Kamis, 18 Desember 2014

Hal-Hal Kecil yang Membikin Frustrasi

                    Hal-Hal Kecil yang Membikin Frustrasi

AS Laksana  ;   Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia
JAWA POS,  14 Desember 2014

                                                                                                                       


DIA sedang berada di luar kota, di sebuah tempat parkir mobil, ketika mengatakan kepada suaminya bahwa dia tak bisa lagi melanjutkan rumah tangga mereka. Suaminya tidak bersamanya di tempat parkir itu. Mereka bercakap-cakap melalui telepon; dia yang menelepon suaminya, mula-mula sekadar mengingatkan urusan sekolah anak mereka, kemudian pembicaraan menggelinding ke arah yang ruwet dan menikung-nikung –hal yang tidak akan terjadi jika rumah tangga mereka berjalan baik-baik saja– dan dia minta cerai.

Setelah percakapan yang telanjur itu, dia tercenung di jok mobilnya. Sejumlah adegan antara dia dan suaminya melintas-lintas di dalam benak. Selanjutnya, pada malam hari di kamar hotelnya, perempuan itu, si penutur cerita, terus diserbu oleh remah-remah pengalaman pahit di dalam rumah tangganya: ”Terus terang... introspeksi diri ini membutuhkan waktu lama karena dua puluh empat tahun berumah tangga adalah waktu lama, dan ada banyak pernak-pernik yang menyusup ke dalam benak tanpa diminta. Namun, ringkasannya bisa seperti ini: Dua orang bertemu, saling mencintai, punya anak-anak, mulai bertengkar, menjadi gendut dan menggerutu (dia) dan jemu, putus asa dan menggerutu (aku) dan mereka berpisah.”

Novel How to be Good, yang saya petik untuk membuka tulisan ini menunjukkan betapa komunikasi adalah hal yang ruwet. Penulis Nick Hornby melukiskan secara licin keruwetan tersebut dan bagaimana percakapan menjadi kian memburuk antara dua orang suami istri. Mereka menumpuk masalah-masalah kecil selama dua puluh empat tahun berumah tangga dan, hasilnya, segala percakapan bisa melenceng salah arah. Setiap komunikasi di antara mereka pada akhirnya menjadi upaya otomatis untuk saling menyakiti.

Mungkin pada umumnya memang begitu. Kita sering mengabaikan persoalan-persoalan kecil karena menganggap itu sekadar bumbu penyedap dalam setiap bentuk hubungan. Ada persoalan kecil, orang ribut sebentar, dan kemudian selesai begitu saja –tanpa penyelesaian. Nanti akan ada masalah kecil lagi, ribut lagi, dan selesai lagi begitu saja. Sekali lagi, tanpa penyelesaian. Ketika situasi membaik, orang-orang yang terlibat dalam masalah remeh-temeh itu merasa tidak perlu membicarakan apa-apa lagi dan lebih baik membiarkannya saja, toh hanya masalah kecil.

Itu sebuah cara pandang yang menjadikan kita terbiasa dengan masalah-masalah ”kecil” yang tak pernah diselesaikan. Di dalam rumah kita seperti itu. Di dalam kehidupan bermasyarakat kita seperti itu. Di dalam kehidupan bernegara kita seperti itu.

Dan kebiasaan adalah sesuatu yang sulit bagi kita untuk mengubahnya. Apalagi kebiasaan di tingkat institusional. Belum tiga bulan pemerintahan baru bekerja, misalnya, kita sudah dipameri tindakan-tindakan meresahkan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Mereka melakukan pemukulan terhadap ibu-ibu di Rembang yang memprotes pembangunan pabrik semen, mengejar para mahasiswa demonstran sampai masuk ke musala di Pekanbaru, juga menggerebek markas PMKRI di Kupang. Semua peristiwa itu memancing omongan ribut sedikit, tetapi tidak pernah diselesaikan.

Institusi lain yang memiliki kemampuan besar untuk membuat kita putus asa adalah DPR. Gedung di Senayan itu adalah pabrik masalah-masalah ”kecil” –mungkin juga masalah besar–yang tidak pernah ada penyelesaiannya. Salah satu yang cukup mutakhir dari mereka adalah masalah remeh tentang di mana foto presiden harus ditempatkan. Menurut Wakil Ketua Fraksi Demokrat Benny K. Harman, tidak ada peraturan harus memajang foto presiden dan wakil presiden di gedung DPR. ”Kalau mau,” katanya, ”gantung saja di pohon-pohon situ.”

Ucapan seperti itu pasti memancing komentar sengit sebentar, lalu akan selesai begitu saja. Saya tahu Benny K. Harman memiliki semua alasan untuk menyampaikan pernyataan seperti itu. Namun, kalimat yang dia gunakan, bagaimanapun, terasa mencerminkan sikap permusuhan seorang anggota DPR terhadap lembaga kepresidenan. Atau bagaimana jika ucapan sengitnya ditanggapi secara serius? Mungkin bagus juga memajang foto presiden dan wakil presiden di tiap-tiap batang pohon yang ada di kompleks DPR. Kalau perlu, Benny bisa mengusulkan dibentuknya undang-undang untuk memajang foto presiden dan wakil presiden di tiap batang pohon di tepi jalan-jalan raya seluruh Indonesia.

Saya yakin pemikirannya tidak akan sejauh itu. Usulan tentang ”batang pohon” itu disampaikan, tampaknya, karena dia tidak memiliki bahasa yang cukup baik untuk mengungkapkan isi pikiran. Di antara politisi kita, Anda tahu, memang jarang yang memiliki kecakapan berbahasa. Itu sangat disayangkan. Sebab, kecakapan berbahasa biasanya berurusan dengan kekayaan kosakata di dalam kepala mereka. Juga, kekayaan kosakata berurusan dengan seberapa banyak mereka membaca buku. Setidaknya itulah yang disampaikan Vladimir Nabokov: ”Pembaca yang baik biasanya memiliki kekayaan kosakata.”

Dengan kosakata yang kaya, orang akan memiliki kemampuan untuk menyampaikan dalam cara terbaik setiap gagasannya. Kanak-kanak pada umumnya kalah berdebat dengan orang dewasa karena persediaan kosakata mereka masih sangat sedikit dan mereka kekurangan kosakata untuk menyampaikan apa yang mereka ingin sampaikan. Namun, DPR sedikit berbeda. Orang-orang Senayan, meski kosakata mereka sedikit, akan tetap menang berdebat melawan siapa pun semata-mata karena otot leher mereka besar-besar. Saya tidak akan memilih mendekam di dalam kamar dan membaca buku saja sekiranya diajak berdebat oleh Benny K. Harman atau siapa pun penghuni Senayan.

Sebenarnya ada juga suara yang lebih lunak tentang pemasangan foto presiden. Hal itu datang dari Wakil Ketua DPR Agus Hermanto. ”Peraturan yang sekarang sudah beda. Kalau dulu, memang wajib,” kata Agus.

Mari berpikir positif dan percaya bahwa perubahan peraturan ini tentu dilakukan demi memperbaiki kinerja DPR. Mungkin mereka sudah melakukan penelitian bahwa jika ada foto presiden di ruangan DPR, performa setiap anggota DPR akan langsung merosot. Mungkin mereka akan mudah terkena stroke atau gagal ginjal atau terserang rabun ayam jika melihat foto presiden dan wakil presiden tergantung di dinding ruangan. Mungkin juga mereka menjadi mudah mengamuk. Kita bisa menduga berbagai kemungkinan. Tetapi, itu menguras pikiran dan belum tentu dugaan-dugaan kita benar. Yang tidak memeras pikiran adalah kita meminta penjelasan kepada orang-orang di gedung DPR kenapa ada perubahan peraturan seperti itu.

Saya akan setuju apa pun penjelasan mereka. Saya akan setuju sekiranya mereka mengatakan bahwa jika di gedung DPR ada foto presiden, separo anggota DPR akan gila mendadak. ”Jadi, tidak ada yang politis dalam urusan foto ini. Peraturan baru untuk tidak memajang foto dibikin semata-mata demi alasan kesehatan.” Saya akan menaruh hormat, menundukkan kepala serendah mungkin kepada mereka, bahkan kalaupun alasannya semacam itu.

Celakanya, kita tidak pernah mendengar alasan apa pun tentang perubahan peraturan itu dan tidak akan ada lagi yang mempertanyakannya. Sebab, itu hanya satu masalah kecil di antara segunung masalah ”kecil” lain di negeri ini. Dan gunung itu akan kian meninggi; setiap institusi di negeri ini memiliki potensi besar untuk memproduksi masalah-masalah ”kecil” setiap hari, sesuatu yang dibicarakan ramai sebentar, tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana masalah-masalah itu diselesaikan.

Setiap hari seperti itu, kita bergerak dari isu ke isu, sibuk berputar-putar seperti anak anjing yang memburu ekor sendiri. Lalu, cepat atau lambat, ada satu bagian dari kita yang tak kuat lagi. Dan, seperti ranting patah dari sebatang pohon, ia akan memperdengarkan suara berderak: ”Saya minta cerai saja!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar