Selasa, 09 Desember 2014

Film Indonesia

                                                         Film Indonesia

Garin Nugroho  ;   Sutradara Film
KOMPAS,  07 Desember 2014

                                                                                                                       


Sebuah bangsa diukur tidak semata ekonominya, tetapi produktivitas anak muda serta daya hidup ekspresinya. Lewat perspektif ini, maka ruang berbangsa mengalami pertumbuhan. Bangsa-bangsa yang hanya melihat pada hasil ekonomi instan, khususnya pada bidang industri kreatif, pada ujungnya melahirkan bangsa pengimpor.

Ini sebuah dialog dengan sahabat saya seorang pengamat budaya industri kreatif India dalam diskusi yang diikuti dua puluh lima disiplin ilmu dan seniman di New Delhi, berkait dengan demografi anak muda Asia (termasuk Indonesia) yang bertumbuh lebih dari 50 persen dalam kaitannya dengan industri kreatif.

Catatan di atas terasa mendapatkan maknanya berkait dengan dua peristiwa menarik, yakni Festival Film Indonesia yang berpuncak di Palembang (6 Desember 2014) dan Jogja Asia Film Festival (1-6 Desember 2014). Kedua festival tersebut memberi beberapa perspektif penting terkait produktivitas dan ekspresi berbangsa.

Pertama, workshop dan pemutaran film Festival Film Indonesia (FFI) dan Jogja Asia Film Festival (JAFF) yang ke-9 senantiasa menarik minat komunitas-komunitas film yang menjamur hingga pelosok. Menunjukkan era serba visual serta tuntutan ekspresi generasi muda visual Indonesia seiring lahirnya teknologi serba digital.

Ruang-ruang ini menjadi oasis dialog, pertumbuhan hasrat selera dan intelektual, hingga keterampilan maupun ruang publik anak muda produktif di tengah ruang konsumtif yang memenuhi kota-kota yang semakin banal.

Kedua, film Indonesia menunjukkan ciri khas pada kemampuan melakukan regenerasi yang terus-menerus di tengah beragam krisis. Simaklah film-film yang masuk nominasi FFI, di tengah konsistensi para senior film, seperti Hanung hingga Riri Riza, mampu lahir film seperti Tabularasa ataupun Cahaya dari Timur. Film karya sutradara baru ini justru terasa menjadi kuat dan memberi harapan besar dengan tema sederhana, berakar pada daya hidup lokalitas juga keberanian memilih tema maupun cara tutur serta jajaran pemain yang kuat.

Atau simak film The Sun, The Moon and The Hurricane karya Andri Cung di JAFF, memesona penonton muda dengan tema homoseksual yang berbicara tentang humanitas dengan liris yang sehari-hari sekaligus drama queen anak muda. Atau, pemutaran film pendek yang dipenuhi antrean penonton muda yang selalu melahirkan sutradara-sutradara baru. Anak-anak muda ini, di tengah riuh rendah pergantian politik, berupaya menumbuhkan produktivitas dan dialog ekspresi dengan beragam cara mencari dana dan sponsor.

Ketiga, film-film di FFI dan JAFF lalu menjadi cermin isu-isu penting Indonesia dan peta Asia. Simak film-film nominasi FFI, mulai dari tema sepak bola di Indonesia timur sebagai ruang kepahlawanan dan komunal serta katarsis anak muda, tema novel sastra di awal kebangkitan, tema representasi kekerasan yang sangat banal di kota besar, multikultur serta nilai humanitas berkait revolusi mental di kehidupan kota-kota besar Indonesia, persoalan masyarakat terasing, korupsi, kepahlawanan nasional, dan lainnya.

Sementara JAFF merepresentasikan sisi-sisi kehidupan di sudut Asia dengan tema beragam, dari pembuat garam terakhir di Malaysia hingga tambang emas di Tajikistan maupun trauma tentara Amerika di Filipina. Pada perspektif ini, Yogya lewat JAFF menjadi pintu membaca Asia.

Keempat, FFI maupun JAFF menjadi ruang pertemuan dan dialog antargenerasi. Juri FFI, dari Widyawati, Niniek L Karim, hingga Mouly. Di JAFF, dari David Hanan (Australia) maupun Ishizaka Kenji (Jepang) yang telah menjadi pengamat film Asia hingga Indonesia sejak periode ’80-’90, maupun anak-anak muda seperti Makbul Mubarak, Joseph Cruz, Anggi Noen, Astu, Ipunk, Kamila, hingga Derek Tan.

Kelima, bertumbuhnya komunitas film mendorong pemerintah daerah melakukan kerja terobosan mengelola modal sosial anak muda. Sebutlah Pemerintah Kota Yogya lewat sesi budaya dan film tidak membuat program sendiri, namun mendorong tumbuhnya festival yang sudah berjalan. Demikian juga, setelah aktif memberi subsidi budaya penciptaan film pada kelompok muda, berikutnya akan memberi subsidi penciptaan lewat terobosan program baru di JAFF untuk melahirkan generasi baru layaknya di Berlin atau Tokyo.

Empat perspektif di atas menunjukkan bahwa Festival Film Indonesia maupun festival-festival serta komunitas yang bertumbuh tidaklah hanya ruang publik berkait modal ekonomi, tetapi juga modal sosial yang besar. Modal sosial yang di dalamnya mengandung revolusi mental tanpa jargon, yang dipenuhi oleh hasrat-hasrat pengetahuan, keterampilan, serta ekspresi individu yang sering penuh gugatan sebagai daya hidup yang serba khawatir terhadap pertumbuhan yang penuh kemasan semu dan banal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar