Film
Indonesia
Garin Nugroho ; Sutradara Film
|
KOMPAS,
07 Desember 2014
Sebuah bangsa
diukur tidak semata ekonominya, tetapi produktivitas anak muda serta daya
hidup ekspresinya. Lewat perspektif ini, maka ruang berbangsa mengalami
pertumbuhan. Bangsa-bangsa yang hanya melihat pada hasil ekonomi instan,
khususnya pada bidang industri kreatif, pada ujungnya melahirkan bangsa
pengimpor.
Ini sebuah
dialog dengan sahabat saya seorang pengamat budaya industri kreatif India
dalam diskusi yang diikuti dua puluh lima disiplin ilmu dan seniman di New
Delhi, berkait dengan demografi anak muda Asia (termasuk Indonesia) yang
bertumbuh lebih dari 50 persen dalam kaitannya dengan industri kreatif.
Catatan di
atas terasa mendapatkan maknanya berkait dengan dua peristiwa menarik, yakni
Festival Film Indonesia yang berpuncak di Palembang (6 Desember 2014) dan
Jogja Asia Film Festival (1-6 Desember 2014). Kedua festival tersebut memberi
beberapa perspektif penting terkait produktivitas dan ekspresi berbangsa.
Pertama, workshop dan pemutaran film Festival Film
Indonesia (FFI) dan Jogja Asia Film Festival (JAFF) yang ke-9 senantiasa
menarik minat komunitas-komunitas film yang menjamur hingga pelosok.
Menunjukkan era serba visual serta tuntutan ekspresi generasi muda visual
Indonesia seiring lahirnya teknologi serba digital.
Ruang-ruang
ini menjadi oasis dialog, pertumbuhan hasrat selera dan intelektual, hingga
keterampilan maupun ruang publik anak muda produktif di tengah ruang
konsumtif yang memenuhi kota-kota yang semakin banal.
Kedua, film
Indonesia menunjukkan ciri khas pada kemampuan melakukan regenerasi yang
terus-menerus di tengah beragam krisis. Simaklah film-film yang masuk
nominasi FFI, di tengah konsistensi para senior film, seperti Hanung hingga
Riri Riza, mampu lahir film seperti Tabularasa ataupun Cahaya
dari Timur. Film karya
sutradara baru ini justru terasa menjadi kuat dan memberi harapan besar
dengan tema sederhana, berakar pada daya hidup lokalitas juga keberanian
memilih tema maupun cara tutur serta jajaran pemain yang kuat.
Atau simak
film The Sun, The Moon and The Hurricane karya Andri Cung di JAFF, memesona
penonton muda dengan tema homoseksual yang berbicara tentang humanitas dengan
liris yang sehari-hari sekaligus drama
queen anak muda. Atau, pemutaran film
pendek yang dipenuhi antrean penonton muda yang selalu melahirkan
sutradara-sutradara baru. Anak-anak muda ini, di tengah riuh rendah
pergantian politik, berupaya menumbuhkan produktivitas dan dialog ekspresi
dengan beragam cara mencari dana dan sponsor.
Ketiga,
film-film di FFI dan JAFF lalu menjadi cermin isu-isu penting Indonesia dan
peta Asia. Simak film-film nominasi FFI, mulai dari tema sepak bola di
Indonesia timur sebagai ruang kepahlawanan dan komunal serta katarsis anak
muda, tema novel sastra di awal kebangkitan, tema representasi kekerasan yang
sangat banal di kota besar, multikultur serta nilai humanitas berkait
revolusi mental di kehidupan kota-kota besar Indonesia, persoalan masyarakat
terasing, korupsi, kepahlawanan nasional, dan lainnya.
Sementara JAFF
merepresentasikan sisi-sisi kehidupan di sudut Asia dengan tema beragam, dari
pembuat garam terakhir di Malaysia hingga tambang emas di Tajikistan maupun trauma
tentara Amerika di Filipina. Pada perspektif ini, Yogya lewat JAFF menjadi
pintu membaca Asia.
Keempat, FFI
maupun JAFF menjadi ruang pertemuan dan dialog antargenerasi. Juri FFI, dari
Widyawati, Niniek L Karim, hingga Mouly. Di JAFF, dari David Hanan
(Australia) maupun Ishizaka Kenji (Jepang) yang telah menjadi pengamat film
Asia hingga Indonesia sejak periode ’80-’90, maupun anak-anak muda seperti
Makbul Mubarak, Joseph Cruz, Anggi Noen, Astu, Ipunk, Kamila, hingga Derek
Tan.
Kelima,
bertumbuhnya komunitas film mendorong pemerintah daerah melakukan kerja
terobosan mengelola modal sosial anak muda. Sebutlah Pemerintah Kota Yogya
lewat sesi budaya dan film tidak membuat program sendiri, namun mendorong
tumbuhnya festival yang sudah berjalan. Demikian juga, setelah aktif memberi
subsidi budaya penciptaan film pada kelompok muda, berikutnya akan memberi
subsidi penciptaan lewat terobosan program baru di JAFF untuk melahirkan
generasi baru layaknya di Berlin atau Tokyo.
Empat
perspektif di atas menunjukkan bahwa Festival Film Indonesia maupun
festival-festival serta komunitas yang bertumbuh tidaklah hanya ruang publik
berkait modal ekonomi, tetapi juga modal sosial yang besar. Modal sosial yang
di dalamnya mengandung revolusi mental tanpa jargon, yang dipenuhi oleh
hasrat-hasrat pengetahuan, keterampilan, serta ekspresi individu yang sering
penuh gugatan sebagai daya hidup yang serba khawatir terhadap pertumbuhan
yang penuh kemasan semu dan banal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar