Eklektisisme
Islam Indonesia
Masdar Hilmy ; Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel,
Surabaya
|
KOMPAS,
09 Desember 2014
DILIHAT
dari sisi apa pun, sangat sulit disangkal bahwa Islam di Indonesia adalah
versi keberagamaan yang eklektik. Dalam bahasa sederhana: ”Islam
campur-campur”. Sekalipun demikian, perlu digarisbawahi, sejak awal
eklektisisme Islam Indonesia bukanlah eklektisisme serampangan, gegabah, atau
asal comot. Ia adalah eklektisisme yang elegan, penuh kearifan, dan
mencerahkan.
Pola
keberagamaan eklektik Islam Indonesia banyak berlangsung di tingkat artefak
dan ideofak. Jika mau dikodifikasi, eklektisisme Islam Indonesia merupakan
hamparan realitas faktual yang membentang sepanjang gugusan Nusantara.
Modus
persilangan budaya dapat dijumpai pada kosmologi Muslim tentang ruang, waktu,
dan artefak fisik sebagaimana tecermin dalam arsitektur rumah ibadah. Produk
akhir dari persilangan itu dapat diterima sebagai realitas faktual, tetapi
proses pembentukannya sering absen dari pencernaan kognitif umat Muslim pada
umumnya.
Kelumrahan antropologis
Begitu
eklektisisme tersebut diterima sebagai realitas faktual, pembelahan dan
pemilahan anasir keagamaan dari anasir sosial-budaya hampir-hampir merupakan
kemustahilan antropologis. Hal ini karena kedua anasir tersebut telah
menyatu-padu secara kohesif ke dalam struktur keberagamaan umat Muslim di
Tanah Air. Setiap Muslim merayakan entitas keberagamaan dimaksud sebagai kelumrahan
antropologis belaka tanpa harus meributkan kembali sisi genealogis setiap
elemen.
Pada
derajat tertentu, modus keberagamaan eklektik tersebut bahkan dirayakan juga
oleh tiap orang, apa pun latar belakang agama dan budayanya. Setiap orang
merasa memiliki dan menjadi bagian dari entitas tersebut tanpa harus menyoal
kembali dari mana asal-usulnya. Artinya, efek liminalitas dari keberagamaan
eklektik tersebut tak dirasakan segenap warga masyarakat, tetapi justru
menjadi faktor kohesi sosial di kalangan mereka. Setiap orang dengan tulus
dan bangga diafiliasikan kepadanya.
Sebagaimana
dicatat oleh Denys Lombard (Nusa Jawa:
Jaringan Asia, 2005:237), penyatuan sistem penanggalan Jawa dan Hijriah
oleh Sultan Agung menjadi contoh kecil betapa eklektisisme Islam dapat
bekerja dengan baik di Jawa melalui kosmologi tentang waktu. Atau, ritus
selamatan, bersih desa, dan festival budaya lainnya menjadi semacam focal point dengan anasir keislaman
dan kejawaan bersatu padu. Inilah bentuk-bentuk local genius keberagamaan di Indonesia yang merefleksikan
eklektisisme Islam yang penuh makna dan kearifan kultural.
Memang,
modus keberagamaan eklektik semacam ini secara peyoratif pernah ”disindir”
oleh Clifford Geertz (The Religion of
Java, 1960) sebagai keberagamaan sinkretis atau tidak murni. Dikatakan
peyoratif karena saat menyebut Islam Jawa, Geertz sebenarnya tengah
menunjukkan versi keberagamaan yang terdegradasi dari keberagamaan ”Islam
murni” yang hanya ada di episentrumnya, Jazirah Arab. Sebagaimana dimaklumi,
di dalam Islam Indonesia, khususnya Islam Jawa, ditemui banyak elemen lokal
yang dianggapnya tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan Islam.
Dalam formulasi
yang hampir sama, Ernest Gellner (Muslim
Society, 1981)—mengikuti Robert Redfield (The Little Community and Peasant Society and Culture, 1960)—mengklasifikasi
Islam ke dalam dua manifestasi: Islam tradisi besar (great tradition) dan Islam tradisi kecil (little tradition). Islam tradisi besar adalah versi keberagamaan
yang terambil dari sumber-sumbernya yang otentik, yakni Kitab Suci. Sementara
itu, Islam tradisi kecil adalah versi keberagamaan populer yang keberadaannya
dianggap tidak selalu sejalan dengan Islam tradisi besar. Diskrepansi
keberagamaan ini terjadi karena terdapat serangkaian kontradiksi dan
inkonsistensi di antara keduanya.
Sejalan
dengan Geertz, Gellner juga menempatkan Islam tradisi besar dalam posisinya
yang lebih adiluhung dan otentik ketimbang Islam tradisi kecil. Klasifikasi
biner semacam ini tentu saja tidak menyelesaikan masalah, bahkan misleading,
terutama ketika umat Muslim dihadapkan pada dialektika teks- konteks yang
begitu rumit.
Selain
itu, klasifikasi biner tersebut hanya menahbiskan pola keberagamaan deduktif;
teks bersifat judgmental terhadap realitas sosial. Tidak pernah berlaku
sebaliknya; praksis keberagamaan menjadi faktor pemerkaya dalam pembacaan
atas teks (keberagamaan induktif).
Logosentrisme monokultur
Salah
satu kekuatan modus keberagamaan eklektik adalah kemampuannya meruangkan
perbedaan dan multikulturalisme. Karakter terbuka sekaligus adesif
memungkinkan Islam menyerap anasir di luar dirinya secara mudah. Namun, perlu
diingat, Islam eklektik tetap memperhatikan komposisi ideal dalam sebuah
persilangan budaya antara elemen inti dan elemen pinggiran. Dalam konteks
ini, proses penyerapan sebenarnya berlangsung hanya di tingkat pinggiran.
Sementara itu, aspek fondasional agama yang merupakan elemen inti tetap
dibiarkan asli sebagaimana adanya.
Namun,
keberadaan Islam eklektik akhir-akhir ini menghadapi ancaman dari
logosentrisme monokultur, yakni modus keberagamaan picik ala ”kacamata kuda”.
Arkoun (2002:31) memaknai logosentrisme sebagai ”tendensi untuk membatasi
seluruh pengetahuan pada sekumpulan teks keagamaan, asumsi, dan tafsir
diskursif tertentu, beserta seluruh pandangan dunia sosial/budaya/politik
yang menyertainya”. Modus keberagamaan logosentris tidak mendasarkan dirinya
pada argumentasi rasional, tetapi pada sikap narrow-mindedness dan ketakutan atas hal-hal baru (xenophobia).
Sikap
dan pandangan kaum logosentris hanya mengedepankan aspek tekstualitas literal
sekaligus mengesampingkan pesan-pesan substantif. Segala sesuatu yang tidak
selaras dengan ujaran harfiah Kitab Suci, atau tidak disebut secara eksplisit
di dalamnya, akan dihakimi dosa. Sebaliknya, sebuah ujaran harfiah Kitab Suci
akan tetap direalisasikan sekalipun keberadaannya tidak lagi relevan dengan
semangat zamannya. Modus keberagamaan logosentris semacam ini belakangan tengah
membuncah di Tanah Air seiring munculnya protes sekelompok orang terhadap
pemimpin bukan atas argumentasi kinerja kepemimpinannya, melainkan karena
identitas keagamaannya (baca: non-Muslim).
Selain
itu, kelompok ini juga berargumen bahwa Indonesia bukan negara Islam.
Landasan ideal dan konstitusional Indonesia, Pancasila dan UUD 1945, dianggap
bukan representasi Islam hanya karena keduanya merupakan produk pemikiran
manusia. Mereka alpa bahwa jika dijabar secara rinci, tidak ada satu
butir-butir pun penjelasan kedua dasar tersebut yang bertentangan dengan
Islam. Padahal, di atas kedua landasan tersebut, Indonesia kini menjadi
sebuah negara Islam(i) dalam versi yang berbeda karena Islam hadir bukan
dalam semangat legal-formalnya, melainkan dalam semangat profetiknya.
Inilah pesan moral yang coba diangkat melalui Annual International Conference on Islamic Studies yang dihelat
IAIN Samarinda pada 21-23 November 2014 di Balikpapan, Kalimantan Timur,
dengan tema: ”Responding the Challenges
of Multicultural Societies: The Contribution of Indonesian Islamic Studies.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar