Gajian
Samuel Mulia ; Penulis kolom “PARODI” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
07 Desember 2014
Beberapa
bulan lalu saya bertanya kepada tiga anggota staf kantor, apa yang mereka
lakukan dengan uang gajian yang setiap bulan diterima. Seorang wanita dengan
dua anak mengatakan, ”Yang pertama kasih ke ibu sama bapak, Mas. Setelah itu
baru untuk keperluan anak-anak.”
Staf
yang kedua, seorang laki-laki lajang, menjawab. ”Buat keponakan-keponakan,
Mas. Saya masih membiayai mereka sekolah.” Staf yang ketiga, seorang suami
dengan satu anak, mengatakan. ”Semuanya saya kasih istri. Dia yang mengelola
semuanya.”
Buat saya
Setelah
percakapan itu selesai, saya mulai merasa kesetrum. Saya itu orangnya suka
begitu. Selalu ingin tahu tentang banyak hal, tetapi setelah itu kena
batunya. Selama lima puluh satu tahun, kalau saya menerima upah bulanan, yang
selalu saya ingat, ya, diri saya sendiri.
Saya tak
pernah berpikir untuk memberikan kepada ibu saya meski saat itu saya masih
punya ibu. Memberi kepada keponakan? Terlintas saja tidak. Gajian itu acap
kali membutakan saya atas kebutuhan orang lain. Kalau saya tidak sepenuhnya
memberikan kepada istri sebagai pasangan hidup, ya, karena saya tak memiliki
istri atau pasangan hidup.
Saya ini
bersyukur menjadi lajang karena kalau sudah sampai pada persoalan gajian,
saya bisa menguasai sepenuhnya, saya tidak perlu berpikir untuk orang lain.
Yang saya pikirkan bagaimana caranya melunasi cicilan kartu kredit dan
barang-barang yang akan dibeli lagi setelah cicilan selesai atau separuh
selesai.
Ketidakinginan
untuk membagi untuk kebutuhan orang lain juga semata-mata karena sebagai
lajang saya memiliki kebutuhan yang tak kalah banyaknya dengan ketiga staf
saya itu. Selain kebutuhan membereskan cicilan di atas, ada juga kebutuhan
membeli pakaian, berlibur, dan menabung.
Sudah
lama saya mendengarkan nasihat bahwa memberi itu mendatangkan berkah yang
banyak. Memberi itu jauh lebih menyenangkan daripada menerima. Tetapi itu
hanya bercokol di kepala dan jarang sekali saya laksanakan.
Di luar
semua itu, saya juga diajarkan dalam agama yang saya anut untuk memberikan
persembahan rutin setiap bulan sebesar sepuluh persen. Maka saya mulai
berhitung. Kalau upah bulanan yang saya terima satu juta rupiah, maka sepuluh
persen mungkin hanya seratus ribu rupiah.
Tetapi
bagaimana kalau itu menjadi sepuluh juta per bulan, atau lebih sepuluh juta
lagi, maka sepuluh persen itu sama dengan satu sampai dua juta rupiah.
Buat orang lain
Buat
saya, satu atau dua juta rupiah itu besar untuk sebuah persembahan ilahi,
tetapi terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan dunia fana saya. Maka acap kali
kebutuhan duniawi saya memiliki pengeluaran yang jauh lebih besar ketimbang
persembahan bulanan ke rumah ibadah.
Bahkan
dalam satu tahun yang terdiri dari dua belas bulan itu, persembahan saya ke
rumah ibadah juga hanya berlangsung beberapa bulan semata. Saya memiliki
kecenderungan mengutamakan yang duniawi itu.
Itu
selalu terjadi begitu. Kalau minta berkah dari yang Maha Kuasa, saya tak
pernah berhitung, mintanya sebanyak mungkin. Tetapi kalau giliran saya yang
harus memberi, saya langsung memegang kalkulator.
Apalagi
dengan penyakit yang segunung banyaknya, saya membutuhkan dana yang tidak
sedikit untuk memeranginya. Jadi ada alasan lagi untuk selalu menghindari
mempersembahkan upah bulanan itu untuk orang lain dan atau untuk Tuhan.
Sampai
beberapa hari lalu, ketika saya mengeluh soal banyaknya penyakit yang datang
menimpa tanpa henti, sampai saya sendiri kelelahan, seorang klien lama yang
kemudian menjadi teman, secara tidak sengaja memberikan nasihatnya.
”Mas,
mungkin kamu itu ndak boleh lupa sama kebutuhan orang lain. Kita itu bisa
sehat, bisa tentrem, bisa selalu berkecukupan itu, enggak melulu karena sudah
benar menjaga kesehatan, loh, sudah menabung. Mas, kalau kita itu egois, jiwa
itu juga jadi enggak sehat. Kalau jiwanya enggak sehat, badannya bisa enggak
sehat juga.”
Saya
sendiri tak tahu apakah ketiga staf saya di atas merasa bahagia, tentrem
setelah mereka membagikan upah bulanan mereka kepada orang lain. Tetapi saya
mau mencoba nasihat teman saya itu karena sejujurnya seperti saya katakan,
saya sudah kelelahan dengan problema penyakit dan batin yang tidak tenteram
selama ini. Saya terlalu bergantung kepada obat dokter dan pengetahuan
ilmiah. Mungkin ini saatnya untuk memercayai sesuatu yang tidak ilmiah.
”Dan
lagian, Mas. Tuhan itu, kan, ya, sudah memberi berkah ke Mas selama
tahun-tahun ini. Kan, enggak ada salahnya kalau giliran Mas bantu orang lain.
Mas ingat, kan, pesan bapaknya Mas yang ditulis dua minggu lalu. Berbuat
baik, Mas. Enggak ada salahnya,” katanya mengingatkan.
Kemudian
ia melanjutkan lagi. ”Tidak egois itu termasuk dalam empat sehat lima
sempurna, Mas.” Saya terdiam. Saya tak tahu apakah teman saya merasa lega
sudah meng-KO saya. Dia juga terdiam sejenak.
Kemudian tak lama setelah itu, ia bernyanyi lagi. ”Jangan keseringan
megang kalkulator, Mas. Ndak baik, ndak sehat.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar