Selasa, 09 Desember 2014

Gajian

                                                                     Gajian

Samuel Mulia  ;   Penulis kolom “PARODI” Kompas Minggu
KOMPAS,  07 Desember 2014

                                                                                                                       


Beberapa bulan lalu saya bertanya kepada tiga anggota staf kantor, apa yang mereka lakukan dengan uang gajian yang setiap bulan diterima. Seorang wanita dengan dua anak mengatakan, ”Yang pertama kasih ke ibu sama bapak, Mas. Setelah itu baru untuk keperluan anak-anak.”

Staf yang kedua, seorang laki-laki lajang, menjawab. ”Buat keponakan-keponakan, Mas. Saya masih membiayai mereka sekolah.” Staf yang ketiga, seorang suami dengan satu anak, mengatakan. ”Semuanya saya kasih istri. Dia yang mengelola semuanya.”

Buat saya

Setelah percakapan itu selesai, saya mulai merasa kesetrum. Saya itu orangnya suka begitu. Selalu ingin tahu tentang banyak hal, tetapi setelah itu kena batunya. Selama lima puluh satu tahun, kalau saya menerima upah bulanan, yang selalu saya ingat, ya, diri saya sendiri.

Saya tak pernah berpikir untuk memberikan kepada ibu saya meski saat itu saya masih punya ibu. Memberi kepada keponakan? Terlintas saja tidak. Gajian itu acap kali membutakan saya atas kebutuhan orang lain. Kalau saya tidak sepenuhnya memberikan kepada istri sebagai pasangan hidup, ya, karena saya tak memiliki istri atau pasangan hidup.

Saya ini bersyukur menjadi lajang karena kalau sudah sampai pada persoalan gajian, saya bisa menguasai sepenuhnya, saya tidak perlu berpikir untuk orang lain. Yang saya pikirkan bagaimana caranya melunasi cicilan kartu kredit dan barang-barang yang akan dibeli lagi setelah cicilan selesai atau separuh selesai.

Ketidakinginan untuk membagi untuk kebutuhan orang lain juga semata-mata karena sebagai lajang saya memiliki kebutuhan yang tak kalah banyaknya dengan ketiga staf saya itu. Selain kebutuhan membereskan cicilan di atas, ada juga kebutuhan membeli pakaian, berlibur, dan menabung.

Sudah lama saya mendengarkan nasihat bahwa memberi itu mendatangkan berkah yang banyak. Memberi itu jauh lebih menyenangkan daripada menerima. Tetapi itu hanya bercokol di kepala dan jarang sekali saya laksanakan.

Di luar semua itu, saya juga diajarkan dalam agama yang saya anut untuk memberikan persembahan rutin setiap bulan sebesar sepuluh persen. Maka saya mulai berhitung. Kalau upah bulanan yang saya terima satu juta rupiah, maka sepuluh persen mungkin hanya seratus ribu rupiah.

Tetapi bagaimana kalau itu menjadi sepuluh juta per bulan, atau lebih sepuluh juta lagi, maka sepuluh persen itu sama dengan satu sampai dua juta rupiah.

Buat orang lain

Buat saya, satu atau dua juta rupiah itu besar untuk sebuah persembahan ilahi, tetapi terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan dunia fana saya. Maka acap kali kebutuhan duniawi saya memiliki pengeluaran yang jauh lebih besar ketimbang persembahan bulanan ke rumah ibadah.

Bahkan dalam satu tahun yang terdiri dari dua belas bulan itu, persembahan saya ke rumah ibadah juga hanya berlangsung beberapa bulan semata. Saya memiliki kecenderungan mengutamakan yang duniawi itu.

Itu selalu terjadi begitu. Kalau minta berkah dari yang Maha Kuasa, saya tak pernah berhitung, mintanya sebanyak mungkin. Tetapi kalau giliran saya yang harus memberi, saya langsung memegang kalkulator.

Apalagi dengan penyakit yang segunung banyaknya, saya membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk memeranginya. Jadi ada alasan lagi untuk selalu menghindari mempersembahkan upah bulanan itu untuk orang lain dan atau untuk Tuhan.

Sampai beberapa hari lalu, ketika saya mengeluh soal banyaknya penyakit yang datang menimpa tanpa henti, sampai saya sendiri kelelahan, seorang klien lama yang kemudian menjadi teman, secara tidak sengaja memberikan nasihatnya.

”Mas, mungkin kamu itu ndak boleh lupa sama kebutuhan orang lain. Kita itu bisa sehat, bisa tentrem, bisa selalu berkecukupan itu, enggak melulu karena sudah benar menjaga kesehatan, loh, sudah menabung. Mas, kalau kita itu egois, jiwa itu juga jadi enggak sehat. Kalau jiwanya enggak sehat, badannya bisa enggak sehat juga.”

Saya sendiri tak tahu apakah ketiga staf saya di atas merasa bahagia, tentrem setelah mereka membagikan upah bulanan mereka kepada orang lain. Tetapi saya mau mencoba nasihat teman saya itu karena sejujurnya seperti saya katakan, saya sudah kelelahan dengan problema penyakit dan batin yang tidak tenteram selama ini. Saya terlalu bergantung kepada obat dokter dan pengetahuan ilmiah. Mungkin ini saatnya untuk memercayai sesuatu yang tidak ilmiah.

”Dan lagian, Mas. Tuhan itu, kan, ya, sudah memberi berkah ke Mas selama tahun-tahun ini. Kan, enggak ada salahnya kalau giliran Mas bantu orang lain. Mas ingat, kan, pesan bapaknya Mas yang ditulis dua minggu lalu. Berbuat baik, Mas. Enggak ada salahnya,” katanya mengingatkan.

Kemudian ia melanjutkan lagi. ”Tidak egois itu termasuk dalam empat sehat lima sempurna, Mas.” Saya terdiam. Saya tak tahu apakah teman saya merasa lega sudah meng-KO saya. Dia juga terdiam sejenak.

Kemudian tak lama setelah itu, ia bernyanyi lagi. ”Jangan keseringan megang kalkulator, Mas. Ndak baik, ndak sehat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar