Penyediaan
Buku Pascamoratorium K-13
Misbahul Huda ; Pengusaha, Penulis Buku, dan Motivator
|
JAWA
POS, 16 Desember 2014
Keputusan
Anies Baswedan, menteri kebudayaan dan pendidikan dasar-menengah, kembali ke
kurikulum 2006 adalah langkah mundur. Apalagi, alasan moratorium K-13 juga
tidak mendasar, sangat teknis operasional. Tidak heran jika banyak yang
menduga kebijakan tersebut kental muatan politik, sekadar memenuhi euforia
moratorium rezim Joko Widodo untuk menunjukkan keinginan ”asal beda” dengan
pemerintahan sebelumnya. Bahkan, menteri secerdas Anies Baswedan seperti
kehilangan kecerdasannya dengan ”melupakan” bahwa dirinya ikut menyusun K-13
(Jawa Pos, 9/12).
Kurikulum
2013 secara substansi diakui oleh banyak pihak tidak bermasalah. Kalaupun ada
masalah teknis, mestinya dicarikan solusi perbaikan, bukan balik mundur ke
KTSP. Jika alasan moratorium K-13 adalah ketidaksiapan guru dan pengadaan
buku, kembali ke KTSP bukan berarti bebas dari dua persoalan besar tersebut.
Bahkan mungkin lebih rumit lagi.
Apalagi,
M. Nuh, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, juga membantah tuduhan
ketidaksiapan guru. Sebab, Kemendikbud pernah mengadakan UKG (uji kompetensi
guru) untuk mengevaluasi penguasaan guru terhadap kurikulum 2013. Nilai UKG
saat itu rata-rata 71. Jauh lebih baik ketimbang nilai UKG terhadap KTSP pada
2012 dengan rata-rata 45. Padahal, kurikulum 2006 itu sudah enam tahun
berlaku.
Paradoks Pengadaan Buku
Di satu sisi,
Anies mengakui bahwa mengubah kurikulum pendidikan seperti mengubah arah
kapal tanker sepanjang 500 meter. Membelokkan arah laju kapal itu tidak bisa
langsung, butuh haluan panjang. Namun, di sisi lain, Anies justru bermanuver
mendadak dan berbelok ke jalur lama. Padahal, dia belum genap dua bulan
menjadi menteri. Belum cukup waktu untuk mengidentifikasi permasalahan riil
kurikulum 2013 (JPNN, 9/12).
Di satu
sisi, Anies menilai persoalan keterlambatan distribusi buku sebagai alasan
utama moratorium K-13. Namun, di sisi lain, kebijakan kembali ke KTSP juga
tidak menyiapkan sama sekali buku KTSP. Bahkan Kemendikbud berterus terang
belum punya kebijakan apa-apa soal penyediaan buku KTSP itu (Jawa Pos, 8/12).
Kalau
Kemendikbud tidak mampu menyediakan buku KTSP, menyoal ketersediaan buku
sebagai alasan kebijakan moratorium K-13 itu mestinya tidak relevan lagi.
Ketidaksiapan pengadaan buku KTSP diakui oleh Mendikbud Anies di Kemendikbud,
Jakarta, Sabtu (6/12). ”Pokoknya, saya enggak bisa mengimbau (orang tua beli
buku), bergantung dari sekolah. Dan daerah juga punya porsi berbeda-beda,”
ucap dia.
Kali ini
Anies hendak ”melawak” dengan lelucon yang tidak lucu. Ketika pemerintah cuci
tangan dengan tidak menyediakan buku KTSP, pastilah orang tua terpaksa membeli
meskipun dengan berat hati. Sebab, harga pasarnya bisa 3–4 kali lebih mahal
daripada buku murah K-13 yang rata-rata di bawah Rp 10.000 per eksemplar.
Bagi orang tua yang mampu, angka tersebut tidak memberatkan. Tetapi,
bagaimana dengan banyak orang tua kurang mampu yang masih berharap pendidikan
dan buku gratis sebagai realisasi anggaran pendidikan yang ratusan triliun
rupiah itu?
Di sisi
lain, kalaupun orang tua bersedia membeli buku sendiri, ketersediaan buku
KTSP di toko buku sangat terbatas, belum tentu mencukupi. Masih jelas dalam
ingatan kita, pengadaan serentak buku K-13 dengan cara ditenderkan serempak
saja tidak selesai dalam setahun, apalagi KTSP yang dilepas dengan mekanisme
pasar.
Berharap
pemerintah daerah/kota menyediakan buku gratis dalam tempo sesingkat ini
adalah hal yang mustahil. Sepertinya lupa dipertimbangkan bahwa membuat mata
anggaran baru atau merevisi APBD, kemudian tender dan pencetakan buku serta
distribusinya tidak cukup dalam enam bulan. Sementara pelaksanaan penggantian
kurikulum tersebut akan efektif pada semester II 2015 yang tinggal tiga pekan
lagi. Mana mungkin?
Bisa
jadi Kemendikbud berharap dana BOS dan DAK yang sudah ada dan beredar di
sekolah bisa segera dialihkan untuk pengadaan buku KTSP secara mandiri.
Tetapi, mungkin lupa bahwa dana tersebut sudah terikat kontrak payung dengan
LKPP untuk pengadaan buku kurikulum 2013.
Jika
LKPP, Kemendikbud, atau sekolah dengan sepihak menghentikan kontrak tersebut,
bukan tidak mungkin pemerintah cq Kemendikbud akan menerima hujan protes dan
somasi dari puluhan rekanan percetakan yang sudah berdarah-darah mencetak
buku K-13. Mereka bersiap-siap mem-PTUN-kan Kemendikbud jika penghentian
kontrak sepihak itu terjadi. Kekecewaan tersebut bisa dimaklumi. Sebab, di
antara percetakan, ada yang puluhan bahkan ratusan miliar rupiah dananya
belum bisa dicairkan, sementara bukunya terkatung-katung di gudang dan atau
agen pengiriman.
Kekhawatiran
itu bukan tanpa alasan. Sebab, beberapa sekolah sudah menolak dikirimi buku
K-13 sejak Anies menghentikan kurikulum itu. Bahkan, yang sudah dikirimi pun
enggan membayar. Ketika ditagih, dengan enteng mereka mempersilakan
percetakan mengambil kembali buku tersebut dari sekolah.
Bisa
dibayangkan berapa triliun rupiah kerugian pemerintah yang juga berdampak
pada kerugian perusahaan percetakan –yang dengan margin tipis telah rela
bekerja demi mencerdaskan bangsa, tapi harus berakhir tragis.
Masyarakat berhak menuntut komitmen dan tanggung jawab Kemendikbud atas
penyediaan fasilitas buku sesuai KTSP. Mengingat, anggaran pendidikan
nasional yang dialokasikan pada kementerian tersebut ratusan triliun rupiah
dan untuk apa saja. Jika tidak, tidak salah bila publik mengecam kebijakan
moratorium K-13 itu sebagai langkah mundur yang membuat pendidikan di negeri
ini semakin amburadul. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar