Rabu, 03 Desember 2014

Jalur Sutra Tiongkok versus Pendulum Nusantara

     Jalur Sutra Tiongkok versus Pendulum Nusantara

Nasmay L Anas  ;  Pengamat Kemaritiman dan Koresponden MaritimIndonesia.co
HALUAN,  01 Desember 2014

                                                                                                                       


Rencana Presiden Joko Widodo men­jadikan Indonesia se­bagai kekuatan maritim dunia perlu ditelah lebih dalam.  Sejak berkampanye sebagai calon presiden, keingi­nannya itu terus menerus dide­ngung­kannya. Bahkan dalam KTT APEC di Beijing ia mema­parkan visi dan misinya itu di depan para pemimpin dunia.

Dalam pembicaraannya dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang, intisari visi misinya itu juga diungkapkannya. Dari pembicaraan itu, kabarnya, tercapailah kesepakatan untuk mengintegrasikan jalur maritim Nusantara dengan Jalur Sutra Tiongkok yang sudah dikenal lama.  

Diharapkan, dengan kerja­sama ini akan terbangun jalur perdagangan internasional yang ramai, tak hanya antara Indo­nesia dan Tiongkok, tetapi juga melibatkan banyak negara di sepanjang wilayah Jalur Sutra itu. Yakni jalur perda­gangan dari Tiongkok sejauh 7.000 km, melewati Asia Tengah, Timur Tengah, dan Mediterania, sampai ke Eropa.

Dapat kita maklumi, Presi­den tentu mendapatkan banyak masukan dan bisikan dari para pakar tentang tantangan di depan. Salah satu masalah yang tak boleh diabaikan adalah yang menyangkut pelabuhan di seluruh penjuru Nusantara.
Tak bisa dipungkiri, kondisi pelabuhan kita menyedihkan, karena kurang berkualitas, sehingga lebih dari 75% barang yang diekspor dari Indonesia harus melalui Singapura. Negara kecil yang berpenduduk sama seperti seperempat Jakarta itu mendikte arus perdagangan kita!

Dapat dipahami, disamping berkomitmen untuk meng­gabungkan jalur maritim Nusan­tara dengan Jalur Sutra Tiong­kok, Jokowi juga ber­komit­men membangun dan mening­katkan sedikitnya 27 pelabuhan di Nusantara. Yang menarik, dari 27 pelabuhan itu, konsesi pembangunan 22 pelabuhan senilai puluhan triliun rupiah kabarnya diberi­kan kepada investor-investor Tiongkok.

Desember ini Jokowi akan berkunjung ke Busan, kota kedua terbesar di Korea Selatan. Mungkin dengan tujuan untuk menawarkan pembangunan lima pelabuhan lagi, sehingga rencana pem­bangunan 27 pelabuhan itu dapat dilakukan dengan modal dan teknologi asing.

Tidaklah mengherankan bila nanti Korea Selatan memper­tanyakan konsesi 22 proyek ­pelabuhan yang dise­rahkan kepada Tiongkok itu. Sekarang saja, menurut be­berapa sumber kredibel di Korea Selatan, pelaku industri di negeri gingseng itu sudah mengangkat alis mata­nya. Apakah konsesi sebanyak itu didasari pada pertimbangan-pertimbangan yang cukup obyektif?  Tentunya kita berpikir positif saja, bahwa keputusan Jokowi memberikan konsesi proyek kepada Tiongkok dida­sari pertimbangan matang, termasuk keunggulan Tiongkok dalam teknologi dan layanan kepela­buhanan.

Rencana ini disam­but baik. Tapi ketika Poros Maritim Dunia dimaksud akan disiner­gikan dengan Jalur Sutra Tiongkok, yang menghu­bungkan jalur darat dari Xian menuju ke barat kota Lanzhou dan Urumqi, terus ke Asia Tengah, Timur Tengah, dan Eropa, maka persoalannya menjadi lebih kompleks. Sebab hal ini bukan sekadar mem­bangun infrastruktur dan layanan yang terintegrasi lintas Negara, melainkan mema­sukkan Indone­sia ke dalam ring pertandingan dimana daya saing kita belum cukup kuat.

Kita perlu bertanya, apakah langkah ini akan memberi manfaat ekonomi yang lebih besa­r kepada Indonesia diban­ding manfaat yang akan dipanen oleh Tiongkok. Di titik inilah Indonesia mesti berbenah sambil membangun agar tidak sekadar dimanfaatkan oleh pemain regional lainnya.

Jika dilihat lebih teliti, Jalur Sutra Tiongkok itu juga meng­hubungkan Guangdong dan Hainan, terus ke Selat Malaka dan Samudera Hindia. Kemu­dian, melalui Afrika terus ke Laut Merah dan Medi­terania.

Diharapkan, integrasi kepu­lauan Nusantara sebagai Poros Maritim Dunia dengan Jalur Sutra tersebut akan semakin membuka jalur perdagangan internasional dari dan ke berbagai wilayah di negeri kita.

Semua itu patut diapresiasi. Tetapi sebelum mensinergikan Poros Maritim kita dengan Jalur Sutra Tiongkok, mestinya kita renungkan kembali apa sesungguhnya  yang kita butuhkan dalam merealisasikan rencana itu. Kita memang butuh hubungan internasional yang luas dan volume perda­gangan yang terus meningkat; tapi semua itu harus untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional Indonesia bukan untuk membu­ka gerbang-gerbang baru bagi memba­njirnya produk-produk asing saat daya saing produk kita semakin rontok.

Untuk saat ini mungkin kita lebih membutuhkan konektivitas yang baik dan memadai antar-pelabuhan di seluruh Nusantara, sehingga biaya logistik bisa ditekan. Dengan demikian, kesenjangan antara Indonesia bagian timur dan barat bisa dikurangi. Tidak bisa terus menerus kita membiarkan harga semen yang di Jawa sekitar Rp 50 ribu per sak menjadi Rp 1 juta atau lebih di Papua.

Untuk apa kita mem­bangun hubungan internasional yang luas, dengan memanfaatkan Jalur Sutra Tiongkok segala, jika hal itu tidak memperbaiki kondisi di dalam negeri kita? Bukankah yang lebih kita butuhkan adalah  meningkat­kan kesejahteraan serta me­ng­u­­rang­i kesenjangan antarwilayah?
Bukankah mengurangi biaya logistik seperti yang selama ini diperjuangkan oleh Dirut PT Pelindo II (Indonesia Port Corporation) R.J. Lino adalah cara terbaik untuk memangkas ekonomi biaya tinggi yang menghambat peningkatan daya saing bangsa?

Indonesia membutuhkan road map (peta jalan) pem­bangunan kemaritiman yang jelas dan komprehensif. Tidak bisa masing-masing kemen­terian berjalan sendiri-sendiri dan menggulirkan proyeknya sendiri-sendiri tanpa arah dan tanpa koordinasi yang berbasis pada peta jalan dimaksud. Peta jalan itu perlu didasari pada pertim­bangan tren kompetisi perda­gangan dan industri di masa depan, bukan pada kondisi masa kini saja.

Poros maritim yang di­inginkan Jokowi tak bisa dikerjakan hanya oleh satu atau dua kementerian ekonomi. Kementerian Perhubungan terlalu sempit untuk merea­lisasikannya, begitu pun Kemen­terian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perda­gangan, Perindustrian, dan sebagainya.

Perlu dibentuk semacam badan koordinasi antar ke­menterian sejenis UKP4 yang ketuanya dapat langsung melapor ke presiden tentang jalannya program pem­ba­ngunan poros maritim dimak­sud. Badan ini mesti meru­pakan institusi Negara yang tetap berfungsi, sekalipun terjadi pergantian kepe­mim­pinan nasional.

Jika tidak demikian, maka program-programnya akan dihentikan ketika ada presiden baru memerintah. Nasib yang menimpa program MP3EI harus menjadi pelajaran, sebab jarak pandang para pemimpin politik hanya sejauh lima tahun ke depan. Padahal untuk mereali­sasikan poros maritim dunia, lima tahun saja tidaklah cukup.

Jalan tengah yang praktis adalah menggabungkan ide Presiden Jokowi dengan konsep yang sudah selama setahun terakhir ini digulirkan oleh Dirut PT Pelindo II, Pendulum Nusan­tara. Intinya, meng­gerakkan pendulum pemba­ngunan dari Indonesia bagian barat ke tengah dan timur. Untuk menggerak­kannya, maka langkah yang perlu ditempuh adalah memfa­silitasi arus perdagangan barang ke bagian tengah dan timur agar lebih marak sehingga akan terjadi multiplier effects terhadap perekonomian di dua kawasan tersebut demi mengurangi kesenjangan dan meng­gairah­kan perekonomian secara lebih merata. Dampak turu­nannya adalah terjadinya pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Untuk itulah maka prioritas pembangunan perlu diletakkan pada peningkatan kualitas pelabuhan dari Papua terus ke Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan kemudian Jawa dan Sumatera.

Secara geografis, perlu diba­ngun pelabuhan bertaraf inter­nasional di Sorong, Ku­pang, Mataram, Ambon, Tara­kan, Balikpapan,  Waka­tobi, dan Makassar untuk menjadi ger­bang utama arus per­dagangan inter­nasional yang meladeni kapal-kapal besar dari Australia, Selandia Baru, Papua New Guinea, Filipina, Guam, Korea, Jepang, Taiwan, dan lainnya.

Andai saja pelabuhan-pelabuhan dimaksud sudah ditingkatkan kualitasnya sebagai bandar internasional, maka tak perlu arus per­dagangan barang “didikte” oleh Singapura, sehingga manfaat terbesarnya bisa menjadi milik bangsa Indonesia. Tidak seperti ironi yang kini terjadi yaitu walaupun 45% arus barang dunia melalui perairan Indo­nesia, manfaat terbesarnya justru masuk ke kantong negara-negara lain.

Visi IPC tentang upaya pemerataan pembangunan melalui konsep Pendulum Nusantara ini telah pula dipaparkan Lino di komunitas Institut Teknologi Bandung dan perguruan tinggi lainnya, dan mendapat respons positif. Diharapkan, presiden dan tim ekonominya akan memperkaya konsep poros maritim itu dengan konsep Pendulum Nusantara dimak­sud agar rencana besar untuk mem­bangun Indonesia sebagai poros maritim dunia dapat menjadi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar