Kamis, 04 Desember 2014

Gerontokrasi

                                                           Gerontokrasi

Toto Subandriyo ;  Penulis
KORAN TEMPO,  01 Desember 2014

                                                                                                                       


Suku Nuer, suku yang cukup berpengaruh di Sudan, memiliki satu tradisi "Rites de Passage" yang selalu dipegang teguh. Istilah dari bahasa Prancis ini berarti "peristiwa penting dalam masa transisi dari kehidupan seseorang". Dalam dimensi kehidupan yang lebih luas, "Rites de Passage" menunjukkan proses susul-menyusul generasi, termasuk regenerasi kepemimpinan.

Istilah "Rites de Passage" tersebut menjadi sangat relevan jika kita sandingkan dengan kondisi bangsa kita saat ini. Meski reformasi telah berjalan lebih dari 16 tahun, kaderisasi kepemimpinan sekarang nyaris setali tiga uang dengan rezim Orde Baru. Para elite politik sepuh negeri ini tidak legowo menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada generasi yang lebih muda, seperti yang dipertontonkan secara vulgar oleh para politikus Partai Golkar.

Secara kasatmata, fenomena gerontokrasi tampak menonjol. Gerontokrasi adalah istilah yang menggambarkan bahwa panggung politik didominasi politikus sepuh. Gerontokrasi ini telah membuat organisasi politik kita bak octopus yang berjalan lamban, cenderung stagnan karena tak ada ide-ide pembaruan yang brilian.

Kondisi ini sepertinya mengiyakan kebenaran tesis Valvac Havel (1993), yang menyatakan bahwa keberhasilan gerakan pro-demokrasi menumbangkan rezim totaliter tidak selalu berarti jalan mulus bagi suatu rekonstruksi sosial-politik pada masa sesudahnya. Kondisi masyarakat pasca-revolusi selalu dipenuhi kontradiksi, ironi, dan permasalahan yang tidak terbayangkan sebelumnya: konflik etnis, agama, faksi politik, tumbuhnya populisme berlebihan, dan lain-lain. Semua itu representasi dari rasa frustrasi yang berkepanjangan.

Paling tidak, ada empat alasan mengapa pemuda perlu segera diberi peran lebih dalam format kepemimpinan nasional saat ini. Pertama, di hampir semua negara, kelompok pemuda menempati jumlah mayoritas. Abad ke-21 adalah abad kaum muda, peran kaum muda dalam perubahan dunia saat ini dan ke depan akan semakin besar dibanding kaum tua, demikian ditulis Sheila Kinkade dan Christina Macy dalam bukunya yang berjudul Our Time is Now: Young People Changing the World.

Kedua, pemuda berada pada saat idealisme di titik puncak, dan ini potensi untuk perubahan besar. Ketiga, pemuda selalu mengikuti perkembangan yang terjadi di mana pun. Dalam kompetisi global saat ini, semua dituntut memiliki kesegaran energi, pemikiran, dan kreativitas yang tinggi.

Keempat, para pemuda tidak memiliki beban sejarah, konflik, dan trauma masa lalu, sehingga langkahnya masih tegap tanpa diliputi rasa kebimbangan. Pemimpin nasional yang kita dambakan saat ini adalah sosok yang bermoral luhur, berani, tegas, mempunyai vitalitas tinggi, berinteligensi di atas rata-rata, bahkan superior. Inilah karakter kaum muda.

Bukan rahasia lagi, Ir Sukarno menjadi presiden pada usia 44 tahun, Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri ketika umurnya baru 38 tahun, Roosevelt menjadi Presiden Amerika pada umur 42 tahun.

Saatnya karpet merah dibentangkan bagi kepemimpinan pemuda. Mereka harus diberi panggung untuk bisa tampil memimpin bangsa. Momentum tidak akan datang dua kali. Sekali momentum disia-siakan, tak ada lagi catatan emas dalam lembar sejarah. Alih-alih menjadi pemimpin dalam konotasi sebenarnya, yang kita dapatkan mungkin hanyalah seorang pemimpin minus huruf "n" alias pemimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar