Hadir-Tak
Hadir di Layar Politik
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan
panajournal.com
|
KORAN
TEMPO, 01 Desember 2014
Megawati
tidak hadir dalam pelantikan SBY. Prabowo hadir dalam pelantikan Jokowi.
Koalisi pendukung Prabowo tidak hadir dalam pelantikan Ahok.
Dalam
hal Megawati, beredar topik, "Memang tidak wajib."; dalam hal
Prabowo, sempat terdengar, "Kalau urusan saya di luar negeri bisa
diselesaikan."; dalam hal Ahok, jawabannya adalah, "Saya tidak
apa-apa."
Tentu
secara linguistik maupun politik bisa dikerahkan segala pakar untuk
membongkar makna kalimat-kalimat tersebut. Namun bagaimana dengan tindakan
untuk hadir dan tidak hadir itu sendiri? Tidakkah tindakan itu bukan berarti
dilakukan karena tidak terdapat kalimat apa pun? Tindakan itu sebetulnya
menggantikan suatu gagasan dengan tajam, seperti misalnya kalau hadir berarti
setuju, dan kalau tidak hadir berarti tidak setuju; ataukah justru dilakukan
karena gagasan di baliknya sudah tidak bisa lagi dibahasakan? Apakah hadir
dan tak hadir itu sendiri telah menjadi suatu bahasa, meskipun misalnya
bahasa itu tidak terkatakan?
Betapapun,
hadir dan tak hadir, tentunya, telah menjadi cara berkomunikasi. Pada abad
ke-14, bukankah pemberontakan Ranggalawe, dalam naratif tentang Majapahit,
ditandai oleh ketidakhadirannya dalam pertemuan para kepala daerah di hadapan
Raja Jayanegara? Di sana, ketidakhadiran dibaca sebagai pemberontakan Tuban.
Namun tidak semua kehadiran dan ketidakhadiran bermakna sama. Ketidakhadiran
Putin, yang pulang lebih dulu setelah mendapat banyak kecaman dalam pertemuan
G20 di Brisbane, tidak bisa disamakan maknanya dengan ketidakhadiran Jokowi dalam
pertemuan yang sama karena blusukan ke pelabuhan.
Dalam
strukturalisme, tepatnya pendekatan semiotik, ketidakhadiran teracu kepada
pembedaan bermakna suatu tanda atau elemen dari posisinya, dalam kelengkapan
yang semestinya terhadirkan. Akibatnya, elemen-elemen yang hadir akan
bermakna seperti yang dikehendaki, hanya dalam kontras terhadap kemungkinan
tak hadir yang telah membuat mereka terpilih (untuk hadir). Dengan begitu,
ketidakhadiran adalah penentu utama atas makna dalam setiap tingkat pembermaknaan
(Hartley dalam O'Sullivan et.al, 1994:
2).
Jika
konsep dalam kajian komunikasi itu diterapkan pada dunia politik, tempat
segalanya dilakukan demi suatu tujuan taktis-strategis, tak hadir merupakan
suatu manuver yang sama pentingnya dengan kehadiran itu sendiri.
Ketidakhadiranlah yang membuatnya hadir. Seperti ketika tahu ditunggu,
sengaja datang terlambat.
Kehadiran
dan ketidakhadiran dalam politik, sebetulnya, juga terpadankan dengan konsep
dari subyek yang sama dalam kajian sinema. Jika dunia politik bisa kita sebut
layar politik, faktor penonton merupakan pertimbangan bagi manuver hadir dan
tak hadir yang menentukan. Dengan demikian, politik tak hanya bisa
dihubungkan dengan teater, sebagaimana kita kenal istilah panggung politik,
tapi juga dengan sinema, sehingga kita bisa bicara tentang layar politik.
Penonton
(baca: komunitas politik, termasuk rakyat yang mengikuti perkembangan
politik) menatap layar sebagai situs imajiner, tempat para aktor politik
lebih dipandang sebagai seorang bintang, berarti membuat yang faktual jadi
fiktif, sehingga yang hadir menjadi tak hadir. Namun layar itu sendiri juga
berfungsi membuat yang tak hadir menjadi hadir, karena penonton absen dari
layar yang ditatapnya. Layar itu tidak akan hadir tanpa kehadiran penontonnya
(Hayward, 2006: 4-5).
Para
aktor politik sadar betapa diri mereka berada dalam sorot tatapan,
sehingga-dengan berbagai modifikasi dari asalnya, semiotika dan
psikoanalisis-sahihlah menilai makna hadir dan tak hadir dalam dunia politik
dengan konsep kajian komunikasi maupun kajian sinema. Layar menjadi kawan
setara penonton, yang semula melakukan identifikasi dengan berbagai citra dan
melihat dirinya sendiri menyatu (ingat slogan "Jokowi adalah
Kita"), sampai melihat perbedaan dan menyadari kekurangan ("tampangnya
begitu, tapi dia presiden"), yang berlanjut dengan pengenalan bahwa
dirinya juga diamati ("presiden masih blusukan").
Melalui permainan-antara (interplay)
hadir/tak hadir, layar politik melakukan konstruksi penonton sebagai sasaran
dari apa yang ditatap, dan membangun gairah untuk menatap dengan apa pun yang
memaknai kenikmatan menonton. Dalam kenyataan bahwa penonton itu menonton
tanpa ditonton, berlangsung suatu voyeurisme atau kesenangan mengintip, tiada
bedanya antara penonton bioskop dan khalayak pemerhati politik, yang mendapat
kegairahan meluap ketika mengikuti berbagai macam drama politik. Semuanya
melalui media, yang menyusun pengungkapan peristiwa politik dengan berbagai
teknik bahasa hiburan, yang membuat dunia politik menjadi layar politik
dengan segala permainan antara kehadiran dan ketidakhadiran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar