Tuntaskan
Kasus HAM Berat
Endah Sulistyowati ; Lulusan FISIP Universitas Jember, Aktivis
sosial
|
KORAN
JAKARTA, 10 Desember 2014
Hari Hak
Asasi Manusia (HAM) sedunia yang diperingati setiap 10 Desember, tahun ini
mencuatkan ironisme terkait pembebasan salah satu pelaku yang terkait dengan
kematian pejuang HAM, Munir, Pollycarpus Budihari Prijanto. Polly divonis 14
tahun oleh Mahkamah Agung setelah peninjauan kembalinya dikabulkan. Hukuman
dikurangi remisi 51 bulan 80 hari atau lebih dari 4 tahun.
Meski
hari HAM diperingati, masih sering terjadi kasus intoleransi beragama dan
tekanan terhadap minoritas dalam kehidupan berbangsa oleh kelompok ekstrem.
Selama satu dasawarsa terakhir, telah terjadi sederet masalah yang memilukan
peradaban akibat kekerasan berlatar agama dan tercederainya HAM pada kelompok
minoritas. Meskipun begitu, badan dunia masih memandang Indonesia penting
untuk merefleksikan kehidupan antarumat beragama dalam kerangka mencari
format dan solusi berbagai masalah global.
Faktor
lain yang menjadi kelebihan Indonesia adalah terkait konteks pembahasan
jembatan berbagai perbedaan seperti dunia Barat dan Islam. Indonesia juga
masih dipandang penting dalam Forum Aliansi Peradaban yang diprakarsai
(mantan) Sekjen PBB, Kofi Annan. Tujuan pokok aliansi ini mendorong
terciptanya hubungan harmonis antar peradaban. Aliansi juga berupaya
menjembatani jurang Islam-Barat. Mereka juga mengupayakan pembangunan politik
dalam memobilisasi aksi bersama menghadapi ekstremisme dalam masyarakat.
Kini,
tabir yang menyelimuti kematian Munir bertambah gelap. Aib negeri semakin
bertambah ketika pengadilan membebaskan Pollycarpus, dan sebelumnya juga
membebaskan Muchdi PR. Otoritas hukum sepertinya belum bekerja sepenuh hati
dalam menyidik kasus tersebut. Tim penyidik memiliki kelemahan yang amat
mendasar karena tidak mampu menembus pemblokiran informasi.
Di
negara-negara maju yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, pemblokiran
semacam itu mampu ditembus dengan perangkat undang-undang maupun atas
rekomendasi legislatif. Salah satu contoh adanya aturan yang membolehkan
publik untuk mengakses dokumen lembaga intelijen. Pemerintahan Jokowi-JK yang
relatif tidak terkontaminasi dengan masalah HAM (berat) sebenarnya memiliki
kapasitas mengusut kembali kasus kematian Munir agar bangsa tidak terus
dihantui dan semakin kehilangan martabatnya.
Pengalaman
buruk tentang eksistensi Tim Pencari Fakta (TPF) yang gagal mengusut kasus
Trisakti, Semanggi, dan lain-lainnya juga terjadi pada TPF kasus Munir. Jika
pemerintahan Jokowi-JK tidak segera menghidupkan kembali dinamo pengusutan
kasus kematian Munir hingga kasusnya menjadi terang, reputasi pemerintah dan
bangsa terus tercoreng.
Alangkah
baiknya jika Presiden Jokowi membentuk sekali lagi TPF kematian Munir dengan
menambahkan beberapa pribadi yang berkompetensi khusus. Kalau perlu, diambil
dari luar negeri. Langkah pembentukan kembali TPF agar kinerjanya lebih
profesional, bebas konflik kepentingan, serta lebih memiliki kompetensi bobot
investigasi. Maka, teknik investigasi diharapkan semakin mendalam dan ada
terobosan.
TPF
harus berani masuk ke institusi lainnya, seperti BIN, Kejaksaan, Kepolisian,
PT Garuda Indonesia, dan laboratorium forensik. Banyak rantai terputus dalam
kasus Munir karena sinergi antarlembaga tidak optimal. Demikan juga dalam
mengakses data dan fakta luaran lembaga intelijen.
Para
anggota TPF juga terlihat kurang memiliki kompetensi intelligence analysts. Padahal itu penting karena motif
pembunuhan Munir sangat sistematis dan modusnya tersembunyi mirip-mirip order
atau operasi intelijen. Mestinya kompetensi intelligence analyst yang
bertugas mengolah data informasi mampu menghasilkan produk valid sehingga
memudahkan aktivitas TPF. Berbagai fakta dan data akan lebih mampu ditelisik
serta dirangkai bentuk anatominya.
Berdalih
Banyak
pihak yang berpendapat kasus ini bermuara pada lembaga atau oknum aparat
intelijen. Ironisnya, penyidik cenderung berdalih, lembaga atau oknum aparat
intelijen “clear” dalam kematian Munir. Akibatnya, penyidik menemui kondisi
classified source tidak tersedia sehingga pemanfaatan open source sangat
diperlukan. Agar lebih efektif, seharusnya proses penyidikan kasus itu
menggunakan all-sources serta mengembangkan metode lain yang melibatkan para
ahli luar negeri.
Hari HAM
Sedunia 2014 juga banyak diwarnai kasus intoleransi negeri ini. Setara Institute, The Wahid Institute,
dan CRCS UGM telah mencatatnya. Lembaga-lembaga ini memandang Jawa Barat memegang
angka intoleransi tertinggi selama lima tahun terakhir.
Kasus
HAM juga disebabkan banyaknya peraturan daerah untuk mengekang dan membatasi
aktivitas golongan minoritas. Dengan mata telanjang, pemerintah pusat dan
daerah, selama satu dasawarsa terakhir, terlihat kehilangan wibawa. Mereka
terkesan tunduk pada tekanan yang menganggap diri mayoritas. Bahkan, DPR
telah memproduksi undang-undang yang secara tidak langsung mendiskreditkan
budaya beberapa kelompok masyarakat dan mengingkari keragaman sebagai esensi
peradaban bernegara.
Selama
ini, pemerintah tidak hanya tutup mata terhadap praktik intoleransi dan
diskriminasi. Dia juga acap kali terlibat sebagai pelaku itu sendiri.
Contohnya, menangkap secara sewenang-wenang warga negara yang dituding menyimpang
keyakinan beragama. Padahal, istilah menyimpang atau sesat masih bias, hanya
berdasarkan pendapat kelompok penekan. Sementara argumentasi dan aspirasi
minoritas diremehkan begitu saja.
Rapuhnya
perlindungan terhadap kelompok minoritas bisa dilihat dari banyak kasus
perusakan rumah ibadah. Ironisnya, justru pada rezim Orde Baru, model
pelarangan beribadah tidak pernah terjadi. Kalau dulu pelarangan merupakan
spontanitas dan terbatas, kini menjadi termobilisasi dengan bantuan
organisasi kemasyarakatan yang tidak pernah dilarang pemerintah, meski
jelas-jelas telah merusak kebersamaan.
Modus
pelanggaran kebebasan beragama juga semakin bertambah parah dan menunjukkan
kian tidak tolerannya masyarakat. Kasus yang lebih menyedihkan lagi,
pemerintah daerah takut menegakkan hukum. Bahkan pada level bawah, sering
aparat pemerintahan justru memberi peluang dan memberi angin bagi tindakan
anarkistis.
Belum
lagi jika kita menimbang hadirnya peraturan daerah yang hanya mengatur
sebagian anggota masyarakatnya dalam kategori perda bernuansa dominan
golongan tertentu. Realitas politik seperti ini merupakan pencederaan
peradaban dan kebersamaan sebagai satu bangsa bermartabat.
Hari HAM sedunia kali ini mestinya menjadi momentum untuk mawas diri
kebangsaan. Bangsa ini telah terancam oleh musuh yang sangat berbahaya. Musuh
tersebut datangnya bukan dari luar negeri, tetapi justru bercokol di tengah
kehidupan masyarakat. Musuh tersebut adalah pihak yang berupaya menghancurkan
keberagaman dan pluralisme yang notabene adalah pilar sebuah peradaban. Di
masa mendatang, pemerintah harus hadir dan tegas bersikap, tanpa pandang bulu
menghadapi pihak-pihak yang bisa menghancurkan peradaban dan mengembangkan
sikap intoleran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar