Ibnu
Khaldoun
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
14 Desember 2014
Dua
perempuan—kira-kira berusia 50 tahun—duduk di kursi besi, persis di depan
patung Ibn Khaldoun di taman yang diapit Jalan Habib Bourguiba, Tunis. Patung
Ibn Khaldoun (1332-1406) memegang buku, berdiri di ujung Jalan Habib
Bourguiba. Jalan Habib Bourguiba, dari nama bapak kemerdekaan Tunisia,
membujur dari timur ke barat membelah pusat kota Tunis, ibu kota Tunisia.
Ibn
Khaldoun atau sering ditulis Ibn Khaldun dikenal sebagai sosiolog, sejarawan,
ekonom, dan juga teolog Islam yang begitu kondang. Patung Ibn Khaldoun
berdiri tegak, kokoh, dan dengan pandangan yang tajam menatap ke timur, ke arah
matahari terbit; ke arah harapan baru muncul. Seperti yang diharapkan oleh
rakyat Tunisia saat ini, setelah tiga tahun diharu biru dan diaduk-aduk oleh
pergulatan politik, pertarungan para elite politik untuk memperebutkan
kekuasaan; kekuasaan yang ditinggalkan oleh Presiden Zine al-Abidine Ben Ali
yang dipaksa turun oleh rakyatnya pada 2011.
Tidak
jelas apa yang dibicarakan oleh kedua perempuan tersebut, di tengah hiruk
pikuk dan kebisingan lalu lintas petang itu, ketika bulan hampir bulat
menggantung di atas Tunis. Mereka kiranya tidak sedang membahas buku karya
Ibn Khaldoun yang begitu terkenal: al-Muqadddimah atau The Muqaddimah atau
yang dalam bahasa Yunani disebut Prolegomena, juga sering disebut Muqaddimah
of Ibn Khaldun atau Pengantar Ibn Khaldun.
Sejumlah
pemikir modern berpendapat bahwa buku ini merupakan karya pertama yang
berhubungan dengan filsafat sejarah atau ilmu sosial sosiologi, demografi,
penulisan sejarah, sejarah kebudayaan, dan ekonomi. Buku ini juga terkait
dengan teologi Islam dan teori politik.
Ibn
Khaldoun menunjukkan empat hal penting dalam studi dan analisis laporan
sejarah: a) kaitan peristiwa satu dengan yang lain lewat sebab dan akibat; b)
menarik analogi antara masa lalu dan masa kini; c) mempertimbangkan pengaruh
lingkungan; serta d) mempertimbangkan pengaruh kondisi yang diwarisi dan
ekonomi.
Setelah
menatap patung Ibn Khaldoun yang berdiri persis di depan Katedral Vincent de
Paul bermenara kembar dan Kedutaan Perancis, tebersit pertanyaan, bagaimana
sejarah negeri kita tercinta ini? Sepakat bahwa masa kini kondisi negeri ini
ada kaitannya dengan masa lalu. Bukankah sejarah selalu sambung sinambung,
tidak terputus. Apa yang terjadi di masa sekarang ada hubungannya dengan masa
lalu; demikian juga masa depan ada hubungannya dengan masa kini.
Rakyat
Tunisia, memang, berusaha memutus sejarah mereka ketika mereka bersama-sama
bergerak menyingkirkan seorang penguasa yang melakukan praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme serta otoritarian. Namun, yang muncul sekarang pun
adalah elite-elite politik yang pada masa lalu ikut berperan. Cerita yang
sama terjadi di Mesir. Penguasa Mesir saat ini juga bagian dari masa lalu.
Ibn Khaldoun adalah masa lalu negeri yang sekarang bernama Tunisia,
tetapi juga bagian Tunisia masa kini yang tengah berusaha menggenapi
sejarahnya. Sama halnya Habib Bourguiba adalah bagian dari masa lalu Tunisia,
tetapi namanya lebih abadi daripada Ben Ali, yang dibuang oleh rakyatnya.
Kiranya nama Ibn Khaldoun akan lebih abadi dibandingkan dengan Habib
Bourguiba meski diabadikan sebagai nama jalan. Rakyat sebuah negeri akan
selalu mempertimbangkan, menilai, dan mengenang sumbangan seorang putra
terbaiknya kalau itu memang pantas dikenang dan diabadikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar