Tugas
Berat Tiga Pendekar Migas
Effnu Subiyanto ; Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
|
KORAN
JAKARTA, 01 Desember 2014
Hanya dalam beberapa waktu,
ditetapkan tiga pendekar migas nasional. Dimulai penunjukan Faisal Basri
sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi pada 14 November
2014. Sepekan kemudian, pada 19 November 2014, pemerintah menunjuk Amin Sunaryadi
sebagai Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi (SKK Migas). Terakhir, Dwi Soetjipto ditunjuk menjadi Dirut
Pertamina sejak 28 November 2014.
Negara ini begitu berharap tiga
pendekar migas tersebut bekerja sama dengan Kementerian ESDM guna
memberdayakan migas nasional secara optimal. Kinerja three musketers ini amat
ditunggu terutama berkaitan dengan pemberantasan mafia migas, menaikkan
lifting, dan mengurai kompleksitas persoalan migas dari hulu hingga hilir.
Untuk Amin, pekerjaan di depan
mata menaikkan lifting karena hanya terealisasi 792 ribu bph dari target 818
ribu bph. Sebagai konsekuensinya Dirjen Migas ESDM, Edy Hermantoro, dicopot
(4/11/14) oleh Menteri ESDM digantikan Naryanto Wagimin. Edy dianggap tidak
berkontribusi maksimal mengantipasi perundingan perjanjian migas yang masih
terhambat seperti Blok Mahakam yang akan habis 2017.
Kemudian Blok Gebang Sumut milik
JOB Pertamina-Costa akan berakhir 29 November 2015. Lalu, Blok ONWJ oleh
Pertamina Hulu yang akan habis 19 Januari 2017 dan blok Attaka milik Inpex
Corp Jepang (2017). Masih banyak lagi proyek migas yang terhambat seperti IDD
Chevron, East Natuna, Masela, dan Train III Tangguh, Papua Barat.
Buruknya lifting tahun ini
disebabkan produksi asal Blok Cepu tidak sesuai target, 165 ribu bph, namun
sampai sekarang hanya mampu dieksplorasi 56 ribu bph. Penurunan lifting tidak
dapat disangkal lagi karena keterbelakangan kemampuan SDM Indonesia pada
bidang teknologi migas. Strateginya masih coba-coba dan trial-error.
Padahal, dana yang dipakai tidak
bisa dikatakan murah. Beberapa waktu lalu, Kementerian ESDM merilis rencana reengineering dengan teknologi baru enhanced oil recovery (EOR)
menggunakan surfaktan pada tahun 2019 jenis MES dan peptida.
Sebetulnya proyek-proyek
optimasi seperti EOR ini masih berlangsung, namun peninggalan teknologi tahun
1969. Chevron sudah melakukan EOR tanpa surfaktan di Lapangan Duri dan kini
dilakukan di Lapangan Minas. Medco melaksanakan EOR di Lapangan Kaji,
Pertamina, di Lapangan Tanjung, sementara Total E&P dengan teknik lean
gas injection di Lapangan Handil.
Menurut data SKK Migas (Oktober
2014), penambang yang menghasilkan minyak mentah dan kondensat dalam jumlah
besar tetap dipegang Chevron Pacific Indonesia dengan produksi 280 ribu barel
per hari (bph). Berikutnya Pertamina (121 ribu bph), dan terendah Vico
Indonesia (10,69 ribu bph).
Ada 300 KKKS yang sudah
eksplorasi dan produksi dengan 1.500-an kontraktor, namun menemukan sumur
minyak baru tetap sebagai persoalan. Mengandalkan produksi dari sumur-sumur
tua tentu tidak relevan karena sekarang sudah memasuki masa declining.
Berat
Persoalan Dwi Soetjipto lebih
riil karena berhadapan dengan pasar secara langsung. Dwi akan terpapar karena
masalah kenaikan harga BBM dan menjadi fokus pergunjingan masyarakat karena
soal harga BBM sekarang.
Dia juga memunyai masalah dengan
persoalan kilang Pertamina yang terbatas kapasitasnya. Pekerjaan rumah
Pertamina terbaru beauty-contest
upgrading kilangnya yang sudah mengundang empat vendor: Saudi Aramco, PTT
Thailand, JX Nippon Oil Jepang, dan SK Energy Korea Selatan. Feasibility study atau kajian awal
sudah dilakukan Honeywell dan UOP LLC (AS) untuk proyek Refinery Development
Master Plan (RDPM) modernisasi 5 kilang.
Seharusnya keputusan tahapan
lelang tersebut diumumkan 10 Desember 2014 dengan start konstruksi 2016
selesai 2025. Dana yang dianggarkan terbilang besar, sampai 17 miliar dollar
AS. Perinciannya, 2 miliar dollar dari Pertamina dan sisanya belum
ditentukan. Diharapkan kenaikan kapasitas kilang bertambah 800 ribu bph
menjadi 1,8 juta bph.
Kebutuhan upgrading ini mendesak karena terbatasnya kapasitas kilang BBM
Pertamina. Kilang Cilacap, Jateng, yang hanya berkapasitas 348 ribu bph.
Sedang Balongan, Jabar (125 ribu bph), Balikpapan, Kaltim (260 ribu bph),
Dumai, Riau (170 ribu bph), dan Plaju, Sumsel (133,7 ribu bph).
Di luar proyek upgrading, Pertamina juga perlu segera
membangun kilang BBM baru kapasitas 4,18 juta kiloliter sebelum 2018. Tahun
ini diharapkan kilang untuk 290 ribu kiloliter mulai groundbreaking. Tahun
2015 ditargetkan kilang untuk 705 ribu kiloliter selesai. Berikutnya 580 ribu
kiloliter (2016), 900 ribu kiloliter (2017), dan terakhir tahun 2018 selesai
kilang untuk 1,7 juta kiloliter. Rencana Pertamina begitu besar dengan
melibatkan dana ratusan triliun. Ini tugas mahaberat yang harus dipikul Dwi
Soetjipto.
Untuk Faisal Basri ada beberapa
pekerjaan berat juga, di antaranya me-review
seluruh proses perizinan migas dari hulu ke hilir, menata ulang kelembagaan
terkait pengelolaan minyak-gas, mempercepat revisi Undang-Undang Migas, dan
merevisi proses bisnis untuk mencegah pemburu rente.
Gonjang-ganjing migas terbaru
yang urgen diselesaikan Faisal soal kenaikan harga BBM yang ujung-ujungnya
karena inefisiensi tata kelola migas nasional. Dalam traktat migas dengan
Sonangol, Angola, baru diketahui bahwa per hari rakyat Indonesia harus
memberi keuntungan para makelar migas sebesar 2,5 juta dollar AS atau 11
triliun rupiah per tahun karena impor minyak mentah 100 ribu barel per hari
(bph).
Jika total minyak mentah yang
diimpor sekitar 700 ribu bph, maka keuntungan broker 77 triliun rupiah per
tahun. Untungnya menjadi berlipat karena broker juga mendapat laba tidak elok
karena pelemahan nilai tukar rupiah dari akumulasi transaksi perdagangan.
Hal ini terungkap ketika
Presiden Joko Widodo hendak membuka kerja sama migas dengan Sonangol EP asal
Angola. Dalam traktat tersebut, Sonangol EP sanggup memasok 100 ribu barel
minyak mentah per hari untuk kilang Pertamina dan juga sanggup memasok gas
sebesar 338-400 ribu mmbtu per bulan. Nilai penghematan APBN karena kerja
sama 2,5 juta dollar AS per tahun.
Faisal tentu saja memainkan
peran penting di antara operasional bisnis SKK Migas dan Pertamina yang rumit
itu. Hasil yang diharapkan tentu saja harga migas dalam bentuk BBM murah.
Negara tidak cemas karena kelangkaan migas dan proses bisnis yang transparan
dan akuntabel di SKK Migas serta Pertamina. Kerja nyata three musketer ini begitu
dinanti-nanti rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar