Bencana
dan Perspektif Teologis
Satrio Wahono ; Magister Filsafat UI
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Desember 2014
TIDAK bisa dimungkiri, salah
satu tantangan berat bagi Indonesia di penghujung dan awal tahun ialah
potensi banjir. Apalagi, sejumlah pengamat iklim sudah memprediksi bencana
2015 bisa lebih dahsyat ketimbang tahun ini. Contoh nyata itu sudah di depan
mata, ada 114 titik longsor di sejumlah tempat di Indonesia (Media Indonesia 14/12). Hal yang
paling mengerikan ialah longsor di Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah,
menewaskan puluhan orang.
Tentu Indonesia tak bisa
berpangku tangan. Selain langkah-langkah kuratif (penanggulangan) dan
preventif (pencegahan), strategi paradigmatis terkait pola pikir, sikap, dan
perilaku manu sia pun perlu dioptimalkan.Sebab, bencana banjir plus angin
puting beliung yang melanda Indonesia juga tak lepas dari ulah manusia
sendiri yang alpa merawat lingkungan. Adapun salah satu langkah paradigmatis
itu ialah merevitalisasi teologi banjir.
Dua mazhab
Menurut Mujiyono Abdillah dalam
disertasinya Agama Ramah Lingkungan (Paramadina,
2003), teologi-utama nya teologi Islam-memiliki dua mazhab terkait
banjir. Pertama, teologi banjir konvensional. Berdasarkan kisah banjir di
zaman Nabi Nuh dan Hud, serta negeri Saba, teologi itu memandang banjir
semata sebagai fenomena kemurkaan atau musibah dari Allah. Banjir diyakini
sebagai wujud azab Allah kepada manusia yang tidak mau menerima risalah para
Nabi untuk mengikuti ajaran Tuhan.
Kedua, teologi neobanjir. Dengan
merevisi teologi konvensional, mazhab kedua itu berpandangan banjir bukanlah
sekadar musibah dari Allah, melainkan merupakan fenomena ekologis yang
terjadi karena perilaku manusia dalam mengelola lingkungan sudah tidak sesuai
dengan sunah lingkungan. Pendeknya, banjir terjadi akibat ulah manusia
sendiri yang serampangan menjalankan amanatnya sebagai khalifah Tuhan di muka
bumi.
Padahal, merujuk Ziauddin Sardar
dalam Reading the Quran (Oxford, 2012),
konsep khalifah bukan menandakan manusia sebagai penguasa alam. Sebaliknya,
manusia hanyalah pemegang hak per walian atas alam dari Tuhan yang tidak
memiliki hak eksklusif atas apa pun. Fungsi pemegang hak perwalian hanyalah
melaksanakan tanggung jawab (pengelolaan lingkungan) secara benar dan
memastikan aset perwalian (lingkungan) bertahan dan bahkan berkembang.
Spiritualitas banjir barat
Dunia Barat pun memiliki
`spiritualitas neobanjir' sendiri yang sepadan dengan teologi banjir dunia
Timur. Misalnya, kita mengenal aliran deep
ecology dari Arne Naess. Aliran itu menyatakan bahwa alam bukan tersedia
semata-mata untuk manusia, melainkan untuk seluruh makhluk semesta, seperti
hewan, tumbuhan, dan bakteri. Dengan aliran itu, manusia harus sadar bahwa ia
wajib menjalin relasi harmonis dengan alam dan makhlukmakhluk lain di
dalamnya (Sonny Keraf, Etika
Lingkungan, 2004).
Dengan kata lain, manusia tidak
boleh semena-mena mengeksploitasi alam demi kepentingan ekonomi dan
keberlangsungan hidupnya semata. Ada `hajat' hidup makhluk lain yang harus
diperhatikan manusia. Kalau tidak, manusia yang memiliki fitrah egois dan
serakah condong menguras habis-habisan alam demi kepentingan sempitnya
semata. Hasilnya ialah kerusakan alam besarbesaran yang berujung pada salah
satunya pemanasan global dan berbagai bencana alam, seperti hujan ekstrem dan
banjir.
Dengan menelusuri sejumlah
doktrin dari dunia Timur dan Barat tersebut, maka respons tepat terhadap
bencana banjir besar harus meliputi tiga langkah konkret. Pertama, kita bisa
memasukkan pendidikan lingkungan sebagai mata ajar wajib sejak sekolah dasar.
Sekolah akan menjadi sarana efektif untuk menanamkan perspektif dan wawasan
lingkungan sejak dini.
Selain itu, sekolah bisa
membekali anak didik dengan cara-cara praktis merawat lingkungan.
Kedua, pemerintah bersama
masyarakat dapat kian menggalakkan berbagai kampanye tentang
aktivitas-aktivitas kecil maupun besar yang potensial mengurangi keru sakan
lingkungan, seperti perbaikan transportasi umum supaya masyarakat meninggalkan
kendaraan pribadi, memberikan insentif fiskal bagi produk-produk ramah
lingkungan, menggalakkan proyek-proyek energi berbahan bakar nonminyak dan
wacana bekerja dari rumah, seperti konsep SOHO (small office, home office).
Ketiga, masyarakat yang sadar
lingkungan dan kaum aktivis lingkungan harus menyadari perubahan konkret
kebijakan hanya bisa dilakukan lewat jalur politik. Karena itu, mereka harus
berbondong-bondong masuk ke sistem politik, seperti menjadi anggota
legislatif pusat ataupun daerah dan menjadi kepala daerah, untuk dapat
memperjuangkan kepentingan lingkungan secara lebih konkret.
Singkat kata,
masyarakat harus berikhtiar mendesakkan dan mengamalkan `politik hijau' (green politics) sebagai agenda
pergerakan mereka.
Berbekal
ketiga langkah tersebut, semoga kita bisa lebih bersiap menghadapi berbagai
potensi bencana, termasuk banjir yang menghadang di depan mata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar