Rabu, 03 Desember 2014

Tugas Berat Tiga Pendekar Migas

                             Tugas Berat Tiga Pendekar Migas

Effnu Subiyanto  ;  Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
KORAN JAKARTA,  01 Desember 2014

                                                                                                                       


Hanya dalam beberapa waktu, ditetapkan tiga pendekar migas nasional. Dimulai penunjukan Faisal Basri sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi pada 14 November 2014. Sepekan kemudian, pada 19 November 2014, pemerintah menunjuk Amin Sunaryadi sebagai Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Terakhir, Dwi Soetjipto ditunjuk menjadi Dirut Pertamina sejak 28 November 2014.

Negara ini begitu berharap tiga pendekar migas tersebut bekerja sama dengan Kementerian ESDM guna memberdayakan migas nasional secara optimal. Kinerja three musketers ini amat ditunggu terutama berkaitan dengan pemberantasan mafia migas, menaikkan lifting, dan mengurai kompleksitas persoalan migas dari hulu hingga hilir.

Untuk Amin, pekerjaan di depan mata menaikkan lifting karena hanya terealisasi 792 ribu bph dari target 818 ribu bph. Sebagai konsekuensinya Dirjen Migas ESDM, Edy Hermantoro, dicopot (4/11/14) oleh Menteri ESDM digantikan Naryanto Wagimin. Edy dianggap tidak berkontribusi maksimal mengantipasi perundingan perjanjian migas yang masih terhambat seperti Blok Mahakam yang akan habis 2017.

Kemudian Blok Gebang Sumut milik JOB Pertamina-Costa akan berakhir 29 November 2015. Lalu, Blok ONWJ oleh Pertamina Hulu yang akan habis 19 Januari 2017 dan blok Attaka milik Inpex Corp Jepang (2017). Masih banyak lagi proyek migas yang terhambat seperti IDD Chevron, East Natuna, Masela, dan Train III Tangguh, Papua Barat.

Buruknya lifting tahun ini disebabkan produksi asal Blok Cepu tidak sesuai target, 165 ribu bph, namun sampai sekarang hanya mampu dieksplorasi 56 ribu bph. Penurunan lifting tidak dapat disangkal lagi karena keterbelakangan kemampuan SDM Indonesia pada bidang teknologi migas. Strateginya masih coba-coba dan trial-error.

Padahal, dana yang dipakai tidak bisa dikatakan murah. Beberapa waktu lalu, Kementerian ESDM merilis rencana reengineering dengan teknologi baru enhanced oil recovery (EOR) menggunakan surfaktan pada tahun 2019 jenis MES dan peptida.

Sebetulnya proyek-proyek optimasi seperti EOR ini masih berlangsung, namun peninggalan teknologi tahun 1969. Chevron sudah melakukan EOR tanpa surfaktan di Lapangan Duri dan kini dilakukan di Lapangan Minas. Medco melaksanakan EOR di Lapangan Kaji, Pertamina, di Lapangan Tanjung, sementara Total E&P dengan teknik lean gas injection di Lapangan Handil.

Menurut data SKK Migas (Oktober 2014), penambang yang menghasilkan minyak mentah dan kondensat dalam jumlah besar tetap dipegang Chevron Pacific Indonesia dengan produksi 280 ribu barel per hari (bph). Berikutnya Pertamina (121 ribu bph), dan terendah Vico Indonesia (10,69 ribu bph).

Ada 300 KKKS yang sudah eksplorasi dan produksi dengan 1.500-an kontraktor, namun menemukan sumur minyak baru tetap sebagai persoalan. Mengandalkan produksi dari sumur-sumur tua tentu tidak relevan karena sekarang sudah memasuki masa declining.

Berat

Persoalan Dwi Soetjipto lebih riil karena berhadapan dengan pasar secara langsung. Dwi akan terpapar karena masalah kenaikan harga BBM dan menjadi fokus pergunjingan masyarakat karena soal harga BBM sekarang.

Dia juga memunyai masalah dengan persoalan kilang Pertamina yang terbatas kapasitasnya. Pekerjaan rumah Pertamina terbaru beauty-contest upgrading kilangnya yang sudah mengundang empat vendor: Saudi Aramco, PTT Thailand, JX Nippon Oil Jepang, dan SK Energy Korea Selatan. Feasibility study atau kajian awal sudah dilakukan Honeywell dan UOP LLC (AS) untuk proyek Refinery Development Master Plan (RDPM) modernisasi 5 kilang.

Seharusnya keputusan tahapan lelang tersebut diumumkan 10 Desember 2014 dengan start konstruksi 2016 selesai 2025. Dana yang dianggarkan terbilang besar, sampai 17 miliar dollar AS. Perinciannya, 2 miliar dollar dari Pertamina dan sisanya belum ditentukan. Diharapkan kenaikan kapasitas kilang bertambah 800 ribu bph menjadi 1,8 juta bph.

Kebutuhan upgrading ini mendesak karena terbatasnya kapasitas kilang BBM Pertamina. Kilang Cilacap, Jateng, yang hanya berkapasitas 348 ribu bph. Sedang Balongan, Jabar (125 ribu bph), Balikpapan, Kaltim (260 ribu bph), Dumai, Riau (170 ribu bph), dan Plaju, Sumsel (133,7 ribu bph).

Di luar proyek upgrading, Pertamina juga perlu segera membangun kilang BBM baru kapasitas 4,18 juta kiloliter sebelum 2018. Tahun ini diharapkan kilang untuk 290 ribu kiloliter mulai groundbreaking. Tahun 2015 ditargetkan kilang untuk 705 ribu kiloliter selesai. Berikutnya 580 ribu kiloliter (2016), 900 ribu kiloliter (2017), dan terakhir tahun 2018 selesai kilang untuk 1,7 juta kiloliter. Rencana Pertamina begitu besar dengan melibatkan dana ratusan triliun. Ini tugas mahaberat yang harus dipikul Dwi Soetjipto.

Untuk Faisal Basri ada beberapa pekerjaan berat juga, di antaranya me-review seluruh proses perizinan migas dari hulu ke hilir, menata ulang kelembagaan terkait pengelolaan minyak-gas, mempercepat revisi Undang-Undang Migas, dan merevisi proses bisnis untuk mencegah pemburu rente.

Gonjang-ganjing migas terbaru yang urgen diselesaikan Faisal soal kenaikan harga BBM yang ujung-ujungnya karena inefisiensi tata kelola migas nasional. Dalam traktat migas dengan Sonangol, Angola, baru diketahui bahwa per hari rakyat Indonesia harus memberi keuntungan para makelar migas sebesar 2,5 juta dollar AS atau 11 triliun rupiah per tahun karena impor minyak mentah 100 ribu barel per hari (bph).

Jika total minyak mentah yang diimpor sekitar 700 ribu bph, maka keuntungan broker 77 triliun rupiah per tahun. Untungnya menjadi berlipat karena broker juga mendapat laba tidak elok karena pelemahan nilai tukar rupiah dari akumulasi transaksi perdagangan.

Hal ini terungkap ketika Presiden Joko Widodo hendak membuka kerja sama migas dengan Sonangol EP asal Angola. Dalam traktat tersebut, Sonangol EP sanggup memasok 100 ribu barel minyak mentah per hari untuk kilang Pertamina dan juga sanggup memasok gas sebesar 338-400 ribu mmbtu per bulan. Nilai penghematan APBN karena kerja sama 2,5 juta dollar AS per tahun.

Faisal tentu saja memainkan peran penting di antara operasional bisnis SKK Migas dan Pertamina yang rumit itu. Hasil yang diharapkan tentu saja harga migas dalam bentuk BBM murah. Negara tidak cemas karena kelangkaan migas dan proses bisnis yang transparan dan akuntabel di SKK Migas serta Pertamina. Kerja nyata three musketer ini begitu dinanti-nanti rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar