Soal
Jam Kerja Ayah dan Ibu
Kristi Poerwandari ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
07 Desember 2014
”Mengurangi
jam kerja perempuan biar lebih bisa memperhatikan anak dan suami? Bukannya
selama ini perempuan lebih banyak berbeban majemuk, menghabiskan waktu untuk
mengurus keluarga, selain bekerja di luar rumah? Bukannya yang bertanggung
jawab mengurus anak itu ayah dan ibu, bukan hanya ibu?”
Pemerintah,
dipimpin oleh wakil presiden, sedang menggagas pengurangan jam kerja
perempuan di lembaga pemerintahan dan swasta. Alasannya, karena perempuan
memerlukan waktu untuk mendidik anak dan mendampingi suami. Menteri
menyampaikan alasan: ”Terlebih jika anak-anak masih kecil, apalagi pengantin
baru. Kalau suaminya ditinggal bagaimana?”
Perlakuan istimewa?
Bagi
sebagian perempuan yang tidak berpikir panjang, gagasan ”pengurangan jam
kerja” akan dianggap ”melindungi” dan ”memberikan perlakuan istimewa” kepada perempuan.
Bagi lebih banyak perempuan lain, gagasan ini memunculkan kekhawatiran.
Bukankah selama ini banyak perempuan sudah jungkir balik mengurus pekerjaan
mencari uang, baik bersama-sama dengan suami ataupun sebagai pencari nafkah
utama, sambil masih mengurus rumah dan anak?
Pelaku
industri, pemilik dan pemimpin perusahaan yang berpikir soal kinerja dan
nilai tambah pekerja, mungkin akan enggan mempekerjakan perempuan untuk
jabatan-jabatan penting, memberikan gaji dan tunjangan yang layak, ataupun
memberlakukan sistem jenjang karier terbuka hingga ke puncak bagi perempuan.
Alasannya: mempekerjakan perempuan tidak menguntungkan dan berbiaya lebih
tinggi, padahal perusahaan perlu mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Sayang
sekali, pemerintah berpikir mundur setelah cukup banyak pria sadar bahwa soal
mengasuh anak adalah tanggung jawab bersama. Juga setelah 30 tahun Indonesia
meratifikasi Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi PBB
untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, sering
disingkat CEDAW). CEDAW secara eksplisit menyatakan kewajiban negara untuk
memastikan dibuangnya berbagai nilai budaya dan praktik yang merugikan.
Pembakuan kaku peran jender adalah praktik merugikan, yang akan menghambat
manusia-manusia terbaik yang dimiliki Indonesia untuk menyumbangkan peran
optimalnya.
Kesetaraan substantif
Selama
ini, konsep ”kesetaraan” sering dipahami secara sempit. ”Kesetaraan formal”
dengan naif menuntut laki-perempuan harus menunjukkan performa sama untuk
dapat memperoleh hak yang sama, misalnya: aturan lembur, dinas ke luar kota
tanpa melihat bahwa situasi yang dihadapi berbeda. Ada pula konsep
”kesetaraan ekuivalen”. Ini yang tampaknya dipahami oleh pemerintah saat ini,
yakni ”adanya pembagian kerja struktural yang dianggap saling mengisi:
laki-laki bertanggung jawab utama di luar rumah, perempuan di dalam rumah”.
Maka gagasan yang ditelurkan adalah perempuan dikurangi jam kerjanya di luar
rumah agar bisa memperhatikan suami dan anak. Konsep lain adalah
”perlindungan perempuan”, misalnya melalui pelarangan perempuan bekerja di
bidang-bidang tertentu, atau pemberlakuan aturan busana perempuan, dengan
alasan ”perempuan harus dilindungi”.
Yang
jadi masalah dari semua konsep di atas adalah tolok ukur, standar atau asumsi
yang dipakai adalah kondisi laki-laki—yang tidak perlu hamil, melahirkan,
menyusui, dan secara tradisional tidak dibebani tugas utama mengurus anak dan
rumah tangga. ”Kesetaraan formal” seolah-olah netral, tetapi sebenarnya tetap
merugikan perempuan karena ia dituntut jadi ”super”, sementara tugas
reproduksi dan beban kerja domestik (mengasuh anak dan mengelola rumah
tangga) tetap menjadi tanggung jawabnya.
Cara
berpikir ”ekuivalen” tidak bicara kesetaraan karena perempuan ditempatkan
lebih banyak dalam rumah, sulit menduduki jabatan-jabatan publik yang
strategis, padahal mungkin sangat kompeten untuk itu. Sementara itu, anak
juga sangat membutuhkan kedekatan dengan ayah, tetapi dengan konsep ini
laki-laki seperti dibiasakan untuk menganggap pengasuhan anak ”urusan
perempuan”, ”tidak penting”, dan ”bukan tanggung jawab”-nya.
Konsep
”perlindungan” juga mendiskriminasi karena membatasi gerak dan kebebasan.
Apabila kita ingin situasi aman buat semua, sebaiknya orang-orang yang melakukan
pelecehan seksual atau tindak kriminal diidentifikasi dan dibuat jera, bukan
malah setengah penduduk bangsa (perempuan) dihambat aktivitasnya.
CEDAW
mengamanatkan konsep kesetaraan substantif yang sangat penting untuk
dipahami. Konsep ini tidak melihat urusan reproduksi sebagai urusan perempuan
saja. Potensi perempuan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui dengan ASI
dilihat sebagai kepentingan keberlanjutan dan penguatan bangsa. Jadi sangat
dihormati, tanpa membatasi potensi produksi dan peran aktif perempuan di
masyarakat.
Dalam
era digital ini mengapa harus membuat aturan yang tidak berbasis realitas
lapangan? Biarlah tiap keluarga mendiskusikan sendiri pembagian kerja yang
luwes di antara anggota-anggotanya. Kita dapat memikirkan solusi yang lebih
strategis, seperti memberlakukan flexi-time,
tidak hanya untuk perempuan, yang mengutamakan kreativitas dan kinerja, tanpa
mengurangi hak-hak pekerja. Atau memastikan semua lembaga pemerintah dan
swasta membuka unit penitipan anak dan ruang menyusui bagi ibu agar aturan
itu tidak sekadar jadi kebijakan di atas kertas.
Naif
sekali jika berpikir perempuan bekerja hanya untuk ”bantu-bantu suami”,
apalagi duitnya ”untuk kesenangan sendiri”. Banyak perempuan harus jadi
pencari nafkah utama keluarga sambil terus berbeban majemuk mengurus rumah
tangga. Mengasuh anak memang amat penting dan diperlukan kesadaran bahwa
mendampingi anak, mempertahankan keluarga, dan mendidik generasi penerus itu
bukan tanggung jawab perempuan saja, melainkan tugas bersama.
Saling menghormati dan saling mendukung di antara berbagai kelompok
yang berbeda dalam masyarakat itu baik tanpa perlu ada suatu tujuan
khususnya. Tetapi terlebih lagi, jika kita memang sungguh-sungguh ingin
pekerja-pekerja terbaik bangsa berperan optimal agar Indonesia dihormati dan
mampu menjalankan peran maksimal dalam era kompetisi global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar