Rabu, 10 Desember 2014

Kita Tidak Butuh Sekolah, Apalagi Kurikulum..

        Kita Tidak Butuh Sekolah, Apalagi Kurikulum..

 Daniel Mohammad Rosyid  ;   Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
JAWA POS,  08 Desember 2014

                                                                                                                       


”Every country on earth is now reforming its public education. The problem is they are doing it by doing what they have done in the past.” (Sir Ken Robinson, 2010)

Kemendikbud telah menyiapkan Kurikulum 2013 yang diklaim sebagai penyempurnaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diluncurkan pada 2006. Hemat saya, KTSP secara konsep justru lebih baik daripada Kurikulum 2013, tapi dibiarkan gagal oleh Kemendikbud sendiri dengan tidak menyiapkan guru yang cakap. Kini Kurikulum 2013 sedang dievaluasi Mendikbud Anies Baswedan untuk diteruskan, dihentikan, atau diteruskan secara terbatas di beberapa sekolah yang sudah siap saja.

Wacana Kurikulum 2013 berpotensi menyembunyikan dua akar masalah pokok pendidikan Indonesia saat ini, yaitu tata kelola pendidikan yang buruk (poor education governance) dan guru yang tidak kompeten. Utak-atik kurikulum jauh lebih gampang dan enak daripada memperbaiki tata kelola pendidikan dan menyiapkan guru yang kompeten. Kurikulum terbaik sekalipun pasti akan gagal di tangan guru yang tidak kompeten. Sebaliknya, di tangan guru yang kompeten, kurikulum yang sederhana akan menghasilkan proses belajar yang bermutu.

Wacana ganti menteri ganti kurikulum selama puluhan tahun ini dipijakkan pada paradigma sekolah: Memperbaiki kurikulum adalah memperbaiki sekolah, dan memperbaiki sekolah adalah memperbaiki pendidikan. Padahal, belajar sebagai inti dari pendidikan sebenarnya tidak membutuhkan sekolah.

Kurikulum adalah bagian dari paradigma sekolah yang merupakan produk zaman revolusi industri pada abad ke-17. Untuk memenangkan masa depan pada abad ke-21, anak-anak Indonesia tidak mungkin disiapkan dengan cara-cara lama dengan mentalitas production lines, batch processes, dan standardisasi ini.

Untuk meningkatkan akses pada pendidikan, kita justru perlu membebaskan masyarakat dari monopoli pendidikan oleh sekolah dan mendesentralisasikan pendidikan ke daerah, bahkan ke satuan pendidikan yang terkecil, yaitu keluarga. Pendidikan universal tidak mungkin dicapai melalui persekolahan. Begitu pendidikan disamakan dengan persekolahan, pendidikan menjadi barang langka by definition. Yang perlu dikembangkan adalah jejaring belajar (learning webs) dengan akses dan kurikulum yang lentur, luwes, serta informal sesuai dengan bakat dan minat warga. Itu akan lebih cost-effective daripada persekolahan.

Dengan internet, belajar semakin tidak membutuhkan sekolah, apalagi kurikulum. Membentuk karakter pun hanya bisa dilakukan secara efektif dengan praktik di luar sekolah. Selama beberapa dekade terakhir ini terlihat bahwa semakin banyak sekolah tidak menjadikan masyarakat kita makin terdidik. Hasil sigi internasional terbaru oleh PISA maupun TIMSS serta PIRLS juga menunjukkan murid Indonesia tertinggal pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan membacanya juga tertinggal bila dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.

Kurikulum adalah serangkaian hasil belajar yang diharapkan dan seluruh proses yang menghasilkan pengalaman belajar serta mekanisme evaluasi hasil belajar murid di bawah panduan guru di sekolah. Jadi, kurikulum adalah atribut penting sistem persekolahan. Siapa yang membutuhkan kurikulum? Sekolah, yayasan pengelola sekolah, guru yang bekerja di sekolah, dinas pendidikan, Kemendikbud, para ahli kurikulum, dan penerbit yang mau mencetak buku wajib yang akan dipakai di sekolah. Asumsi dasar pada setiap penyusunan kurikulum adalah anak akan mencapai prestasi belajar maksimal jika melalui serangkaian instruksi dan lingkungan buatan serta mekanisme evaluasi yang terstruktur dan terencana. Asumsi itu meremehkan kecanggihan manusia beserta semua perangkat belajarnya yang telah diciptakan Tuhan sebagai ciptaan terbaik. Manusia bisa belajar dalam situasi apa pun, bahkan dalam situasi yang paling getir sekalipun. Bahkan, manusia belajar jauh lebih banyak daripada pengalamannya di luar sekolah.

Murid sebenarnya tidak membutuhkan kurikulum resmi yang kaku dan terpusat. Bahkan, anak yang cerdas sebenarnya tidak membutuhkan sekolah. Susi Pudjiastuti yang sekarang menteri kelautan dan perikanan adalah contohnya. Kebanyakan anak kita sebenarnya cerdas. Di banyak sekolah kecerdasan mereka sering diremehkan proses belajar yang tidak menantang yang disajikan guru yang tidak kompeten. Kecerdasan mereka pun sering diukur oleh instrumen yang tidak cocok seperti tes pilihan ganda. Puncak penghinaan atas kecerdasan itu adalah ujian nasional yang dibantu mesin pemindai yang ikut-ikutan menentukan kelulusan mereka. Karena proses yang salah itu, kecerdasan anak-anak tersebut justru menurun dan mereka justru kehilangan jati diri dan percaya diri.

Sesungguhnya hanya anak yang malas dan berkebutuhan khusus yang memerlukan kurikulum yang ”well-designed” oleh para teknokrat ahli. Anak-anak normal tidak membutuhkannya. Dengan bermain di ruang terbuka dan di alam, anak-anak belajar jauh lebih banyak daripada di kelas yang sempit di sebuah tempat yang kita sebut sekolah. Neurosains menemukan bahwa ruang kelas adalah tempat paling buruk bagi proses belajar. Bekal terpenting bagi anak-anak normal itu adalah akhlak yang baik, kegemaran membaca, keterampilan menulis, berhitung, berbicara, dan kesempatan praktik yang memadai bagi keterampilan-keterampilan untuk hidup secara produktif.

Kurikulum hanyalah resep makan siang, bahkan bukan makan siangnya. Kesehatan juga ditentukan oleh sarapan dan makan malam di rumah. Kurikulum tidak perlu gonta-ganti. Ini kegemaran teknokrat-birokrat. Mahal sekali. Kurikulum sederhana, generik, dan lentur mendorong guru melakukan adaptasi ruang dan waktu. Pribadi murid pun justru lebih baik. Sekolah hanya warung waralaba yang berusaha keras mengganti sarapan dengan makan siang cepat saji ala Jakarta. Kita juga sudah kecanduan sekolah sehingga tidak mampu membayangkan dunia tanpa sekolah. Padahal, masyarakat tanpa sekolah itu ada dan pernah ada dengan kualitas kehidupan yang jauh lebih baik daripada sebuah schooled society yang dengan congkak kita sebut modern ini.

Untuk memastikan pendidikan universal bagi kebanyakan anak-anak Indonesia, yang diperlukan bukan pembesaran sistem persekolahan. Yang diperlukan adalah pengembangan sebuah jejaring belajar (learning webs) yang lentur, luwes, lebih nonformal, bahkan informal. Sekolah hanya salah satu simpul dalam jejaring belajar tersebut. Bengkel, toko, klinik, studio, lembaga penyiaran, penerbit, perpustakaan kecamatan, restoran, koperasi, gereja, kuil, dan masjid dapat menjadi simpul-simpul belajar. Simpul belajar yang pertama dan utama adalah keluarga di rumah.

Formalisme kronis persekolahan harus dikurangi seminimal mungkin. Oleh Illich, itu disebut deschooling. Saat ini di Indonesia schoolism sudah masuk tingkat yang berbahaya. Ijazah dipuja sebagai bukti kompetensi seseorang. Kasus ijazah palsu yang marak terjadi adalah bukti bahwa memang masyarakat kita sudah kecanduan sekolah. Hanya yang tidak percaya diri yang butuh sekolah. Belajar secara mandiri di rumah bisa jauh lebih baik. Jadi, tanpa Kurikulum 2013, sekolah akan baik-baik saja karena tanpa sekolah pun kita sebenarnya baik-baik saja. Kita boleh mulai khawatir kalau kita tidak belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar