Ketika
Persahabatan Hancur Berkeping
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
14 Desember 2014
Perempuan
adalah orang yang paling bisa menjalin persahabatan. Persahabatan yang lekat
dan akrab bisa memunculkan dan menyiasati perasaan marah, cemburu,
persaingan, dan berbagai emosi lainnya, terutama jika kita dapat mengenali
emosi yang sedang kita rasakan dan tidak menghindari emosi tersebut. Tapi
ternyata persahabatan tidak selalu dengan mudah tetap terjalin karena bisa
saja kita merasa dikecewakan oleh sahabat kita tersebut.
Lena dan
Ita adalah dua orang yang menjalin persahabatan sejak semester satu di suatu
perguruan tinggi. Hingga saat terakhir, persahabatan sudah berlangsung selama
6 tahun. Sebenarnya relasi persahabatan mereka lebih terjalin oleh sikap
tertentu dari kedua orang tersebut. Lena lebih menjadi pemimpin, guru, dan
seseorang yang selalu meladeni keinginan Ita, sementara Ita adalah sosok yang
sering hanya menjadi orang yang menurut terhadap saran-saran Lena. Apalagi
Ita adalah sosok yang sering mengalami kesulitan untuk memahami ide dan
keinginan dirinya sendiri. Namun, terlepas dari kondisi interelasi mereka,
keduanya merasa saling membutuhkan dan persahabatan mereka sangat erat.
Mereka dua sahabat yang saling menyayangi, namun setelah Ita menikah,
persahabatan mereka seperti hancur berkeping.
Ita
mencari saya untuk memecahkan masalah persahabatannya dengan Lena. Saat datang
berkonsultasi, sebenarnya Ita sudah mencoba berbagai cara untuk menjalin
kembali persahabatannya dengan Lena, tetapi selalu gagal. Pertama kali, Ita
mengajak Lena untuk main tenis meja, kemudian mengajaknya berenang bersama
serta berbelanja baju bersama. Dengan cara tersebut, Ita ingin menyampaikan
bahwa persahabatannya dengan Lena masih merupakan hal penting bagi Ita.
Namun, Lena tidak pernah sekali pun mengundang Ita untuk melakukan aktivitas
bersama dan serta-merta relasi yang terjalin terasa hambar, bersifat
permukaan saja, seolah bergantung di udara seperti halnya kabut tebal di
langit.
Sebenarnya
Ita secara langsung pernah mengungkapkan kepada Lena bahwa relasi antarmereka
sudah berubah dan terasa kurang akrab. Ita tidak berputus asa, pada suatu saat,
Ita sengaja datang ke rumah Lena dan mengungkapkan bahwa mereka perlu bertemu
dan berbicara serius tentang persahabatan mereka. Lena menjawab bahwa tidak
ada apa-apa yang perlu dibicarakan, kerenggangan persahabatan mereka, menurut
Lena, hanya disebabkan oleh kesibukan keseharian Lena yang sangat padat.
Untuk
memperjelas, Ita kemudian mengungkapkan kepada Lena apakah ada perbuatan Ita
terhadap Lena yang tidak menyenangkan, menyinggung perasaan Lena, atau
membuat Lena kecewa. Namun, Lena tetap menjawab bahwa tidak satu pun sikap
Ita yang mengecewakan Lena. ”Enggak ada apa-apa, Ita, kamu baik selama ini,”
demikian jawaban Lena. Ita sedih dengan perpisahan ini, namun Ita akhirnya
menyadari bahwa makna kelekatan persahabatan antara dirinya dan Lena selama 6
tahun tidaklah sama. Jadi, bisa saja salah satu pihak melepaskan diri dari
kelekatan tersebut tanpa merasakan penghayatan perasaan yang berarti.
Belajar untuk ”lepas”
Perlu
kita pahami bahwa dalam jalinan relasi antarsahabat tercipta lingkaran dalam
rentang kedekatan dan jarak, kita tidak perlu bersusah payah mencari jalan
agar persahabatan berjalan sepanjang masa. Teman yang baik bisa saja dengan
mudah menjauhkan diri, kehilangan minat untuk terus berkawan dengan kita,
atau menemukan orang lain yang dirasakan lebih mengasyikkan baginya. Dalam
situasi yang semacam ini, agaknya para perempuan bisa belajar dari kaum
lelaki yang menghargai pendapat bahwa setiap orang memiliki tujuan yang
berbeda satu sama lain. Apabila seseorang sudah tidak berminat pada relasi
yang terbina selama ini, hendaknya kita terima dengan besar hati dan upayakan
diri tetap merasa nyaman, apakah kita saat ini berjarak atau berdampingan
dengan sahabat kita tersebut.
Walaupun
hati kita terasa amat sakit dengan perpisahan, kita harus terima dengan jiwa
besar karena setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih teman dekat,
memastikan bahwa perasaan positif mereka terhadap diri kita bisa saja
tiba-tiba hilang. Walaupun kita menginginkan persahabatan dengan seseorang
yang kita sayangi berlangsung selamanya, kita tidak selalu bisa mendapatkan
jenis persahabatan yang setia selamanya semacam itu. Perubahan dan
ketidakpermanenan adalah bagian dari setiap interelasi, kita tidak dapat
menghentikan jalannya jam, walaupun kita kerahkan sekuat tenaga.
Tidak
seorang pun di antara kita yang dapat menghindari penolakan dan kekecewaan
walaupun untuk itu kita duduk diam di salah satu sudut ruang yang kita yakini
sama sekali tidak berisiko. Seyogianya kita hidup dengan sikap berani untuk
mengalami ”kekecewaan-bangkit-ditolak” dan merasakan ”kehilangan”.
Dalam
hidup ini sikap dan upaya yang terbaik dalam situasi itu adalah membiarkan
segalanya terjadi dan serta-merta kita mengalihkan perhatian kita, dengan
harapan ”saya mampu menjadikan langkah ringan dengan tujuan mendapat
ketenangan, berkat, hikmah, dan efisiensi”. Walaupun untuk itu memang
memerlukan waktu tertentu agar benar-benar kita dapat memperoleh tujuan baru.
Tidak berarti bahwa kita memutuskan cara mengatasi masalah yang kita hadapi
berlalu begitu saja, namun kita pilih cara matang dan penuh rasa tanggung
jawab.
Akhirul kalam maka keluar ungkapan dari hati kita yang paling dalam
”Woo, yang sudah terjadi terjadilah.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar