Kita Tidak Butuh
Sekolah, Apalagi Kurikulum..
Daniel Mohammad Rosyid ; Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
|
JAWA
POS, 08 Desember 2014
”Every country on earth is
now reforming its public education. The problem is they are doing it by doing
what they have done in the past.” (Sir Ken Robinson, 2010)
Kemendikbud telah menyiapkan Kurikulum 2013 yang diklaim sebagai
penyempurnaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diluncurkan
pada 2006. Hemat saya, KTSP secara konsep justru lebih baik daripada
Kurikulum 2013, tapi dibiarkan gagal oleh Kemendikbud sendiri dengan tidak
menyiapkan guru yang cakap. Kini Kurikulum 2013 sedang dievaluasi Mendikbud
Anies Baswedan untuk diteruskan, dihentikan, atau diteruskan secara terbatas
di beberapa sekolah yang sudah siap saja.
Wacana Kurikulum 2013 berpotensi menyembunyikan dua akar masalah
pokok pendidikan Indonesia saat ini, yaitu tata kelola pendidikan yang buruk
(poor education governance) dan
guru yang tidak kompeten. Utak-atik kurikulum jauh lebih gampang dan enak
daripada memperbaiki tata kelola pendidikan dan menyiapkan guru yang
kompeten. Kurikulum terbaik sekalipun pasti akan gagal di tangan guru yang
tidak kompeten. Sebaliknya, di tangan guru yang kompeten, kurikulum yang
sederhana akan menghasilkan proses belajar yang bermutu.
Wacana ganti menteri ganti kurikulum selama puluhan tahun ini
dipijakkan pada paradigma sekolah: Memperbaiki kurikulum adalah memperbaiki
sekolah, dan memperbaiki sekolah adalah memperbaiki pendidikan. Padahal,
belajar sebagai inti dari pendidikan sebenarnya tidak membutuhkan sekolah.
Kurikulum adalah bagian dari paradigma sekolah yang merupakan
produk zaman revolusi industri pada abad ke-17. Untuk memenangkan masa depan
pada abad ke-21, anak-anak Indonesia tidak mungkin disiapkan dengan cara-cara
lama dengan mentalitas production
lines, batch processes, dan standardisasi ini.
Untuk meningkatkan akses pada pendidikan, kita justru perlu
membebaskan masyarakat dari monopoli pendidikan oleh sekolah dan
mendesentralisasikan pendidikan ke daerah, bahkan ke satuan pendidikan yang
terkecil, yaitu keluarga. Pendidikan universal tidak mungkin dicapai melalui
persekolahan. Begitu pendidikan disamakan dengan persekolahan, pendidikan
menjadi barang langka by definition.
Yang perlu dikembangkan adalah jejaring belajar (learning webs) dengan akses dan kurikulum yang lentur, luwes,
serta informal sesuai dengan bakat dan minat warga. Itu akan lebih cost-effective daripada persekolahan.
Dengan internet, belajar semakin tidak membutuhkan sekolah,
apalagi kurikulum. Membentuk karakter pun hanya bisa dilakukan secara efektif
dengan praktik di luar sekolah. Selama beberapa dekade terakhir ini terlihat
bahwa semakin banyak sekolah tidak menjadikan masyarakat kita makin terdidik.
Hasil sigi internasional terbaru oleh PISA maupun TIMSS serta PIRLS juga
menunjukkan murid Indonesia tertinggal pada kemampuan berpikir tingkat
tinggi. Kemampuan membacanya juga tertinggal bila dibandingkan dengan
teman-teman sebayanya.
Kurikulum adalah serangkaian hasil belajar yang diharapkan dan
seluruh proses yang menghasilkan pengalaman belajar serta mekanisme evaluasi
hasil belajar murid di bawah panduan guru di sekolah. Jadi, kurikulum adalah
atribut penting sistem persekolahan. Siapa yang membutuhkan kurikulum?
Sekolah, yayasan pengelola sekolah, guru yang bekerja di sekolah, dinas
pendidikan, Kemendikbud, para ahli kurikulum, dan penerbit yang mau mencetak
buku wajib yang akan dipakai di sekolah. Asumsi dasar pada setiap penyusunan
kurikulum adalah anak akan mencapai prestasi belajar maksimal jika melalui
serangkaian instruksi dan lingkungan buatan serta mekanisme evaluasi yang
terstruktur dan terencana. Asumsi itu meremehkan kecanggihan manusia beserta
semua perangkat belajarnya yang telah diciptakan Tuhan sebagai ciptaan
terbaik. Manusia bisa belajar dalam situasi apa pun, bahkan dalam situasi
yang paling getir sekalipun. Bahkan, manusia belajar jauh lebih banyak
daripada pengalamannya di luar sekolah.
Murid sebenarnya tidak membutuhkan kurikulum resmi yang kaku dan
terpusat. Bahkan, anak yang cerdas sebenarnya tidak membutuhkan sekolah. Susi
Pudjiastuti yang sekarang menteri kelautan dan perikanan adalah contohnya.
Kebanyakan anak kita sebenarnya cerdas. Di banyak sekolah kecerdasan mereka
sering diremehkan proses belajar yang tidak menantang yang disajikan guru
yang tidak kompeten. Kecerdasan mereka pun sering diukur oleh instrumen yang
tidak cocok seperti tes pilihan ganda. Puncak penghinaan atas kecerdasan itu
adalah ujian nasional yang dibantu mesin pemindai yang ikut-ikutan menentukan
kelulusan mereka. Karena proses yang salah itu, kecerdasan anak-anak tersebut
justru menurun dan mereka justru kehilangan jati diri dan percaya diri.
Sesungguhnya hanya anak yang malas dan berkebutuhan khusus yang
memerlukan kurikulum yang ”well-designed”
oleh para teknokrat ahli. Anak-anak normal tidak membutuhkannya. Dengan
bermain di ruang terbuka dan di alam, anak-anak belajar jauh lebih banyak
daripada di kelas yang sempit di sebuah tempat yang kita sebut sekolah.
Neurosains menemukan bahwa ruang kelas adalah tempat paling buruk bagi proses
belajar. Bekal terpenting bagi anak-anak normal itu adalah akhlak yang baik,
kegemaran membaca, keterampilan menulis, berhitung, berbicara, dan kesempatan
praktik yang memadai bagi keterampilan-keterampilan untuk hidup secara
produktif.
Kurikulum hanyalah resep makan siang, bahkan bukan makan
siangnya. Kesehatan juga ditentukan oleh sarapan dan makan malam di rumah.
Kurikulum tidak perlu gonta-ganti. Ini kegemaran teknokrat-birokrat. Mahal
sekali. Kurikulum sederhana, generik, dan lentur mendorong guru melakukan
adaptasi ruang dan waktu. Pribadi murid pun justru lebih baik. Sekolah hanya
warung waralaba yang berusaha keras mengganti sarapan dengan makan siang
cepat saji ala Jakarta. Kita juga sudah kecanduan sekolah sehingga tidak
mampu membayangkan dunia tanpa sekolah. Padahal, masyarakat tanpa sekolah itu
ada dan pernah ada dengan kualitas kehidupan yang jauh lebih baik daripada
sebuah schooled society yang dengan
congkak kita sebut modern ini.
Untuk memastikan pendidikan universal bagi kebanyakan anak-anak
Indonesia, yang diperlukan bukan pembesaran sistem persekolahan. Yang
diperlukan adalah pengembangan sebuah jejaring belajar (learning webs) yang lentur, luwes, lebih nonformal, bahkan
informal. Sekolah hanya salah satu simpul dalam jejaring belajar tersebut.
Bengkel, toko, klinik, studio, lembaga penyiaran, penerbit, perpustakaan
kecamatan, restoran, koperasi, gereja, kuil, dan masjid dapat menjadi
simpul-simpul belajar. Simpul belajar yang pertama dan utama adalah keluarga
di rumah.
Formalisme kronis persekolahan harus dikurangi seminimal
mungkin. Oleh Illich, itu disebut deschooling.
Saat ini di Indonesia schoolism
sudah masuk tingkat yang berbahaya. Ijazah dipuja sebagai bukti kompetensi
seseorang. Kasus ijazah palsu yang marak terjadi adalah bukti bahwa memang
masyarakat kita sudah kecanduan sekolah. Hanya yang tidak percaya diri yang
butuh sekolah. Belajar secara mandiri di rumah bisa jauh lebih baik. Jadi,
tanpa Kurikulum 2013, sekolah akan baik-baik saja karena tanpa sekolah pun
kita sebenarnya baik-baik saja. Kita boleh mulai khawatir kalau kita tidak
belajar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar