Kompetisi,
Konsolidasi, dan Konflik
Haryo Damardono ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
17 Desember 2014
LEBIH
dari 70 persen pengurus partai tingkat pusat dan daerah akan diisi kader muda.
Demikian janji Ketua Umum Golkar versi Musyawarah Nasional Bali Aburizal
Bakrie ataupun Agung Laksono, Ketua Umum Golkar versi Munas Jakarta. Janji
Agung Laksono sedikit lebih jelas dengan menyebutkan, kader muda yang
dimaksud adalah berusia di bawah 45 tahun. Sementara itu, Aburizal menyebut
beberapa kader Golkar yang berusia sekitar 50 tahun sebagai kader muda.
Namun,
saat ditanya mengapa masih mau mengabdi di kepengurusan partai walau telah
berusia 65 tahun, Agung Laksono tanpa ragu menjawab, ”Senioritas masih sangat
diperhatikan di Partai Golkar. Saya juga merasa karier di Golkar belum
mencapai puncaknya.”
Kondisi
ini memunculkan ironi. Di satu sisi ada keinginan meregenerasi pucuk
kepemimpinan partai, tetapi di sisi lain juga ada kehendak kuat untuk
menggenggam erat kekuasaan.
Dalam
praktik politik Indonesia, upaya untuk terus menggenggam kekuasaan ini biasa
dilakukan demi kepentingan parpol dan kelompoknya.
Pada
tahun 2002, pengamat politik yang sering mengkritik Pemerintah Orde Baru,
Arief Budiman, pernah menyampaikan kekecewaannya dengan mayoritas pimpinan
partai yang ternyata bukan orang-orang idealis, bukan orang yang mengutamakan
kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau kelompoknya.
”(Tapi) sistem kepartaian merupakan inti dari
sistem politik yang demokratis. Memusuhi partai sebagai sistem sama saja
dengan menghancurkan demokrasi. Yang harus kita musuhi adalah orang-orang
yang sekarang ada di partai,” tulis Arief Budiman, ketika
itu.
Kekecewaan
Arief Budiman terhadap pemimpin parpol ini agaknya tidak terlalu ditanggapi
serius oleh sebagian besar parpol dan orang-orang di dalamnya. Mereka yang 12
tahun lalu dikritik Arief Budiman sampai sekarang masih berperan penting di
partainya, seperti Akbar Tandjung di Golkar dan Megawati Soekarnoputri di
PDI-P.
Bahkan,
setidaknya hingga 2020, Megawati tetap akan menjadi Ketua Umum PDI-P. Sebab,
Megawati menerima usulan pengurus daerah partainya yang disampaikan secara
aklamasi di Rapat Kerja Nasional IV PDI-P di Semarang, Jawa Tengah, September
lalu, agar dia kembali memimpin PDI-P. ”Tidak
ada lagi pemilihan ketua umum (di kongres), tetapi pengukuhan ketua umum
untuk 2015-2020,” kata Megawati saat itu menanggapi usulan para pengurus
daerah partainya.
Aklamasi
Fenomena
calon tunggal dan aklamasi dalam pemilihan ketua umum partai tak hanya
terjadi di PDI-P. Kongres Luar Biasa III Partai Gerindra, September lalu,
secara aklamasi juga menyepakati Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo
Subianto untuk juga merangkap sebagai ketua umum partai itu.
Pada 1
September 2014, Muhaimin Iskandar juga kembali terpilih secara aklamasi
sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam muktamar partai itu
di Surabaya.
Dalam
Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Surabaya pada 16 Oktober 2014,
Romahurmuziy juga dipilih secara aklamasi menjadi ketua umum.
Muktamar
PPP versi Suryadharma Ali pada Jumat, 31 Oktober 2014, juga secara aklamasi
menetapkan Djan Faridz menjadi Ketua Umum PPP menggantikan Suryadharma Ali.
Aburizal
Bakrie juga menjadi Ketua Umum Golkar pertama di era Reformasi yang dipilih
secara aklamasi.
Salah
satu pertimbangan ketua umum dipilih secara aklamasi adalah untuk menghindari
partai itu dari perpecahan. Kekhawatiran itu sekilas cukup masuk akal, tetapi
juga menunjukkan belum siapnya internal partai menerapkan demokrasi di
internal mereka.
Adanya
kepentingan yang bertemu antara pihak yang dipilih dan memilih juga ikut
menjadi sebab utama munculnya fenomena aklamasi dan calon tunggal. Saat pengurus
partai di daerah memilih ketua umum secara aklamasi, diharapkan ketua umum
itu akan membalasnya dengan menjamin masa depan mereka. Namun, kondisi ini
membuat regenerasi partai menjadi lambat atau tak berjalan. Partai cenderung
tak dinamis karena diurus orang/kekuatan yang sama dalam waktu lama.
Aklamasi
juga membuat program atau gagasan besar yang diusung para calon tunggal itu
untuk partainya menjadi kurang terlihat. Eksplorasi terhadap ide-ide segar
untuk masa depan partai menjadi kurang optimal karena tak ada persaingan yang
sehat di dalamnya.
Pertimbangan
yang disampaikan Megawati saat bersedia tetap memimpin PDI-P adalah karena
ingin membantu pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla.
Sesaat
sebelum terpilih menjadi Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar menjanjikan bahwa
PKB terus akan menggelorakan Islam rahmatan lil alamin, Islam yang damai dan
ramah.
Ketika
Romahurmuziy terpilih secara aklamasi, sebagai ketua umum dalam Muktamar PPP
di Surabaya, dia mengatakan, program pertamanya adalah mengonsolidasi
organisasi dimulai dari tingkat pusat.
Kedua,
Romahurmuziy akan mengonsolidasi organisasi ke bawah. Dalam rentang waktu 1,5
tahun, dia akan menggelar musyawarah wilayah, cabang, anak cabang, dan
ranting sampai tingkat kelurahan. Ketiga, dia akan menarik sebanyak mungkin
tokoh yang memiliki integritas, loyalitas, dan dedikasi untuk menjadi ikon
baru partai.
Sementara
itu, Aburizal Bakrie berjanji akan memperjuangkan rekomendasi Munas Golkar
Bali, seperti pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Namun, beberapa hari
setelah munas ditutup, Aburizal menyatakan mendukung pilkada langsung.
Jika ada
calon lain yang bersaing untuk posisi ketua umum, mungkin akan didapat
program atau janji yang lebih menarik. Apakah memang calon lain itu tak ada?
Satu hal
yang pasti, upaya terus menggenggam kekuasaan dengan pertimbangan untuk
menjaga arah partai sebenarnya juga memperlihatkan ketidakpercayaan terhadap
upaya internalisasikan nilai-nilai partai.
Akhirnya, memiliki kekuasaan, termasuk di partai politik, memang
menjanjikan banyak hal dan kenikmatan. Namun, menikmati kekuasaan itu juga
seperti minum air laut. Semakin banyak minum air laut, akan semakin haus.
Bahaya akan mengintai jika kita tidak tahu kapan harus berhenti minum air
laut.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar