Laporan Pendidikan dan Kebudayaan
Di Dalam
Bayang-Bayang “Kekuasaan”
|
KOMPAS,
17 Desember 2014
SEPANJANG
2014, riak politik sampai pula ke pembangunan bidang pendidikan dan kebudayaan.
Jadi, cukuplah dekat mengingat pandangan pemikir pendidikan asal Amerika
Latin, Paulo Freire, bahwa pendidikan, yang sesungguhnya selalu mengarah pada
cita-cita tertentu, akan selalu terkait dengan dominasi, bersifat politis.
Hal
paling nyata dari pengaruh penguasa terhadap pendidikan adalah ”keributan”
penerapan Kurikulum 2013 baru-baru ini. Pemerintah yang diwakili Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan digerakkan oleh cita-cita membentuk manusia tangguh
menghadapi masa depan. Pendidikan bertujuan membentuk manusia beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berilmu, cakap, dan kreatif. Pendidikan
dalam Kurikulum 2013 menekankan pembentukan karakter dengan 18 karakter
sebagai fokus.
Tanpa
persiapan matang, Kurikulum 2013 yang baru diuji coba setahun di 6.221
sekolah itu langsung diterapkan massal. Alhasil, sekitar 200.000 sekolah, 31
juta murid, dan 1,4 juta guru kena ”getah”. Guru terburu-buru dilatih, buku
pelajaran tak kunjung tiba, dan orangtua kebingungan.
Ketika
Mendikbud berganti, dengan dasar Kurikulum 2013 butuh direvisi, kurikulum itu
diputuskan hanya dilaksanakan di 6.221 sekolah yang telah menjalankannya 3,5
semester. Ide revisi di tengah tahun ajaran mau tak mau memunculkan rentetan
konsekuensi, mulai masalah jam ajar guru, tipe ujian, dan buku.
Riak
lain adalah pemisahan pendidikan tinggi dari Kemdikbud. Para rektor menilai
penelitian kurang berkembang. Selama ini, pendidikan tinggi hanya dianggap
sebagai kelanjutan pendidikan dasar dan menengah.
Di sisi
lain, praktisi pendidikan, termasuk Daoed Joesoef, berpandangan, proses
pendidikan merupakan satu keseluruhan pedagogis yang berkesinambungan
walaupun berjenjang.
Perdebatan
itu diakhiri dengan keputusan pemerintah membentuk Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Salah satu tujuannya adalah mendongkrak
riset inovatif demi pembangunan ekonomi.
Di
bidang kebudayaan, ”ketegangan” antara negara (pemerintah) dan seniman serta
budayawan juga terasa. Ada dua isu besar, yakni Rancangan Undang-Undang
tentang Kebudayaan dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 109 Tahun 2014
yang mengubah organisasi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki dari
semula bertanggung jawab kepada gubernur menjadi unit pelaksana teknis Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
Sejumlah
seniman dan budayawan sempat menyerukan Petisi Taman Ismail Marzuki sebagai
keprihatinan atas pengerdilan kebudayaan (Kompas, 29 Agustus). Mereka meminta
agar kebudayaan tidak disubordinasi oleh instansi birokratik.
Terkait
dengan RUU Kebudayaan, misalnya, bagi budayawan Radhar Panca Dahana, nama RUU
Kebudayaan bermasalah. Makna kebudayaan ”dibunuh” secara semantik. Tidak
perlu kebudayaan dibakukan dan ”diatur” sedemikian rupa dalam undang-undang.
Kebudayaan itu dinamis, membentuk ”dirinya” terus-menerus secara alami.
Peran
negara lebih untuk melindungi produk budaya. Untuk itu, bolehlah ada
undang-undang yang melindungi produk budaya, seperti perbukuan, film, dan
cagar budaya.
Dalam beragam tegangan itu, terkesan mulai ada kesadaran pada arti
penting pembangunan manusia dan kebudayaan sebagai kekuatan bangsa. Namun,
apa pun kepentingan politis atau kekuasaan, kembali mengutip Freire,
perubahan dimulai dari manusia yang terbuka serta sadar dirinya memiliki
kemauan dan kemampuan untuk membebaskan diri. Karya, sejarah, kebudayaan, dan
nilai merupakan hasil ”kekuasaan” manusia sebagai subyek dalam hidupnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar