Kembangkan
Antikorupsi Tiap Saat
Amanda Adiwijaya ; Lulusan l International College, Yerusalem
|
KORAN
JAKARTA, 11 Desember 2014
Beredar
guyonan mengapa pemberantasan korupsi di Indonesia kurang maksimal? Sebab
hanya ada satu Hari Antikorupsi, yaitu pada 9 Desember. Padahal, korupsi
dilakukan setiap hari. Memang Hari Antikorupsi Sedunia kadang sekadar
seremonial.
Agar
pemberantasan lebih kencang, seharusnya tiap saat, tiap hari, selalu menjadi
hari antikorupsi. Korupsi sesungguhnya masalah paling besar dan mendesak
dituntaskan. Bila tidak, upaya untuk meraih kemajuan menjadi bangsa yang
disegani hanya angan-angan.
Konyolnya
lagi, berbagai institusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan, atau kehakiman
justru mandul menghadapi tindak pidana satu ini. Harapan rakyat kini tinggal
pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi KPK selalu menghadapi upaya
pelemahan dan berbagai intrik politik. Menurut Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999), korupsi adalah “Perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”.
Lanjutannya,
korupsi itu “Perbuatan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan
keuangan atau perekonomian negara”. Mengapa tindak pidana korupsi justru
terjadi di negeri yang mengklaim diri mayoritas warganya beragama? Perintah
Tuhan untuk tidak mencuri, mengambil milik orang lain atau korupsi yang ada
dalam kitab suci semua agama tak berpengaruh lagi. Buktinya, para koruptor
baru justru terus bermunculan.
Simak
saja korupsi Ketua DPRD Bangkalan, Jatim Fuad Ami Imron, yang baru-baru ini
ditangkap tangan KPK di rumahnya. Fuad mampu membangun politik dinasti demi
kepentingan egonya sambil menampakkan diri ke publik sebagai sosok agamis.
Menurut budayawan Emha Ainun Najib alias Cak Nun, bangsa ini begitu ahli
menghancurkan diri sendiri lewat korupsi.
Bayangkan,
lewat simbol-simbol agama yang meriah di luar, semarak pula korupsi di semua
lini kehidupan. Publik pun bertanya, sejauh mana sebenarnya kaitan agama dan
korupsi? Lalu, apa peran agama dan regulasi? Tidak mudah menjawab
pertanyaanpertanyaan itu. Apalagi jika menilik negara- negara sekuler, bahkan
mayoritas warganya tidak peduli pada agama, seperti Denmark. Namun negeri di
Skandinavia ini justru praktik korupsinya nyaris tidak ada.
Hanya Kedok
Di sisi
lain, para koruptor makin lihai. Praktik korupsi bisa ditutup rapi dengan
ritual keagamaan. Dengan menunaikan ibadah haji bagi kaum muslim atau
berziarah ke Israel bagi warga Kristen, mendirikan tempat ibadah atau
menyantuni anak yatim yang dananya korupsi, seolah semua korupsi diampuni.
Ada
pencucian uang hasil korupsi lewat aktivitas bernuansa agama. Beragama oke,
korupsi juga oke. Memang bila merenungkan praktik korupsi yang tetap marak,
bangsa ini layak mengelus dada. Apalagi aparat penegak hukum justru menjadi bagian
dari permasalahan ini.
Simak
saja, keberadaan pengadilan tipikor di daerah juga tak membawa perubahan
signifikan. Padahal kerugian negara akibat korupsi tidaklah kecil. Menurut
KPK, terhitung sejak tahun 2004 hingga 2011 negara telah menanggung kerugian
39,3 triliun rupiah. Menurutnya, dana sebesar itu dapat digunakan untuk
membangun 393.000 unit rumah sederhana bagi warga miskin atau 311 unit
sekolah dasar.
Berbicara
tentang korupsi, memang bisa menggoda bangsa untuk apatis meski tidak boleh
berputus asa atau menyerah. Mungkin benar tudingan budayawan dan wartawan
senior Mochtar Lubis (almarhum), betapa munafiknya bangsa ini. Pencucian uang
hasil korupsi lewat tindakan ritual keagamaan, seperti disebutkan tadi, jelas
merupakan kemunafikan.
Persoalan
korupsi memang kian menusuk nalar sehat manakala dikaitkan dengan praktik
keagamaan. Memang pelaksanaan ritual keagamaan idealnya harus membuahkan
perilaku yang terpuji, bukan perilaku tidak terpuji seperti korupsi.
Sayangnya ritual keagamaan yang terjadi tidak menghasilkan buah perubahan
hidup secara konkret.
Banyak
yang melakukannya hanya untuk mencari pujian dari orang lain sehingga
citranya terdongkrak serta korupsi yang dilakukan tidak ketahuan. Padahal
manusia tidak bisa berpura-pura, apalagi di hadapan Tuhan. Segala topeng yang
coba dipasang tidak akan bisa menutupi segala perilaku manusia yang tak
terpuji.
Korupsi
sesungguhnya sangat menyakitkan dan menganiaya banyak pihak, khususunya kaum
miskin. Dengan uang negara yang terus dirampok dan masuk kantong pribadi,
kesempatan menjadi hilang bagi anak-anak miskin yang bergizi buruk untuk
mendapat asupan cukup. Akibat dirampok koruptor, banyak anak miskin tidak
bisa masuk ke sekolah.
Jalan-jalan
tambah rusak karena anggaran pembangunan disunat dan dibelikan material murah
sehingga cepat rusak dan rawan kecelakaan. Ada rangkaian dampak buruk dari
tindakan para koruptor sehingga sebenarnya harus dihukum seberat-beratnya.
Tulisan ini tidak berpretensi menomorsatukan pendekatan agama, lalu menggeser
peran hukum positif.
Agama
lebih berperan sebagai early warning system agar orang jangan korupsi. Tapi
bila orang sudah melakukan tindak pidana korupsi, hukum positif seharusnya
tegas bertindak. KPK yang masih mendapat kepercayaan publik kini menghadapi
ancaman diperlemah. Bahkan, ada yang menyebut terjadi serangan balik dari
para koruptor bekerja dengan mafia hukum. Mereka ingin KPK tak bergigi lagi.
Dengan demikian, perampok uang negara bisa terus berpesta di atas
kebangkrutan negara dan penderitaan rakyat, khususnya wong cilik. KPK harus
dijaga benar agar jangan sampai diperlemah lewat berbagai cara. KPK sendiri
perlu tegas dan membidik para koruptor kakap. Harus dicari mekanisme hukum
agar para koruptor sungguh jera dan miskin sekeluar dari penjara. Segenap umat
beragama harus menggalang semangat antikorupsi setiap saat, bukan hanya pada
peringatan hari antikorupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar