Membagi
Bersama Keuntungan Dunia
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
17 Desember 2014
ADA ketakutan kalau ekonomi Tiongkok, yang
diprediksi hanya tumbuh 7,1 persen, akan menyeret banyak negara di kawasan
Asia, Eropa, dan Amerika Utara tergelincir masuk ke jurang resesi. Padahal,
di bawah Presiden Xi Jinping, ada kemunculan strategi dalam bentuk dan nuansa
baru menggunakan konektivitas sebagai enjin utama pertumbuhan.
Banyak
pengamat, terutama di AS dan Eropa, melihat secara pesimistis membaca laju
pertumbuhan Asia yang sekarang menjadi sentra pertumbuhan ekonomi dan
perdagangan dunia akan rontok seketika dimulai dengan Tiongkok ketika
pertumbuhan dalam negeri melambat, terutama di sektor perumahan yang menarik
sektor lain, seperti manufaktur.
Para
pengamat memperkirakan, korupsi yang menjalar di berbagai tingkatan birokrasi
disertai kekuasaan tunggal otoriter Partai Komunis Tiongkok (PKC), ditambah
menurunnya sektor-sektor vital dalam perekonomian Tiongkok dua tahun terakhir
ini, kekuatan entitas ekonomi terbesar dunia dengan jumlah penduduk 1,3
miliar orang akan segera terjungkal.
Padahal,
ketika negara-negara Asia memasuki jurang kesengsaraan akibat krisis keuangan
Asia 1997 dari Indonesia sampai ke utara di Korea Selatan, tak ada yang
percaya kalau negara-negara Asia akan bangkit dalam kurun yang singkat dan
mampu memimpin pertumbuhan ekonomi global seperti sekarang.
Kita
masih teringat dalam krisis keuangan yang menyengsarakan dan menggulingkan
kekuasaan politik seperti Indonesia, tidak ada negara-negara maju mengambil
inisiatif membantu guncangan keuangan yang merontokkan banyak perusahaan,
bank, dan menimbulkan pengangguran di mana-mana.
Kondisi
terkini pun dianalisis sebagai sesuatu yang mutlak. Tidak ada yang mengakui,
Inisiatif Chiang Mai mengenai multilateral currency swap pada tahun 2000 yang
dimotori ASEAN+3 (Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan) menjadi antidot
menghadapi gelombang krisis keuangan Asia tersebut.
Ada
faktor dalam ekonomi politik internasional di lingkungan Asia yang tidak bisa
dipahami hanya berdasarkan rumusan aritmatika rumit menganalisasi kehancuran
ekonomi Asia, khususnya Tiongkok. Faktor pertama adalah ekonomi gotong royong
menjadi kekuatan Asia sebagai warisan tidak terbantahkan, seperti yang
tecermin dalam Inisiatif Chiang Mai.
Kedua,
Tiongkok sebagai mesin pertumbuhan yang paling tinggi selama 30 tahun
terakhir memiliki pandangan yang kita sebut sebagai ”kapitalisme Konfusius” atau ”kapitalisme
guanxi” (koneksi) yang mengandalkan perilaku koneksi dibandingkan
hubungan kontrak yang dipercaya orang-orang Barat sebagai perilaku universal
dalam bisnis dan politik.
Ketiga,
selalu ada nuansa baru di lingkungan negara-negara Asia yang menghadirkan
nilai-nilai baru ataupun potensi baru, baik dalam politik maupun ekonomi. Di
bidang pembangunan ekonomi, nuansa ini memunculkan potensi maritim yang di
Tiongkok disebut sebagai jalan sutra maritim atau di Indonesia disebut poros
maritim dunia.
Di
Tiongkok, kendali pertumbuhan ekonomi mulai bergeser ke perusahaan-perusahaan
swasta, meninggalkan BUMN sebagai penggerak awal pertumbuhan tinggi. Di
kawasan Asia, jejaring diaspora Tionghoa menyimpul titik-titik konektivitas
melakukan kerja sama apa yang disebut Presiden Xi Jinping dalam pidatonya di
DPR tanggal 3 Oktober 2013 sebagai ji li dang ji tianxia li yang arti
harfiahnya ”berkaitan dengan keuntungan
harus memperhitungkan keuntungan seluruh dunia”.
Ini merupakan bentuk kerja sama ekonomi bernuansa win-win. Keadilan keuntungan menjadi poros utama bagi bangsa
Asia, dan tidak ingin melihat ketimpangan sekarang ini ketika AS memproduksi
16 persen keluaran dunia dengan hanya 4 persen populasi dunia, sedangkan
Tiongkok dengan keluaran produksi sama 16 persen mewakili 20 persen populasi
dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar