Penyiaran
Agama
Achmad Fauzi ; Aktivis
Multikulturalisme
|
KORAN
TEMPO, 02 Desember 2014
Rancangan
Undang-Undang (RUU) Kerukunan Umat Beragama yang dulu ramai diperdebatkan
kini berganti kemasan. Namanya RUU Perlindungan Umat Beragama. Memang ada
perubahan perspektif, dari yang semula sebatas menjaga kerukunan, kini
orientasinya juga untuk melindungi.
Tapi ada
beberapa pasal krusial yang rawan menimbulkan pemasungan agama. Dua di
antaranya soal pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama. Ihwal pendirian
rumah ibadah telah penulis kupas di Koran Tempo ("Kerukunan Semu",
21 Juni 2014). Penyiaran agama menurut pengertiannya adalah semua bentuk
kegiatan yang menurut sifat dan tujuannya menyebarluaskan ajaran agama, baik
melalui media cetak, elektronik, maupun komunikasi lisan.
Dalam
ranah ini memang sering muncul gesekan karena pergumulan penyiaran agama acap
melampaui wilayah demarkasi teologi masing-masing agama. Karena itu,
pemerintah memiliki gagasan mengatur materi khotbah yang dilakukan pada ruang
publik agar lebih berorientasi pada nilai kedamaian ketimbang menyulut
amarah.
Visi
beleid tersebut sejatinya baik karena menjangkarkan penyiaran agama dalam
nilai humanisme dan wawasan paralelisme kultural, sehingga eksistensi
keyakinan dan kebudayaan kecil dijunjung tinggi ekuivalen dengan visi
agama-agama besar. Berarti akan ada pergeseran paradigma penyiaran agama yang
semula berbasis perebutan aset massa (kuantitatif) menjadi peningkatan
keberdayaan umat secara kualitatif.
Merujuk
pada pola-pola konflik yang terjadi di Tanah Air, perebutan aset massa dalam
konsep dakwah dan penginjilan kerap menimbulkan konflik horizontal. Apalagi
setelah sembilan abad munculnya Kerajaan Demak, hampir dipastikan seluruh
masyarakat Indonesia telah memeluk agama. Hanya, pemerintah perlu juga
memikirkan bahwa penyiaran agama adalah bagian dari kesaksian hidup dan
amanat profetis yang harus dijalankan masing-masing agama.
Di
sinilah mungkin perlu kepiawaian mengemas orientasi konsep dakwah dan
penginjilan yang lebih bersifat kualitatif, sehingga dalam prakteknya orang
yang telah memeluk agama tidak lagi menjadi obyek penyiaran agama lain.
Caranya, memetakan ulang konsep dakwah dan penginjilan agar tidak
tumpang-tindih.
Persoalannya,
pengaturan kehidupan umat beragama secara teknis dan rigid oleh negara akan
menimbulkan kesan bahwa lemahnya posisi tawar tokoh agama di mata masyarakat,
sehingga perlu meminjam tangan pemerintah dalam membangun suatu hubungan yang
rukun antarumat beragama. Soal pengaturan materi khotbah, misalnya, tak perlu
negara repot-repot membatasinya. Sebab, pemuka agama bisa melakukannya
sendiri. Pemerintah cukup berfokus pada persoalan lain, seperti mengawal
peradilan pelaku intoleransi terhadap minoritas yang notabene cenderung
longgar dan tidak menjerakan.
Publik berharap RUU Perlindungan Umat Beragama ini tidak dijadikan
selubung oleh rezim untuk menutupi kelemahannya yang selama ini gagal
menciptakan stabilitas ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan. Jika kajian
konflik antaragama menggunakan pendekatan formalitas yang justru mengungkung
tumbuhnya kesadaran etik umat beragama, bisa dipastikan tesis penggunaan
simbol agama untuk melanggengkan kekuasaan kembali terulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar