Senin, 15 Desember 2014

Target

                                                                     Target

Samuel Mulia  ;   Penulis kolom “PARODI” Kompas Minggu
KOMPAS,  14 Desember 2014

                                                                                                                       


Lima hari berturut-turut saya menerima kabar dukacita. Saking tiap hari menerima berita itu, saya jadi berpikir kapan giliran saya tiba. Bagaimana rasanya meninggal itu? Apa yang perlu dipersiapkan menyambut datangnya hari itu?

Tentu tak ada yang menjawab suara nurani itu, yang tertinggal hanyalah perasaan takut di ujung semua pertanyaan itu.

Persiapan

Takut. Kenapa? Biasanya kalau saya takut atau keder menghadapi sebuah keadaan, karena saya kurang atau malah tidak punya persiapan. Dan saya tahu pasti, persiapan itu penting dilakukan sebelum perang.

Coba tanyakan kepada seorang pengusaha, atau koruptor, atau maling, semua perlu persiapan. Persiapan siapa targetnya, bagaimana cara pencapaian targetnya, bagaimana cara membobol atau mencurinya, bagaimana kalau strategi ini gagal, apakah ada strategi lain yang dapat digunakan.

Namun mengapa persiapan itu menjadi penting. Karena baik pengusaha, koruptor, dan maling, targetnya harus tercapai. Karena kalau tak tercapai atau gagal itu akan mengecewakan, baik bagi pengusaha dan seluruh perusahaan, baik malingnya dan mereka yang menadah hasil pencurian itu.

Oleh karenanya target setiap saat harus ditentukan. Target dan persiapan itu sudah tak bisa dipisahkan. Target itu yang memacu semangat, persiapan itu adalah medium menggerakkan dan menyalurkan semangat.

Persiapan yang matang itu sebuah cerminan menyalurkan semangat dengan benar, target yang tercapai adalah pembuktian kalau persiapan yang matang itu bak senjata yang menembaki sasaran dengan tepat.

Biasanya kalau persiapan sudah matang, tak ada rasa takut atau kalaupun takut itu akan kecil sekali persentasenya. Mengapa persiapan itu harus matang, agar targetnya bisa dicapai sesuai dengan apa yang direncanakan.

Tetapi persiapan itu baru akan dilakukan, kalau seseorang tahu target apa yang akan dituju, berapa besar yang akan dicapai. Karena dengan mengetahui targetnya, senjata yang digunakan akan disesuaikan.

Mengapa saya keder mendengar kabar dukacita? Mengapa saya takut meninggal? Seperti saya katakan di atas, kalau saya takut, itu karena persiapannya kurang atau tidak ada sama sekali. Kadang, targetnya saja saya tidak tahu.

Target

Mengapa saya tak tahu target saya? Karena tidak barang sedetik pun, meninggal dunia menjadi target hidup saya. Baik target jam-jaman, target harian, mingguan, bulanan maupun tahunan.

Target saya hanya ingin kaya, ingin punya ini, punya itu, punya rumah di sana, di sini dan di situ. Punya perusahaan di lima benua. Target saya jadi ketua organisasi ini, organisasi itu, dan sejuta target lainnya.

Saya tak pernah berpikir untuk memiliki target meninggal dunia. Tidak hanya meninggal saja, tetapi meninggal dengan persiapan yang matang. Jadi saya ini hanya takut melulu, tetapi tak berniat mengurangi ketakutan. Karena buat saya yang diutamakan adalah target duniawinya. Yang surgawi nanti saja.

Maka target itu penting dibuat, untuk menghindari kalimat nanti saja dipikirkan. Itu mengapa setiap perusahaan di dunia ini, setiap akhir tahun mulai rapat tak henti-hentinya untuk mempersiapkan target yang dicapai tahun yang akan datang.

Dari mempelajari situasi politik, ekonomi, keuangan, dan lain sebagainya. Internal dan eksternal faktor dipikirkan masak-masak, sehingga ketika tahun yang baru datang, mereka siap menghadapinya.

Pertanyaannya kemudian, apakah saya siap menghadapi kematian saya? Apakah di setiap akhir tahun selama setengah abad ini, saya sudah berpikir persiapan apa yang harus saya lakukan untuk target yang ingin saya dapati di tahun yang baru?

Karena meninggal dunia datang seperti maling sehingga tak tahu kapan akan datangnya, maka seperti yang saya tulis di atas, hal yang satu ini targetnya bukan hanya dijadikan target tahunan, tetapi jam-jaman, harian, mingguan, dan bulanan.

Jadi kalau tahun ini saya mencapai target satu miliar, maka tahun depan harus mencapai lima miliar. Jadi kalau meninggal dunia saya jadikan target, maka tahun ini kalau saya masih belum bisa memaafkan, ya target berikutnya harus bisa mengurangi lima puluh persennya. Dan dalam tahun berjalan, bisa jadi target perusahaan melebihi apa yang ditargetkan, maka memaafkan juga bisa melebihi lima puluh persen pencapaiannya.

Kalau tahun ini sudah membuat orang lain hidupnya sengsara, tahun depan harus dikurangi.

Sama saja kalau pengeluaran tahun ini berlebihan, maka dengan laporan keuangan yang benar, tahun depan beberapa pengeluaran yang tidak perlu harus dihilangkan. Mengapa semua itu harus dilakukan? Supaya perusahaannya sehat, supaya manusianya yang bekerja menjadi sejahtera.

Maka sama saja, kalau persiapan meninggal dunia dipikirkan masak-masak, ’pengeluaran’ yang tidak perlu bisa dihilangkan, maka yang meninggal dan yang ditinggalkan juga menjadi sejahtera.

Sehingga kalau datang berita dukacita tahun depan, saya tak perlu keder lagi, tetapi lebih bersemangat untuk mencapai target.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar