Ahok
dan Gus Dur
Munawir Aziz ; Alumnus Pascasarjana
UGM, Yogyakarta
|
KORAN
TEMPO, 01 Desember 2014
Pelantikan
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengingatkan kita akan
sosok Kiai Abdurrahman Wahid. Ahok dan Gus Dur adalah fenomena dalam sejarah
politik Indonesia, dengan sikap yang konsisten pada prinsip masing-masing.
Gus Dur memiliki jejak rekam panjang sebagai budayawan, pengasuh pesantren,
politikus, hingga dikenang sebagai negarawan.
Sedangkan
Ahok, dengan titik berangkat yang berbeda, menjadi fenomena di tengah krisis
pemimpin yang berani mengambil risiko. Ahok, sebagai orang Tionghoa dan
pengusaha, membuktikan diri sebagai tantangan terhadap dinamika demokrasi
pasca-reformasi, dengan berjuang di jalur politik. Jika direnungkan,
peristiwa kelam Mei 1998 membawa kepedihan sekaligus hikmah. Ketika Ahok
resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta, kenangan akan kekerasan terhadap orang
Tionghoa menjadi optimisme bahwa bangsa ini sudah memberikan ruang setara
bagi tiap warga, tanpa membedakan sekat etnis dan agama.
Ahok
menjadi figur yang dibenci sekaligus dirindukan. Ia dimusuhi orang-orang yang
memiliki kepentingan di tengah keruhnya kehidupan politik Ibu Kota. Namun
Ahok juga memiliki pendukung, yakni mereka yang tidak lagi bersikap feodal,
menghargai keragaman, berpikir toleran, dan menganggap setiap warga negara
Indonesia berhak menjadi pemimpin. Ahok dijegal oleh sikap rasis, namun ia
mampu meladeninya dengan berpegang pada konstitusi.
Pelbagai
upaya menjegal Ahok telah dilakukan dengan serangan bertubi-tubi. Terakhir,
sengketa Ahok dengan pimpinan FPI menjadi perbincangan ramai di media sosial
maupun diskusi-diskusi ilmiah. Ahok juga diserang oleh beberapa anggota DPRD
DKI Jakarta yang tidak menginginkan dirinya menjadi pemimpin Ibu Kota.
Menanggapi serangan politik yang bertubi, ia memilih fokus membereskan
masalah mendasar kota Jakarta: banjir, pengelolaan sungai, manajemen
transportasi, dan masalah mendasar lainnya.
Apa yang
menjadikan Gus Dur dan Ahok dalam napas perjuangan yang sama? Keduanya
berpegang pada kaidah bahwa kepemimpinan harus bertujuan untuk kepentingan
rakyat. Apa yang diperjuangkan Gus Dur semasa hidupnya adalah membela
kelompok minoritas dari sergapan kesewenangan kaum mayoritas. Gus Dur pernah
menyatakan bahwa suatu saat Ahok akan menjadi gubernur. "Siapa bilang
orang turunan Tionghoa belum bisa jadi gubernur? Jadi presiden, kamu aja
bisa," kata Gus Dur.
Gus Dur
memberikan pujian kepada Ahok ketika ia membebaskan biaya kesehatan saat
menjadi Bupati Kabupaten Belitung Timur. Gus Dur mendukung Ahok ketika
berniat mencalonkan diri sebagai Gubernur Bangka Belitung pada pemilihan
Gubernur Babel 2007. Gus Dur juga pernah membantu Ahok ketika ia mengajukan
gugatan di Mahkamah Agung karena merasa dicurangi pada proses pilkada. Pada
waktu itu, Gus Dur sempat berniat mengirim 2.000 anggota Banser untuk membela
Ahok.
Gus Dur telah selesai menuliskan riwayat dirinya, meski teks-teks dan
ingatan tentang beliau akan terus dirayakan. Ahok, yang saat ini menjadi
pemimpin DKI Jakarta, akan menemukan ujian konsistensi dan prinsip perjuangan
yang sesungguhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar