Mengepung
Ratu Adil
Ahda Imran ; Penyair, Esais
|
KOMPAS,
07 Desember 2014
Kekuasaan dan pemberontakan selalu menjadi tradisi dialektis
yang niscaya. Terutama jika kekuasaan membuat rakyat sengsara dan putus asa,
harapan ihwal masa depan harus segera diselamatkan dengan jalan
pemberontakan. Di situ, meminjam perkataan Albert Camus, setiap ide tentang
pemberontakan meminta suatu nilai. Dalam sejarah kekuasaan di Nusantara, tradisi
pemberontakan rakyat berkelindan dengan banyak ihwal. Sebagai suatu ide,
berbagai pemberontakan rakyat di Nusantara tak bisa disendirikan dari
bagaimana masyarakat tradisional (Jawa) mengimani konstruksi waktu serta
siklus tabiat kekuasaan (Kertayuga, Tretayuga, Kaliyuga).
Konstruksi tersebut dikuatkan pula sejumlah ramalan yang diimani
sebagai janji masa depan ihwal kedatangan Ratu Adil (Erucokro, Satrio
Piningit), seorang Juru Selamat yang tersebut pula di sumber-sumber
keagamaan; Mesiah atau Imam Mahdi. Mereka inilah yang akan mengembalikan
kemakmuran masa silam, menegakkan kembali hukum-hukum suci yang dikotori oleh
kekuasaan.
Pada konteks ini, gagasan pemberontakan muncul bukan semata
sebagai reaksi atas kekuasaan, melainkan juga reaksi atas kuasa perubahan
yang diusung oleh modernitas. Kuasa yang membikin lapuk kekuasaan dan sistem
nilai lama. Di tengah kuasa perubahan itu, karena masa depan tak bisa
dirumuskan apalagi digenggam, maka narasi masa silam yang tenteram menjadi
satu-satunya realitas ideal yang menjadi harapan.
Namun, dengan utopia serupa itulah, pemberontakan dilakukan
sebagai ”perang suci”, menghadapi dua kekuasaan sekaligus; kuasa politik dan
ekonomi negara serta kuasa perubahan yang diusung modernitas. Meski
pemberontakan selalu berujung tragis, sepanjang rakyat belum merasakan
keadilan, pembangkangan akan terus muncul, begitu pula kemunculan sosok yang
mengaku sebagai Ratu Adil dan nabi pribumi.
Inilah yang mengemuka dalam Borobudur
Writers and Culture Festival (BWCF) 2014 dengan tema ”Ratu Adil: Kuasa dan Pemberontakan di Nusantara” di kawasan
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 12-15 November. Selama tiga hari
festival ini mengepung Ratu Adil dalam ruang seminar dan di panggung kesenian
dua desa lereng Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Ini festival tahunan yang
ketiga kalinya diadakan oleh Yayasan Samana, diikuti oleh para penulis,
sejarawan, mahasiswa, komunitas kesenian, dan berbagai kalangan pegiat
budaya.
Kuasa perubahan
Di forum seminar, Ratu Adil diurai seraya memperluasnya ke
berbagai pemikiran ihwal hakikat pemberontakan di Nusantara. Uraian Dr Peter
Carey tentang Pangeran Diponegoro, gerakan mahdiisme Tengku Bantaqiyah di
Aceh (Dr Otto Syamsuddin Ishak), pergerakan Ratu Adil di Biak Papua (Dr Enos
H Rumansara), hingga telaah menarik Jean Couteau tentang gerakan Ratu Adil di
Bali. Pula begitu dengan pembacaan Dr Setyo Wibowo yang membandingkan tradisi
pemberontakan di Jawa dan Yunani. Seluruh gerakan pembangkangan itu tidak
sekadar minta diingat sebagai sekelompok orang yang mengangkat senjata
melawan dominasi penguasa, tetapi tidak bisa disendirikan dengan konsep waktu
dalam masyarakat tradisional di tengah kuasa perubahan.
Soalnya mungkin bukan hanya masa silam yang ditaruh sebagai
realitas ideal, melainkan kegagalan mentransformasikan harapan ke dalam kuasa
perubahan. Terlebih manakala kuasa itu adalah kuasa modernitas yang meminta
pembacaan kritis terhadap mitos dan narasi masa silam. Pada konteks inilah
Ratuadilisme meninggalkan jejaknya hingga hari ini dalam konstruksi identitas
kebangsaan dan agama.
Kuasa perubahan adalah hukum besi kebudayaan. Hukum yang pada
tabiatnya yang lain melahirkan cara pembacaan yang berbeda atas kepercayaan
masa silam yang diimani sebagai kebenaran absolut. Dari cara pembacaan inilah
dalam masyarakat tradisional muncul bentuk pembangkangan berikutnya atas
kuasa ortodoksi agama, yakni mereka yang mendaku sebagai nabi seperti diurai
oleh Dr Al Makin.
Panggung Ratu Adil
Ratu Adil lalu dibawa ke Dusun Gajayan di lereng Gunung Merbabu
dan Desa Tutup Ngisor di lereng Gunung Merapi. Selama dua malam, bersama
warga desa Ratu Adil ditaruh di panggung pertunjukan. Ratu Adil itu dikepung
dalam pembacaan puisi, monolog, tarian, dan nyanyian. Kurasi festival
berupaya menemukan tautan antara perbincangan di ruang seminar dengan
kesadaran yang direpresentasikan dalam karya dan penampilan para seniman.
Tentu saja itu menjadi niscaya sebab praktik-praktik seni
senantiasa memaktubkan pemberontakan demi berhadapan dengan kuasa perubahan.
Setidaknya itu terlihat pada tema karya para seniman yang diundang, mulai
dari pembangkangan Kartosuwiryo dalam pembacaan puisi Triyanto Triwikromo
hingga pengakuan topeng seorang anggota DPR dalam monolog Sha Ine Febriyanti.
Tema-tema yang luluh ke dalam realitas tanpa menjadikan harapan sebagai
khotbah.
Tautan itu juga terasa benar dalam sejumlah nomor tarian yang
disuguhkan oleh Komunitas Lima Gunung. Tarian yang memadukan bentuk
idiom-idiom ritual tradisi lokal dan Islam yang merepresentasikan pembangkangan.
Pandangan mistis magis dalam kepercayaan masyarakat tradisional serta agama
merupakan watak dari pembangkangan Ratu Adil. Entakan kaki dan tubuh para
penari yang liat dan tegas, barisan para prajurit perempuan, atau kuasa jahat
yang dilambangkan dengan topeng dan perlawanan terhadap mereka.
Pada bentuknya yang lain beberapa nomor tarian hadir tak terduga
demi menjawab kuasa perubahan. Termasuk kuasa yang tidak dihindari melainkan
dirangkum demi membangkang pada kategorisasi identitas masa silam yang beku.
Sebutlah, tarian para perempuan desa dengan iringan karawitan Jawa yang
memainkan melodi lagu Batak ”Si Nanggar Tulo Ha Tulo” di panggung Padepokan
Tjipto Budojo Desa Tutup Ngisor.
Mengepung Ratu Adil dalam ruang seminar dan peristiwa seni selama
tiga hari itu akhirnya menjadi cara berikutnya untuk merayakan pemberontakan
dan merawat harapan. Soalnya bukan lagi pertanyaan, apakah pemikiran tentang
Ratu Adil itu positif atau negatif dalam realitas hari ini? Tetapi, bagaimana
mentransformasikan konsep Ratu Adil menjadi harapan baru demi menyiasati
berbagai kuasa perubahan yang terus didesakkan oleh modernitas. Bukan harapan
yang menyangkal kuasa perubahan seraya memandang masa lalu sebagai masa
depan, seperti gambar mantan Presiden Soeharto yang banyak muncul menjelang
pemilu lalu: piye kabare, enak jamanku
toh? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar