Rabu, 10 Desember 2014

Eklektisisme Islam Indonesia

                                    Eklektisisme Islam Indonesia

Masdar Hilmy  ;   Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya
KOMPAS,  09 Desember 2014

                                                                                                                       


DILIHAT dari sisi apa pun, sangat sulit disangkal bahwa Islam di Indonesia adalah versi keberagamaan yang eklektik. Dalam bahasa sederhana: ”Islam campur-campur”. Sekalipun demikian, perlu digarisbawahi, sejak awal eklektisisme Islam Indonesia bukanlah eklektisisme serampangan, gegabah, atau asal comot. Ia adalah eklektisisme yang elegan, penuh kearifan, dan mencerahkan.

Pola keberagamaan eklektik Islam Indonesia banyak berlangsung di tingkat artefak dan ideofak. Jika mau dikodifikasi, eklektisisme Islam Indonesia merupakan hamparan realitas faktual yang membentang sepanjang gugusan Nusantara.

Modus persilangan budaya dapat dijumpai pada kosmologi Muslim tentang ruang, waktu, dan artefak fisik sebagaimana tecermin dalam arsitektur rumah ibadah. Produk akhir dari persilangan itu dapat diterima sebagai realitas faktual, tetapi proses pembentukannya sering absen dari pencernaan kognitif umat Muslim pada umumnya.

Kelumrahan antropologis

Begitu eklektisisme tersebut diterima sebagai realitas faktual, pembelahan dan pemilahan anasir keagamaan dari anasir sosial-budaya hampir-hampir merupakan kemustahilan antropologis. Hal ini karena kedua anasir tersebut telah menyatu-padu secara kohesif ke dalam struktur keberagamaan umat Muslim di Tanah Air. Setiap Muslim merayakan entitas keberagamaan dimaksud sebagai kelumrahan antropologis belaka tanpa harus meributkan kembali sisi genealogis setiap elemen.

Pada derajat tertentu, modus keberagamaan eklektik tersebut bahkan dirayakan juga oleh tiap orang, apa pun latar belakang agama dan budayanya. Setiap orang merasa memiliki dan menjadi bagian dari entitas tersebut tanpa harus menyoal kembali dari mana asal-usulnya. Artinya, efek liminalitas dari keberagamaan eklektik tersebut tak dirasakan segenap warga masyarakat, tetapi justru menjadi faktor kohesi sosial di kalangan mereka. Setiap orang dengan tulus dan bangga diafiliasikan kepadanya.

Sebagaimana dicatat oleh Denys Lombard (Nusa Jawa: Jaringan Asia, 2005:237), penyatuan sistem penanggalan Jawa dan Hijriah oleh Sultan Agung menjadi contoh kecil betapa eklektisisme Islam dapat bekerja dengan baik di Jawa melalui kosmologi tentang waktu. Atau, ritus selamatan, bersih desa, dan festival budaya lainnya menjadi semacam focal point dengan anasir keislaman dan kejawaan bersatu padu. Inilah bentuk-bentuk local genius keberagamaan di Indonesia yang merefleksikan eklektisisme Islam yang penuh makna dan kearifan kultural.

Memang, modus keberagamaan eklektik semacam ini secara peyoratif pernah ”disindir” oleh Clifford Geertz (The Religion of Java, 1960) sebagai keberagamaan sinkretis atau tidak murni. Dikatakan peyoratif karena saat menyebut Islam Jawa, Geertz sebenarnya tengah menunjukkan versi keberagamaan yang terdegradasi dari keberagamaan ”Islam murni” yang hanya ada di episentrumnya, Jazirah Arab. Sebagaimana dimaklumi, di dalam Islam Indonesia, khususnya Islam Jawa, ditemui banyak elemen lokal yang dianggapnya tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan Islam.

Dalam formulasi yang hampir sama, Ernest Gellner (Muslim Society, 1981)—mengikuti Robert Redfield (The Little Community and Peasant Society and Culture, 1960)—mengklasifikasi Islam ke dalam dua manifestasi: Islam tradisi besar (great tradition) dan Islam tradisi kecil (little tradition). Islam tradisi besar adalah versi keberagamaan yang terambil dari sumber-sumbernya yang otentik, yakni Kitab Suci. Sementara itu, Islam tradisi kecil adalah versi keberagamaan populer yang keberadaannya dianggap tidak selalu sejalan dengan Islam tradisi besar. Diskrepansi keberagamaan ini terjadi karena terdapat serangkaian kontradiksi dan inkonsistensi di antara keduanya.

Sejalan dengan Geertz, Gellner juga menempatkan Islam tradisi besar dalam posisinya yang lebih adiluhung dan otentik ketimbang Islam tradisi kecil. Klasifikasi biner semacam ini tentu saja tidak menyelesaikan masalah, bahkan misleading, terutama ketika umat Muslim dihadapkan pada dialektika teks- konteks yang begitu rumit.

Selain itu, klasifikasi biner tersebut hanya menahbiskan pola keberagamaan deduktif; teks bersifat judgmental terhadap realitas sosial. Tidak pernah berlaku sebaliknya; praksis keberagamaan menjadi faktor pemerkaya dalam pembacaan atas teks (keberagamaan induktif).

Logosentrisme monokultur

Salah satu kekuatan modus keberagamaan eklektik adalah kemampuannya meruangkan perbedaan dan multikulturalisme. Karakter terbuka sekaligus adesif memungkinkan Islam menyerap anasir di luar dirinya secara mudah. Namun, perlu diingat, Islam eklektik tetap memperhatikan komposisi ideal dalam sebuah persilangan budaya antara elemen inti dan elemen pinggiran. Dalam konteks ini, proses penyerapan sebenarnya berlangsung hanya di tingkat pinggiran. Sementara itu, aspek fondasional agama yang merupakan elemen inti tetap dibiarkan asli sebagaimana adanya.

Namun, keberadaan Islam eklektik akhir-akhir ini menghadapi ancaman dari logosentrisme monokultur, yakni modus keberagamaan picik ala ”kacamata kuda”. Arkoun (2002:31) memaknai logosentrisme sebagai ”tendensi untuk membatasi seluruh pengetahuan pada sekumpulan teks keagamaan, asumsi, dan tafsir diskursif tertentu, beserta seluruh pandangan dunia sosial/budaya/politik yang menyertainya”. Modus keberagamaan logosentris tidak mendasarkan dirinya pada argumentasi rasional, tetapi pada sikap narrow-mindedness dan ketakutan atas hal-hal baru (xenophobia).

Sikap dan pandangan kaum logosentris hanya mengedepankan aspek tekstualitas literal sekaligus mengesampingkan pesan-pesan substantif. Segala sesuatu yang tidak selaras dengan ujaran harfiah Kitab Suci, atau tidak disebut secara eksplisit di dalamnya, akan dihakimi dosa. Sebaliknya, sebuah ujaran harfiah Kitab Suci akan tetap direalisasikan sekalipun keberadaannya tidak lagi relevan dengan semangat zamannya. Modus keberagamaan logosentris semacam ini belakangan tengah membuncah di Tanah Air seiring munculnya protes sekelompok orang terhadap pemimpin bukan atas argumentasi kinerja kepemimpinannya, melainkan karena identitas keagamaannya (baca: non-Muslim).

Selain itu, kelompok ini juga berargumen bahwa Indonesia bukan negara Islam. Landasan ideal dan konstitusional Indonesia, Pancasila dan UUD 1945, dianggap bukan representasi Islam hanya karena keduanya merupakan produk pemikiran manusia. Mereka alpa bahwa jika dijabar secara rinci, tidak ada satu butir-butir pun penjelasan kedua dasar tersebut yang bertentangan dengan Islam. Padahal, di atas kedua landasan tersebut, Indonesia kini menjadi sebuah negara Islam(i) dalam versi yang berbeda karena Islam hadir bukan dalam semangat legal-formalnya, melainkan dalam semangat profetiknya.

Inilah pesan moral yang coba diangkat melalui Annual International Conference on Islamic Studies yang dihelat IAIN Samarinda pada 21-23 November 2014 di Balikpapan, Kalimantan Timur, dengan tema: ”Responding the Challenges of Multicultural Societies: The Contribution of Indonesian Islamic Studies.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar