Senin, 15 Desember 2014

Ibnu Khaldoun

                                                         Ibnu Khaldoun

Trias Kuncahyono  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  14 Desember 2014

                                                                                                                       


Dua perempuan—kira-kira berusia 50 tahun—duduk di kursi besi, persis di depan patung Ibn Khaldoun di taman yang diapit Jalan Habib Bourguiba, Tunis. Patung Ibn Khaldoun (1332-1406) memegang buku, berdiri di ujung Jalan Habib Bourguiba. Jalan Habib Bourguiba, dari nama bapak kemerdekaan Tunisia, membujur dari timur ke barat membelah pusat kota Tunis, ibu kota Tunisia.

Ibn Khaldoun atau sering ditulis Ibn Khaldun dikenal sebagai sosiolog, sejarawan, ekonom, dan juga teolog Islam yang begitu kondang. Patung Ibn Khaldoun berdiri tegak, kokoh, dan dengan pandangan yang tajam menatap ke timur, ke arah matahari terbit; ke arah harapan baru muncul. Seperti yang diharapkan oleh rakyat Tunisia saat ini, setelah tiga tahun diharu biru dan diaduk-aduk oleh pergulatan politik, pertarungan para elite politik untuk memperebutkan kekuasaan; kekuasaan yang ditinggalkan oleh Presiden Zine al-Abidine Ben Ali yang dipaksa turun oleh rakyatnya pada 2011.

Tidak jelas apa yang dibicarakan oleh kedua perempuan tersebut, di tengah hiruk pikuk dan kebisingan lalu lintas petang itu, ketika bulan hampir bulat menggantung di atas Tunis. Mereka kiranya tidak sedang membahas buku karya Ibn Khaldoun yang begitu terkenal: al-Muqadddimah atau The Muqaddimah atau yang dalam bahasa Yunani disebut Prolegomena, juga sering disebut Muqaddimah of Ibn Khaldun atau Pengantar Ibn Khaldun.

Sejumlah pemikir modern berpendapat bahwa buku ini merupakan karya pertama yang berhubungan dengan filsafat sejarah atau ilmu sosial sosiologi, demografi, penulisan sejarah, sejarah kebudayaan, dan ekonomi. Buku ini juga terkait dengan teologi Islam dan teori politik.

Ibn Khaldoun menunjukkan empat hal penting dalam studi dan analisis laporan sejarah: a) kaitan peristiwa satu dengan yang lain lewat sebab dan akibat; b) menarik analogi antara masa lalu dan masa kini; c) mempertimbangkan pengaruh lingkungan; serta d) mempertimbangkan pengaruh kondisi yang diwarisi dan ekonomi.

Setelah menatap patung Ibn Khaldoun yang berdiri persis di depan Katedral Vincent de Paul bermenara kembar dan Kedutaan Perancis, tebersit pertanyaan, bagaimana sejarah negeri kita tercinta ini? Sepakat bahwa masa kini kondisi negeri ini ada kaitannya dengan masa lalu. Bukankah sejarah selalu sambung sinambung, tidak terputus. Apa yang terjadi di masa sekarang ada hubungannya dengan masa lalu; demikian juga masa depan ada hubungannya dengan masa kini.

Rakyat Tunisia, memang, berusaha memutus sejarah mereka ketika mereka bersama-sama bergerak menyingkirkan seorang penguasa yang melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta otoritarian. Namun, yang muncul sekarang pun adalah elite-elite politik yang pada masa lalu ikut berperan. Cerita yang sama terjadi di Mesir. Penguasa Mesir saat ini juga bagian dari masa lalu.

Ibn Khaldoun adalah masa lalu negeri yang sekarang bernama Tunisia, tetapi juga bagian Tunisia masa kini yang tengah berusaha menggenapi sejarahnya. Sama halnya Habib Bourguiba adalah bagian dari masa lalu Tunisia, tetapi namanya lebih abadi daripada Ben Ali, yang dibuang oleh rakyatnya. Kiranya nama Ibn Khaldoun akan lebih abadi dibandingkan dengan Habib Bourguiba meski diabadikan sebagai nama jalan. Rakyat sebuah negeri akan selalu mempertimbangkan, menilai, dan mengenang sumbangan seorang putra terbaiknya kalau itu memang pantas dikenang dan diabadikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar