Kamis, 04 Desember 2014

Penyiaran Agama

                                                     Penyiaran Agama

Achmad Fauzi ;   Aktivis Multikulturalisme
KORAN TEMPO,  02 Desember 2014

                                                                                                                       


Rancangan Undang-Undang (RUU) Kerukunan Umat Beragama yang dulu ramai diperdebatkan kini berganti kemasan. Namanya RUU Perlindungan Umat Beragama. Memang ada perubahan perspektif, dari yang semula sebatas menjaga kerukunan, kini orientasinya juga untuk melindungi.

Tapi ada beberapa pasal krusial yang rawan menimbulkan pemasungan agama. Dua di antaranya soal pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama. Ihwal pendirian rumah ibadah telah penulis kupas di Koran Tempo ("Kerukunan Semu", 21 Juni 2014). Penyiaran agama menurut pengertiannya adalah semua bentuk kegiatan yang menurut sifat dan tujuannya menyebarluaskan ajaran agama, baik melalui media cetak, elektronik, maupun komunikasi lisan.

Dalam ranah ini memang sering muncul gesekan karena pergumulan penyiaran agama acap melampaui wilayah demarkasi teologi masing-masing agama. Karena itu, pemerintah memiliki gagasan mengatur materi khotbah yang dilakukan pada ruang publik agar lebih berorientasi pada nilai kedamaian ketimbang menyulut amarah.

Visi beleid tersebut sejatinya baik karena menjangkarkan penyiaran agama dalam nilai humanisme dan wawasan paralelisme kultural, sehingga eksistensi keyakinan dan kebudayaan kecil dijunjung tinggi ekuivalen dengan visi agama-agama besar. Berarti akan ada pergeseran paradigma penyiaran agama yang semula berbasis perebutan aset massa (kuantitatif) menjadi peningkatan keberdayaan umat secara kualitatif.

Merujuk pada pola-pola konflik yang terjadi di Tanah Air, perebutan aset massa dalam konsep dakwah dan penginjilan kerap menimbulkan konflik horizontal. Apalagi setelah sembilan abad munculnya Kerajaan Demak, hampir dipastikan seluruh masyarakat Indonesia telah memeluk agama. Hanya, pemerintah perlu juga memikirkan bahwa penyiaran agama adalah bagian dari kesaksian hidup dan amanat profetis yang harus dijalankan masing-masing agama.

Di sinilah mungkin perlu kepiawaian mengemas orientasi konsep dakwah dan penginjilan yang lebih bersifat kualitatif, sehingga dalam prakteknya orang yang telah memeluk agama tidak lagi menjadi obyek penyiaran agama lain. Caranya, memetakan ulang konsep dakwah dan penginjilan agar tidak tumpang-tindih.

Persoalannya, pengaturan kehidupan umat beragama secara teknis dan rigid oleh negara akan menimbulkan kesan bahwa lemahnya posisi tawar tokoh agama di mata masyarakat, sehingga perlu meminjam tangan pemerintah dalam membangun suatu hubungan yang rukun antarumat beragama. Soal pengaturan materi khotbah, misalnya, tak perlu negara repot-repot membatasinya. Sebab, pemuka agama bisa melakukannya sendiri. Pemerintah cukup berfokus pada persoalan lain, seperti mengawal peradilan pelaku intoleransi terhadap minoritas yang notabene cenderung longgar dan tidak menjerakan.

Publik berharap RUU Perlindungan Umat Beragama ini tidak dijadikan selubung oleh rezim untuk menutupi kelemahannya yang selama ini gagal menciptakan stabilitas ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan. Jika kajian konflik antaragama menggunakan pendekatan formalitas yang justru mengungkung tumbuhnya kesadaran etik umat beragama, bisa dipastikan tesis penggunaan simbol agama untuk melanggengkan kekuasaan kembali terulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar