Hal-Hal
Kecil yang Membikin Frustrasi
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra yang
dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia
|
JAWA
POS, 14 Desember 2014
DIA
sedang berada di luar kota, di sebuah tempat parkir mobil, ketika mengatakan
kepada suaminya bahwa dia tak bisa lagi melanjutkan rumah tangga mereka.
Suaminya tidak bersamanya di tempat parkir itu. Mereka bercakap-cakap melalui
telepon; dia yang menelepon suaminya, mula-mula sekadar mengingatkan urusan
sekolah anak mereka, kemudian pembicaraan menggelinding ke arah yang ruwet
dan menikung-nikung –hal yang tidak akan terjadi jika rumah tangga mereka
berjalan baik-baik saja– dan dia minta cerai.
Setelah
percakapan yang telanjur itu, dia tercenung di jok mobilnya. Sejumlah adegan
antara dia dan suaminya melintas-lintas di dalam benak. Selanjutnya, pada
malam hari di kamar hotelnya, perempuan itu, si penutur cerita, terus diserbu
oleh remah-remah pengalaman pahit di dalam rumah tangganya: ”Terus terang...
introspeksi diri ini membutuhkan waktu lama karena dua puluh empat tahun
berumah tangga adalah waktu lama, dan ada banyak pernak-pernik yang menyusup
ke dalam benak tanpa diminta. Namun, ringkasannya bisa seperti ini: Dua orang
bertemu, saling mencintai, punya anak-anak, mulai bertengkar, menjadi gendut
dan menggerutu (dia) dan jemu, putus asa dan menggerutu (aku) dan mereka
berpisah.”
Novel How to be Good, yang saya petik untuk
membuka tulisan ini menunjukkan betapa komunikasi adalah hal yang ruwet.
Penulis Nick Hornby melukiskan secara licin keruwetan tersebut dan bagaimana
percakapan menjadi kian memburuk antara dua orang suami istri. Mereka
menumpuk masalah-masalah kecil selama dua puluh empat tahun berumah tangga
dan, hasilnya, segala percakapan bisa melenceng salah arah. Setiap komunikasi
di antara mereka pada akhirnya menjadi upaya otomatis untuk saling menyakiti.
Mungkin
pada umumnya memang begitu. Kita sering mengabaikan persoalan-persoalan kecil
karena menganggap itu sekadar bumbu penyedap dalam setiap bentuk hubungan.
Ada persoalan kecil, orang ribut sebentar, dan kemudian selesai begitu saja
–tanpa penyelesaian. Nanti akan ada masalah kecil lagi, ribut lagi, dan
selesai lagi begitu saja. Sekali lagi, tanpa penyelesaian. Ketika situasi
membaik, orang-orang yang terlibat dalam masalah remeh-temeh itu merasa tidak
perlu membicarakan apa-apa lagi dan lebih baik membiarkannya saja, toh hanya
masalah kecil.
Itu
sebuah cara pandang yang menjadikan kita terbiasa dengan masalah-masalah
”kecil” yang tak pernah diselesaikan. Di dalam rumah kita seperti itu. Di
dalam kehidupan bermasyarakat kita seperti itu. Di dalam kehidupan bernegara
kita seperti itu.
Dan
kebiasaan adalah sesuatu yang sulit bagi kita untuk mengubahnya. Apalagi
kebiasaan di tingkat institusional. Belum tiga bulan pemerintahan baru
bekerja, misalnya, kita sudah dipameri tindakan-tindakan meresahkan yang
dilakukan oleh aparat kepolisian. Mereka melakukan pemukulan terhadap ibu-ibu
di Rembang yang memprotes pembangunan pabrik semen, mengejar para mahasiswa
demonstran sampai masuk ke musala di Pekanbaru, juga menggerebek markas PMKRI
di Kupang. Semua peristiwa itu memancing omongan ribut sedikit, tetapi tidak
pernah diselesaikan.
Institusi
lain yang memiliki kemampuan besar untuk membuat kita putus asa adalah DPR.
Gedung di Senayan itu adalah pabrik masalah-masalah ”kecil” –mungkin juga
masalah besar–yang tidak pernah ada penyelesaiannya. Salah satu yang cukup
mutakhir dari mereka adalah masalah remeh tentang di mana foto presiden harus
ditempatkan. Menurut Wakil Ketua Fraksi Demokrat Benny K. Harman, tidak ada
peraturan harus memajang foto presiden dan wakil presiden di gedung DPR.
”Kalau mau,” katanya, ”gantung saja di pohon-pohon situ.”
Ucapan
seperti itu pasti memancing komentar sengit sebentar, lalu akan selesai
begitu saja. Saya tahu Benny K. Harman memiliki semua alasan untuk
menyampaikan pernyataan seperti itu. Namun, kalimat yang dia gunakan,
bagaimanapun, terasa mencerminkan sikap permusuhan seorang anggota DPR
terhadap lembaga kepresidenan. Atau bagaimana jika ucapan sengitnya
ditanggapi secara serius? Mungkin bagus juga memajang foto presiden dan wakil
presiden di tiap-tiap batang pohon yang ada di kompleks DPR. Kalau perlu,
Benny bisa mengusulkan dibentuknya undang-undang untuk memajang foto presiden
dan wakil presiden di tiap batang pohon di tepi jalan-jalan raya seluruh
Indonesia.
Saya
yakin pemikirannya tidak akan sejauh itu. Usulan tentang ”batang pohon” itu
disampaikan, tampaknya, karena dia tidak memiliki bahasa yang cukup baik
untuk mengungkapkan isi pikiran. Di antara politisi kita, Anda tahu, memang
jarang yang memiliki kecakapan berbahasa. Itu sangat disayangkan. Sebab,
kecakapan berbahasa biasanya berurusan dengan kekayaan kosakata di dalam
kepala mereka. Juga, kekayaan kosakata berurusan dengan seberapa banyak
mereka membaca buku. Setidaknya itulah yang disampaikan Vladimir Nabokov:
”Pembaca yang baik biasanya memiliki kekayaan kosakata.”
Dengan
kosakata yang kaya, orang akan memiliki kemampuan untuk menyampaikan dalam
cara terbaik setiap gagasannya. Kanak-kanak pada umumnya kalah berdebat
dengan orang dewasa karena persediaan kosakata mereka masih sangat sedikit
dan mereka kekurangan kosakata untuk menyampaikan apa yang mereka ingin
sampaikan. Namun, DPR sedikit berbeda. Orang-orang Senayan, meski kosakata
mereka sedikit, akan tetap menang berdebat melawan siapa pun semata-mata
karena otot leher mereka besar-besar. Saya tidak akan memilih mendekam di
dalam kamar dan membaca buku saja sekiranya diajak berdebat oleh Benny K.
Harman atau siapa pun penghuni Senayan.
Sebenarnya
ada juga suara yang lebih lunak tentang pemasangan foto presiden. Hal itu
datang dari Wakil Ketua DPR Agus Hermanto. ”Peraturan yang sekarang sudah
beda. Kalau dulu, memang wajib,” kata Agus.
Mari
berpikir positif dan percaya bahwa perubahan peraturan ini tentu dilakukan
demi memperbaiki kinerja DPR. Mungkin mereka sudah melakukan penelitian bahwa
jika ada foto presiden di ruangan DPR, performa setiap anggota DPR akan
langsung merosot. Mungkin mereka akan mudah terkena stroke atau gagal ginjal
atau terserang rabun ayam jika melihat foto presiden dan wakil presiden
tergantung di dinding ruangan. Mungkin juga mereka menjadi mudah mengamuk.
Kita bisa menduga berbagai kemungkinan. Tetapi, itu menguras pikiran dan
belum tentu dugaan-dugaan kita benar. Yang tidak memeras pikiran adalah kita
meminta penjelasan kepada orang-orang di gedung DPR kenapa ada perubahan
peraturan seperti itu.
Saya
akan setuju apa pun penjelasan mereka. Saya akan setuju sekiranya mereka
mengatakan bahwa jika di gedung DPR ada foto presiden, separo anggota DPR
akan gila mendadak. ”Jadi, tidak ada yang politis dalam urusan foto ini.
Peraturan baru untuk tidak memajang foto dibikin semata-mata demi alasan
kesehatan.” Saya akan menaruh hormat, menundukkan kepala serendah mungkin
kepada mereka, bahkan kalaupun alasannya semacam itu.
Celakanya,
kita tidak pernah mendengar alasan apa pun tentang perubahan peraturan itu
dan tidak akan ada lagi yang mempertanyakannya. Sebab, itu hanya satu masalah
kecil di antara segunung masalah ”kecil” lain di negeri ini. Dan gunung itu
akan kian meninggi; setiap institusi di negeri ini memiliki potensi besar
untuk memproduksi masalah-masalah ”kecil” setiap hari, sesuatu yang
dibicarakan ramai sebentar, tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana
masalah-masalah itu diselesaikan.
Setiap hari seperti itu, kita bergerak dari isu ke isu, sibuk
berputar-putar seperti anak anjing yang memburu ekor sendiri. Lalu, cepat
atau lambat, ada satu bagian dari kita yang tak kuat lagi. Dan, seperti
ranting patah dari sebatang pohon, ia akan memperdengarkan suara berderak:
”Saya minta cerai saja!” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar