Target
Samuel Mulia ; Penulis kolom “PARODI” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
14 Desember 2014
Lima
hari berturut-turut saya menerima kabar dukacita. Saking tiap hari menerima
berita itu, saya jadi berpikir kapan giliran saya tiba. Bagaimana rasanya
meninggal itu? Apa yang perlu dipersiapkan menyambut datangnya hari itu?
Tentu
tak ada yang menjawab suara nurani itu, yang tertinggal hanyalah perasaan
takut di ujung semua pertanyaan itu.
Persiapan
Takut.
Kenapa? Biasanya kalau saya takut atau keder menghadapi sebuah keadaan,
karena saya kurang atau malah tidak punya persiapan. Dan saya tahu pasti,
persiapan itu penting dilakukan sebelum perang.
Coba
tanyakan kepada seorang pengusaha, atau koruptor, atau maling, semua perlu
persiapan. Persiapan siapa targetnya, bagaimana cara pencapaian targetnya,
bagaimana cara membobol atau mencurinya, bagaimana kalau strategi ini gagal,
apakah ada strategi lain yang dapat digunakan.
Namun
mengapa persiapan itu menjadi penting. Karena baik pengusaha, koruptor, dan
maling, targetnya harus tercapai. Karena kalau tak tercapai atau gagal itu
akan mengecewakan, baik bagi pengusaha dan seluruh perusahaan, baik malingnya
dan mereka yang menadah hasil pencurian itu.
Oleh
karenanya target setiap saat harus ditentukan. Target dan persiapan itu sudah
tak bisa dipisahkan. Target itu yang memacu semangat, persiapan itu adalah
medium menggerakkan dan menyalurkan semangat.
Persiapan
yang matang itu sebuah cerminan menyalurkan semangat dengan benar, target
yang tercapai adalah pembuktian kalau persiapan yang matang itu bak senjata
yang menembaki sasaran dengan tepat.
Biasanya
kalau persiapan sudah matang, tak ada rasa takut atau kalaupun takut itu akan
kecil sekali persentasenya. Mengapa persiapan itu harus matang, agar
targetnya bisa dicapai sesuai dengan apa yang direncanakan.
Tetapi
persiapan itu baru akan dilakukan, kalau seseorang tahu target apa yang akan
dituju, berapa besar yang akan dicapai. Karena dengan mengetahui targetnya,
senjata yang digunakan akan disesuaikan.
Mengapa
saya keder mendengar kabar dukacita? Mengapa saya takut meninggal? Seperti
saya katakan di atas, kalau saya takut, itu karena persiapannya kurang atau
tidak ada sama sekali. Kadang, targetnya saja saya tidak tahu.
Target
Mengapa
saya tak tahu target saya? Karena tidak barang sedetik pun, meninggal dunia
menjadi target hidup saya. Baik target jam-jaman, target harian, mingguan,
bulanan maupun tahunan.
Target
saya hanya ingin kaya, ingin punya ini, punya itu, punya rumah di sana, di
sini dan di situ. Punya perusahaan di lima benua. Target saya jadi ketua
organisasi ini, organisasi itu, dan sejuta target lainnya.
Saya tak
pernah berpikir untuk memiliki target meninggal dunia. Tidak hanya meninggal
saja, tetapi meninggal dengan persiapan yang matang. Jadi saya ini hanya
takut melulu, tetapi tak berniat mengurangi ketakutan. Karena buat saya yang
diutamakan adalah target duniawinya. Yang surgawi nanti saja.
Maka
target itu penting dibuat, untuk menghindari kalimat nanti saja dipikirkan.
Itu mengapa setiap perusahaan di dunia ini, setiap akhir tahun mulai rapat
tak henti-hentinya untuk mempersiapkan target yang dicapai tahun yang akan
datang.
Dari
mempelajari situasi politik, ekonomi, keuangan, dan lain sebagainya. Internal
dan eksternal faktor dipikirkan masak-masak, sehingga ketika tahun yang baru
datang, mereka siap menghadapinya.
Pertanyaannya
kemudian, apakah saya siap menghadapi kematian saya? Apakah di setiap akhir
tahun selama setengah abad ini, saya sudah berpikir persiapan apa yang harus
saya lakukan untuk target yang ingin saya dapati di tahun yang baru?
Karena
meninggal dunia datang seperti maling sehingga tak tahu kapan akan datangnya,
maka seperti yang saya tulis di atas, hal yang satu ini targetnya bukan hanya
dijadikan target tahunan, tetapi jam-jaman, harian, mingguan, dan bulanan.
Jadi
kalau tahun ini saya mencapai target satu miliar, maka tahun depan harus
mencapai lima miliar. Jadi kalau meninggal dunia saya jadikan target, maka
tahun ini kalau saya masih belum bisa memaafkan, ya target berikutnya harus
bisa mengurangi lima puluh persennya. Dan dalam tahun berjalan, bisa jadi
target perusahaan melebihi apa yang ditargetkan, maka memaafkan juga bisa
melebihi lima puluh persen pencapaiannya.
Kalau
tahun ini sudah membuat orang lain hidupnya sengsara, tahun depan harus
dikurangi.
Sama
saja kalau pengeluaran tahun ini berlebihan, maka dengan laporan keuangan
yang benar, tahun depan beberapa pengeluaran yang tidak perlu harus dihilangkan.
Mengapa semua itu harus dilakukan? Supaya perusahaannya sehat, supaya
manusianya yang bekerja menjadi sejahtera.
Maka
sama saja, kalau persiapan meninggal dunia dipikirkan masak-masak,
’pengeluaran’ yang tidak perlu bisa dihilangkan, maka yang meninggal dan yang
ditinggalkan juga menjadi sejahtera.
Sehingga kalau datang berita dukacita tahun depan, saya tak perlu keder
lagi, tetapi lebih bersemangat untuk mencapai target. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar