Senin, 15 Desember 2014

Kembangkan Antikorupsi Tiap Saat

                          Kembangkan Antikorupsi Tiap Saat

Amanda Adiwijaya  ;   Lulusan l International College, Yerusalem
KORAN JAKARTA,  11 Desember 2014

                                                                                                                       


Beredar guyonan mengapa pemberantasan korupsi di Indonesia kurang maksimal? Sebab hanya ada satu Hari Antikorupsi, yaitu pada 9 Desember. Padahal, korupsi dilakukan setiap hari. Memang Hari Antikorupsi Sedunia kadang sekadar seremonial.

Agar pemberantasan lebih kencang, seharusnya tiap saat, tiap hari, selalu menjadi hari antikorupsi. Korupsi sesungguhnya masalah paling besar dan mendesak dituntaskan. Bila tidak, upaya untuk meraih kemajuan menjadi bangsa yang disegani hanya angan-angan.

Konyolnya lagi, berbagai institusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan, atau kehakiman justru mandul menghadapi tindak pidana satu ini. Harapan rakyat kini tinggal pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi KPK selalu menghadapi upaya pelemahan dan berbagai intrik politik. Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999), korupsi adalah “Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Lanjutannya, korupsi itu “Perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Mengapa tindak pidana korupsi justru terjadi di negeri yang mengklaim diri mayoritas warganya beragama? Perintah Tuhan untuk tidak mencuri, mengambil milik orang lain atau korupsi yang ada dalam kitab suci semua agama tak berpengaruh lagi. Buktinya, para koruptor baru justru terus bermunculan.

Simak saja korupsi Ketua DPRD Bangkalan, Jatim Fuad Ami Imron, yang baru-baru ini ditangkap tangan KPK di rumahnya. Fuad mampu membangun politik dinasti demi kepentingan egonya sambil menampakkan diri ke publik sebagai sosok agamis. Menurut budayawan Emha Ainun Najib alias Cak Nun, bangsa ini begitu ahli menghancurkan diri sendiri lewat korupsi.

Bayangkan, lewat simbol-simbol agama yang meriah di luar, semarak pula korupsi di semua lini kehidupan. Publik pun bertanya, sejauh mana sebenarnya kaitan agama dan korupsi? Lalu, apa peran agama dan regulasi? Tidak mudah menjawab pertanyaanpertanyaan itu. Apalagi jika menilik negara- negara sekuler, bahkan mayoritas warganya tidak peduli pada agama, seperti Denmark. Namun negeri di Skandinavia ini justru praktik korupsinya nyaris tidak ada.

Hanya Kedok

Di sisi lain, para koruptor makin lihai. Praktik korupsi bisa ditutup rapi dengan ritual keagamaan. Dengan menunaikan ibadah haji bagi kaum muslim atau berziarah ke Israel bagi warga Kristen, mendirikan tempat ibadah atau menyantuni anak yatim yang dananya korupsi, seolah semua korupsi diampuni.

Ada pencucian uang hasil korupsi lewat aktivitas bernuansa agama. Beragama oke, korupsi juga oke. Memang bila merenungkan praktik korupsi yang tetap marak, bangsa ini layak mengelus dada. Apalagi aparat penegak hukum justru menjadi bagian dari permasalahan ini.

Simak saja, keberadaan pengadilan tipikor di daerah juga tak membawa perubahan signifikan. Padahal kerugian negara akibat korupsi tidaklah kecil. Menurut KPK, terhitung sejak tahun 2004 hingga 2011 negara telah menanggung kerugian 39,3 triliun rupiah. Menurutnya, dana sebesar itu dapat digunakan untuk membangun 393.000 unit rumah sederhana bagi warga miskin atau 311 unit sekolah dasar.

Berbicara tentang korupsi, memang bisa menggoda bangsa untuk apatis meski tidak boleh berputus asa atau menyerah. Mungkin benar tudingan budayawan dan wartawan senior Mochtar Lubis (almarhum), betapa munafiknya bangsa ini. Pencucian uang hasil korupsi lewat tindakan ritual keagamaan, seperti disebutkan tadi, jelas merupakan kemunafikan.

Persoalan korupsi memang kian menusuk nalar sehat manakala dikaitkan dengan praktik keagamaan. Memang pelaksanaan ritual keagamaan idealnya harus membuahkan perilaku yang terpuji, bukan perilaku tidak terpuji seperti korupsi. Sayangnya ritual keagamaan yang terjadi tidak menghasilkan buah perubahan hidup secara konkret.

Banyak yang melakukannya hanya untuk mencari pujian dari orang lain sehingga citranya terdongkrak serta korupsi yang dilakukan tidak ketahuan. Padahal manusia tidak bisa berpura-pura, apalagi di hadapan Tuhan. Segala topeng yang coba dipasang tidak akan bisa menutupi segala perilaku manusia yang tak terpuji.

Korupsi sesungguhnya sangat menyakitkan dan menganiaya banyak pihak, khususunya kaum miskin. Dengan uang negara yang terus dirampok dan masuk kantong pribadi, kesempatan menjadi hilang bagi anak-anak miskin yang bergizi buruk untuk mendapat asupan cukup. Akibat dirampok koruptor, banyak anak miskin tidak bisa masuk ke sekolah.

Jalan-jalan tambah rusak karena anggaran pembangunan disunat dan dibelikan material murah sehingga cepat rusak dan rawan kecelakaan. Ada rangkaian dampak buruk dari tindakan para koruptor sehingga sebenarnya harus dihukum seberat-beratnya. Tulisan ini tidak berpretensi menomorsatukan pendekatan agama, lalu menggeser peran hukum positif.

Agama lebih berperan sebagai early warning system agar orang jangan korupsi. Tapi bila orang sudah melakukan tindak pidana korupsi, hukum positif seharusnya tegas bertindak. KPK yang masih mendapat kepercayaan publik kini menghadapi ancaman diperlemah. Bahkan, ada yang menyebut terjadi serangan balik dari para koruptor bekerja dengan mafia hukum. Mereka ingin KPK tak bergigi lagi.

Dengan demikian, perampok uang negara bisa terus berpesta di atas kebangkrutan negara dan penderitaan rakyat, khususnya wong cilik. KPK harus dijaga benar agar jangan sampai diperlemah lewat berbagai cara. KPK sendiri perlu tegas dan membidik para koruptor kakap. Harus dicari mekanisme hukum agar para koruptor sungguh jera dan miskin sekeluar dari penjara. Segenap umat beragama harus menggalang semangat antikorupsi setiap saat, bukan hanya pada peringatan hari antikorupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar