Senin, 15 Desember 2014

Tuntaskan Kasus HAM Berat

                                   Tuntaskan Kasus HAM Berat

Endah Sulistyowati  ;   Lulusan FISIP Universitas Jember, Aktivis sosial
KORAN JAKARTA,  10 Desember 2014

                                                                                                                       


Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia yang diperingati setiap 10 Desember, tahun ini mencuatkan ironisme terkait pembebasan salah satu pelaku yang terkait dengan kematian pejuang HAM, Munir, Pollycarpus Budihari Prijanto. Polly divonis 14 tahun oleh Mahkamah Agung setelah peninjauan kembalinya dikabulkan. Hukuman dikurangi remisi 51 bulan 80 hari atau lebih dari 4 tahun.

Meski hari HAM diperingati, masih sering terjadi kasus intoleransi beragama dan tekanan terhadap minoritas dalam kehidupan berbangsa oleh kelompok ekstrem. Selama satu dasawarsa terakhir, telah terjadi sederet masalah yang memilukan peradaban akibat kekerasan berlatar agama dan tercederainya HAM pada kelompok minoritas. Meskipun begitu, badan dunia masih memandang Indonesia penting untuk merefleksikan kehidupan antarumat beragama dalam kerangka mencari format dan solusi berbagai masalah global.

Faktor lain yang menjadi kelebihan Indonesia adalah terkait konteks pembahasan jembatan berbagai perbedaan seperti dunia Barat dan Islam. Indonesia juga masih dipandang penting dalam Forum Aliansi Peradaban yang diprakarsai (mantan) Sekjen PBB, Kofi Annan. Tujuan pokok aliansi ini mendorong terciptanya hubungan harmonis antar peradaban. Aliansi juga berupaya menjembatani jurang Islam-Barat. Mereka juga mengupayakan pembangunan politik dalam memobilisasi aksi bersama menghadapi ekstremisme dalam masyarakat.

Kini, tabir yang menyelimuti kematian Munir bertambah gelap. Aib negeri semakin bertambah ketika pengadilan membebaskan Pollycarpus, dan sebelumnya juga membebaskan Muchdi PR. Otoritas hukum sepertinya belum bekerja sepenuh hati dalam menyidik kasus tersebut. Tim penyidik memiliki kelemahan yang amat mendasar karena tidak mampu menembus pemblokiran informasi.

Di negara-negara maju yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, pemblokiran semacam itu mampu ditembus dengan perangkat undang-undang maupun atas rekomendasi legislatif. Salah satu contoh adanya aturan yang membolehkan publik untuk mengakses dokumen lembaga intelijen. Pemerintahan Jokowi-JK yang relatif tidak terkontaminasi dengan masalah HAM (berat) sebenarnya memiliki kapasitas mengusut kembali kasus kematian Munir agar bangsa tidak terus dihantui dan semakin kehilangan martabatnya.

Pengalaman buruk tentang eksistensi Tim Pencari Fakta (TPF) yang gagal mengusut kasus Trisakti, Semanggi, dan lain-lainnya juga terjadi pada TPF kasus Munir. Jika pemerintahan Jokowi-JK tidak segera menghidupkan kembali dinamo pengusutan kasus kematian Munir hingga kasusnya menjadi terang, reputasi pemerintah dan bangsa terus tercoreng.

Alangkah baiknya jika Presiden Jokowi membentuk sekali lagi TPF kematian Munir dengan menambahkan beberapa pribadi yang berkompetensi khusus. Kalau perlu, diambil dari luar negeri. Langkah pembentukan kembali TPF agar kinerjanya lebih profesional, bebas konflik kepentingan, serta lebih memiliki kompetensi bobot investigasi. Maka, teknik investigasi diharapkan semakin mendalam dan ada terobosan.

TPF harus berani masuk ke institusi lainnya, seperti BIN, Kejaksaan, Kepolisian, PT Garuda Indonesia, dan laboratorium forensik. Banyak rantai terputus dalam kasus Munir karena sinergi antarlembaga tidak optimal. Demikan juga dalam mengakses data dan fakta luaran lembaga intelijen.

Para anggota TPF juga terlihat kurang memiliki kompetensi intelligence analysts. Padahal itu penting karena motif pembunuhan Munir sangat sistematis dan modusnya tersembunyi mirip-mirip order atau operasi intelijen. Mestinya kompetensi intelligence analyst yang bertugas mengolah data informasi mampu menghasilkan produk valid sehingga memudahkan aktivitas TPF. Berbagai fakta dan data akan lebih mampu ditelisik serta dirangkai bentuk anatominya.

Berdalih

Banyak pihak yang berpendapat kasus ini bermuara pada lembaga atau oknum aparat intelijen. Ironisnya, penyidik cenderung berdalih, lembaga atau oknum aparat intelijen “clear” dalam kematian Munir. Akibatnya, penyidik menemui kondisi classified source tidak tersedia sehingga pemanfaatan open source sangat diperlukan. Agar lebih efektif, seharusnya proses penyidikan kasus itu menggunakan all-sources serta mengembangkan metode lain yang melibatkan para ahli luar negeri.

Hari HAM Sedunia 2014 juga banyak diwarnai kasus intoleransi negeri ini. Setara Institute, The Wahid Institute, dan CRCS UGM telah mencatatnya. Lembaga-lembaga ini memandang Jawa Barat memegang angka intoleransi tertinggi selama lima tahun terakhir.

Kasus HAM juga disebabkan banyaknya peraturan daerah untuk mengekang dan membatasi aktivitas golongan minoritas. Dengan mata telanjang, pemerintah pusat dan daerah, selama satu dasawarsa terakhir, terlihat kehilangan wibawa. Mereka terkesan tunduk pada tekanan yang menganggap diri mayoritas. Bahkan, DPR telah memproduksi undang-undang yang secara tidak langsung mendiskreditkan budaya beberapa kelompok masyarakat dan mengingkari keragaman sebagai esensi peradaban bernegara.

Selama ini, pemerintah tidak hanya tutup mata terhadap praktik intoleransi dan diskriminasi. Dia juga acap kali terlibat sebagai pelaku itu sendiri. Contohnya, menangkap secara sewenang-wenang warga negara yang dituding menyimpang keyakinan beragama. Padahal, istilah menyimpang atau sesat masih bias, hanya berdasarkan pendapat kelompok penekan. Sementara argumentasi dan aspirasi minoritas diremehkan begitu saja.

Rapuhnya perlindungan terhadap kelompok minoritas bisa dilihat dari banyak kasus perusakan rumah ibadah. Ironisnya, justru pada rezim Orde Baru, model pelarangan beribadah tidak pernah terjadi. Kalau dulu pelarangan merupakan spontanitas dan terbatas, kini menjadi termobilisasi dengan bantuan organisasi kemasyarakatan yang tidak pernah dilarang pemerintah, meski jelas-jelas telah merusak kebersamaan.

Modus pelanggaran kebebasan beragama juga semakin bertambah parah dan menunjukkan kian tidak tolerannya masyarakat. Kasus yang lebih menyedihkan lagi, pemerintah daerah takut menegakkan hukum. Bahkan pada level bawah, sering aparat pemerintahan justru memberi peluang dan memberi angin bagi tindakan anarkistis.

Belum lagi jika kita menimbang hadirnya peraturan daerah yang hanya mengatur sebagian anggota masyarakatnya dalam kategori perda bernuansa dominan golongan tertentu. Realitas politik seperti ini merupakan pencederaan peradaban dan kebersamaan sebagai satu bangsa bermartabat.

Hari HAM sedunia kali ini mestinya menjadi momentum untuk mawas diri kebangsaan. Bangsa ini telah terancam oleh musuh yang sangat berbahaya. Musuh tersebut datangnya bukan dari luar negeri, tetapi justru bercokol di tengah kehidupan masyarakat. Musuh tersebut adalah pihak yang berupaya menghancurkan keberagaman dan pluralisme yang notabene adalah pilar sebuah peradaban. Di masa mendatang, pemerintah harus hadir dan tegas bersikap, tanpa pandang bulu menghadapi pihak-pihak yang bisa menghancurkan peradaban dan mengembangkan sikap intoleran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar