Kamis, 04 Desember 2014

Mari Berkeringat untuk Mufakat

                              Mari Berkeringat untuk Mufakat

Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
MEDIA INDONESIA, 29 November 2014

                                                                                                                       


ACAP kali saya tertegun seusai mendengar atau ngobrol baik dengan pemimpin organisasi, pejabat negara, intelektual ternama, hingga teman-teman seniman atau saudara-saudara tukang ojek-sopir taksi yang ngopi di warung-warung amigos (agak minggir got sedikit). Ketertegunan yang bersilih katup dengan rasa kagum; mengapa mereka tidak saja tetap bertahan hidup, tapi juga masih ringan tersenyum bahkan tertawa bahak saat menonton `pertunjukan' di gedung parlemen via televisi. Sementara itu, dengan tone yang hampir sama, semua kelompok manusia itu tidak letih membicarakan ketidakpuasan, kemarahan, hingga keputusasaan menghadapi realitas yang mau tak mau harus mereka jalani.

Dengan klise-klisenya yang khas, mereka semua (baca: kita bersama) mengekspresikan dunia batin dan pikiran masingmasing tentang kacau dan bahkan lenyapnya standar, acuanacuan juga orientasi--ideologis, primordial, religus, dll--yang secara tradisional menjaga, menciptakan keseimbangan, hingga meluruskan tujuan mereka hidup dalam kenyataan kontemporer zaman ini.

Analisis pun bertimbun dan bertumpang-tindih--dengan cara berpikir yang tidak hanya rasional `akademik', tapi juga spekulatif, mistik, bahkan klenik--menciptakan semacam argumen yang menunjukkan absurditas hidup, kegelapan masa depan dan ilusi hingga obsesi tentang keagungan dan kejayaan yang `terbayangkan' (imagined) ada di masa lalu atau masa depan. Sebuah kenyataan mental yang jujur saja harus diakui tidak merepresentasi dinamika yang kuat, konstruktif apalagi progresif, tetapi cenderung mewakili involusi yang kian akut.

Saya kurang berani mengonstatasi daya hidup bangsa ini dalam menjalani absurditas di atas ialah akibat pelarian diri mereka ke dunia yang ilusif, obsesif, atau `bayangan' mistik tentang kejayaan nenek moyang atau anak cucu nanti. Namun, dari kenyataan itu alasan pun muncul dalam frasa klasik yang didasarkan pada faith, bahwa hidup tetap harus dipertahankan karena `hidup itu (ternyata) indah', `masih ada (setitik) harapan', `Tuhan (tentu) punya maksud tersendiri'.

Dengan kelemahan bathin yang ada, saya merasa tidak nyaman dengan argumentasi tak-terverifikasi itu. Saya lebih berani menyatakan realitas yang tampaknya absurdik itu bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, taken for granted, melainkan situasi yang dikondisikan, kenyataan yang terdesain. Sekurangnya dijerumuskan dalam situasi yang mengarah ke kepentingan tertentu. Kepentingan yang belakangan secara global telah disadari mayoritas masyarakat kritis, berhulu pada sekelompok (sangat) kecil titan-ekonomik yang dalam tingkat tertentu menjadi dapat tiran. Tingkat ia tidak memedulikan apa pun, bahkan manusia dan kemanusiaannya, demi memenuhi libido kekuasaannya untuk menjadi kompetitor Tuhan.

Sandiwara politik

Tentu saja konstatasi itu bukan sebuah bualan. Hal itu dinyatakan banyak kalangan kompeten, dari pemenang Hadiah Nobel Ekonomi hingga Direktur Pelaksana IMF. Sebuah realitas tersembunyi (dalam layer-layer simbolis) yang muncul dalam imajinasi kalangan awam sebagai fiksi-ilmiah, dongeng-dongeng pascamodern yang berfungsi sebagai `katup-pelepas' ban yang terlalu pepat oleh angin keputusasaan.

Dengan menyadari diri yang juga memiliki kelemahan manusia jelata, saya harus berterus terang juga mengalami satu tingkat frustrasi saat memahami posisi kita yang berada di layer pembuka sebenarnya sama sekali tak berdaya. Bahkan sekadar untuk campur tangan pada sandiwara politik elite belakangan ini, antara koalisi ini dan itu dalam parlemen misalnya, kita seperti budak yang terbelenggu oleh invaliditas intelektual hingga moral. Pasrah bungkukan menjadi penonton sandiwara itu di televisi gratis, tapi harus membayar mahal dampak yang diakibatkannya.

Frustrasi itu menguat ketika kita berusaha dengan keras menggunakan arsenal politik, ekonomi, sains, agama, tetap saja gagal menemukan jalan keluar dari situasi (hidup) yang represif itu. Keadaan yang mendorong saya untuk melakukan sebuah upaya tanpa arah, sebagaimana dilakukan para petualang primitif, rohaniwan bebas, sufi pengembara atau pendekar turun gunung, dengan berjalan...berjalan tiada henti, tiada tujuan, dan (hampir) tiada harapan.

Hingga kemudian pengalaman di tiap depa perjalanan, varian berbagai adat yang mengajarkan, kesadaran dari langit-langit di tiap bumi terpijak, memberi saya oksigen pengetahuan yang memenuhi paru-paru kehidupan bahwa hidup manusia dan dinamika ke manusiaan di negeri ini akan tetap bertahan bukan karena jumlah cadangan emas atau besaran GDP, bukan karena teknologi bungker yang menyelamatkan para elite dari bencana dahsyat masa depan, juga bukan karena jumlah kepala nuklir yang dimiliki apalagi kecanggihan dari kelicikan diplomasi intelijen, melainkan lantaran bumi-bumi itu tetap kuat dipijak karena langit dijunjung sebuah kekuatan yang dibangun dalam periode milenium, yang lebih tua daripada politik, bahkan perda gangan, namanya: kebudayaan.

Saya sangat mafhum, perhitungan kuat (bukan keyakinan) atas daya kerja dan potensi dari kebudayaan itu pun sebenarnya telah menjadi rapuh. Karena serbuan-serbuan mematikan dari kekuatan titanik-global di atas, membuat kebudayaan mengalami semacam sakratulmaut justru akibat potensinya yang memiliki daya dobrak sangat tinggi pada kuasa para titan di atas. Kebudayaan perlu diasasi nasi, hingga ke tingkatan sistemis, karena ia dapat menjadi pertahanan terkukuh dari sebuah bangsa dalam menegakkan eksistensi dan kuasa atas dirinya sendiri.

Karena itu, sebagai orang yang sejak remaja sudah menyedekahkan hidupnya dalam kerja-kerja kebudayaan, saya merasa terhormat untuk menjadi kuncen dari makam tempat kebudayaan terkubur dengan sisa napas di ujung jarinya. Menjadi penjaga yang akan memaksa pihak mana pun yang masih bernafsu besar untuk memastikan kematian kebudayaan, untuk melangkahi lebih dulu tulangtulang tuanya yang letih agar dapat melaksanakan kejahatan peradaban itu.

Bermusyawarah

Saya kira, untuk itulah saya dengan rendah hati mengajak saudara-saudara saya, para pekerja sekaligus kuncen kebudayaan negeri ini, berkumpul untuk bermusyawarah. Tidak hanya menyinergikan tulang-tulang pertahanan itu, tapi bila mungkin dengan kekuatan batin dan intelektualnya memufakatkan semacam terapi yang mampu mengembang kan paru-paru kebudayaan yang kian ciut itu. Mengajak teman-teman para pemangku negeri ini untuk berkeringat, tidak sekadar fisis, tapi juga in telektual dan mental-spiritual, untuk membuktikan pada para penjahat kebudayaan, bahwa sejarah adat dan tradisi kita (anasir-anasir pembentuk kebudayaan) mampu memproduksi hikmah (yang) bijaksana untuk tercapainya mufakat tentang kebudayaan seperti apa yang sebenarnya realistis menjadi fondasi dari berdirinya sebuah bangsa, sebuah negeri, sebuah negara.

Kita boleh merasa malu bila warisan para pendiri bangsa yang kita nikmati dalam bentuk kemajuan hidup (walaupun sudah terkorupsi 85% dari nilai intrinsiknya) saat ini tidak berhasil membuahkan pula sebuah warisan berharga bagi generasi pelanjut kita; warisan yang tak lekang oleh waktu dan ruang: gagasan. Warisan itu, pertama, bukan hanya menjadi penyeimbang dari warisan material kita (bangunan, alam, dan sistem) yang ternyata bukan saja rapuh, melainkan juga telah menjadi limbah, tapi juga, kedua, karena ia adalah satu-satunya kapasitas yang bisa diandalkan untuk menang ketika di hampir semua sektor (ekonomi, ilmu, politik, milter, dsb) kita hanya menjadi pecundang berhadapan dengan gergasi rakus di sekitar kehidupan global kita.

Akhirnya ketiga, warisan mufakat ini dapat menjadi bukti kebudayaan yang ditanak dengan waktu yang panjang ini memiliki kemampuan operasional yang tinggi, setidaknya menegasi apa yang terjadi dalam `kultur' politik kita yang begitu mudahnya menyerah pada voting ketika mereka gagal mengambil hikmah kebijaksanaan dari sebuah musyawarah. Kemampuan operasional yang mudah-mudahan dapat dipergunakan sebagai jalan setapak anak-cucu kita dalam membabad alas masa depan yang kian primitif dengan hukum rimbanya yang kian kasar dan represif.

Betapa pun kita melakukannya dalam ruangan dingin artifisial, kursi dan kasur yang empuk serta buffet yang cukup berkelas, ketimbang apa yang didapat para pendiri bangsa kala dahulu, kita tetap bisa dan selayaknya berani berkeringat untuk tujuan yang secara subjektif boleh kita anggap mulia di atas. Berkeringatlah kita untuk mufakat dalam kebudayaan, untuk kebudayaan dalam mufakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar