lokal dan
level budaya politik, ada atau tidaknya demokrasi lokal, bergantung pada
budaya politik mampu mendorong realisasinya. Sebagai masyarakat yang majemuk,
demokrasi na sional salah satunya ditopang demokrasi lokal dan interaksi
antarlokal. Dengan demikian, upaya demokratisasi di Indonesia dimulai dari
bawah karena demokrasi lokal merupakan penopang demokrasi nasional.
Ini senada dengan yang
disampaikan Almond dan Verba (2001) bahwa budaya politik merupakan orientasi
politik dan sikap-sikap yang dipegang individu-individu dalam berhubungan
dengan sistem politik mereka, yang kemudian menjadi agregat pada tingkat
kolektif. Kalau budaya politik yang dipegang individu itu positif, akan lahir
kekuatan demokrasi yang maju dan berkembang, jauh dari rasywah dan politik
uang.Teguhnya budaya politik ini menjadi fondasi paling penting dalam
membangun demokrasi lokal.
Agar tetap teguh dan tegar,
demokrasi lokal juga harus dibarengi dengan sistem politik yang demokratis,
yang menurut Henry B Mayo seperti yang dikutip Budiardjo (2008:117), sistem
politik yang demokratis adalah kebijakan umum ditentukan atas dasar mayori
tas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan
berkala berdasar prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjaminnya kebebasan politik.
Sudah saatnya bangsa ini menutup
semua celah hukum yang memudahkan praktik politik uang dalam proses politik
di daerah dan menghukum berat para pelaku korupsi.
Revolusi akal sehat
Demokrasi lokal yang berkualitas
harus kembali kepada akal yang sehat. Di tengah rusaknya tatanan demokrasi
lokal saat ini, bangsa ini juga harus melakukan revolusi akal sehat. Mudji
Sutrisno (2000) melihat revolusi akal sehat harus memperhatikan, pertama,
nalar sehat merupakan penggumpalan kesadaran individu yang dengan akal
sehatnya mau menghayati dan menyikapi realitas dengan rasionalitas. Kedua, ia
merupakan radikalisme dalam proses konsientisasi yang menyikapi setiap
fenomena secara kritis agar tidak membeo secara anarkistis.
Ketiga, revolusi akal sehat
merupakan radikalisme dalam gerak modal dengan keputusan merdeka berdasarkan
akal sehat menjadi sumber utama gerakan transformasi masyarakat. Keempat,
revolusi akal sehat sangat dibutuhkan alam situasi krisis kepercayaan
terhadap kekuasaan, pada diri sendiri atau kepada sesama manusia yang
sesungguhnya memiliki talenta akal sehat yang menjadi motor bagi reformasi
masyarakat.
Dari nalar sehat itulah kita
akan menatap masa depan bangsa secara rasional, arif, dan bijaksana. Revolusi
akal sehat akan membangunkan ketidaksadaran dan kelumpuhan karena sihir
kekuasaan menjadi nalar kritis yang selalu mempersoalkan kebijakan tidak
populis kekuasaan. Nalar sehat tidak hanya mampu mengkritik, tetapi juga akan
mengantarkan masyarakat menuju perbuahan dan transformasi sosial secara
progresif.
Inilah
yang mesti dilakukan pemimpin daerah untuk membangun demokrasi yang
berkeadaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar