Menjadi
Pejabat
Sukardi Rinakit ; Chairman Soegeng Sarjadi Syndicate
|
KOMPAS,
09 Desember 2014
MENARIK
mencermati pemikiran Bupati Boyolali Seno Samodro. Dalam obrolan kami sambil
menikmati jajanan tradisional di sela-sela gerimis, Jumat (5/12) sore, dia
mengatakan bahwa jabatan bupati, wali kota, gubernur, dan presiden sebaiknya
satu periode saja. Ibarat membangun masjid atau katedral, mereka cukup
meletakkan satu batu bata. Biar pemimpin berikutnya yang melanjutkan.
Gagasan
itu tentu bertentangan dengan logika umum yang menginginkan masa jabatan
kepala daerah dan presiden dua periode agar terjadi kesinambungan dalam
implementasi kebijakan. Bagi Seno Samodro, siapa pun yang mendapatkan
kesempatan itu kecenderungannya hanya akan menikmati kebun mawar kekuasaan
pada periode kedua. Kinerjanya pasti melemah.
Selain
itu, untuk persiapan kontestasi pada periode kedua, mereka juga memerlukan
dana kampanye. Apabila dana cekak, perilaku koruptif kemungkinan besar akan
terjadi. Situasi akan lebih buruk apabila petahana juga berkehendak
mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan pada masa kampanye periode
pertama. Pendeknya, menata Republik akan lebih mudah apabila jabatan politik
dipanggul satu kali saja. Ini akan memupus patronase akut.
Dalam
perspektif budaya politik, pemikiran itu bisa dibenarkan. Secara kesejarahan,
bangsa Indonesia dibangun dari kultur kerajaan yang memandang kekuasaan
bersifat tunggal dan tidak terbagi, jika tidak boleh disebut absolut. Siapa
pun yang berada dalam lingkaran kekuasaan mendapatkan kehormatan dan hak-hak
istimewa.
Dalam
derajat tertentu, perpecahan Partai Golkar juga merupakan bagian dari upaya
untuk mempertahankan kekuasaan yang bersifat tunggal dan pemenuhan hak-hak
istimewa itu. Dengan istilah lain, Aburizal Bakrie menghendaki dua kali
kepemimpinan. Untuk itu, dia telah membangun patronase guna mengamankan
kepentingannya.
Tidak
mengherankan apabila dia berkemampuan menggerakkan pendukungnya untuk
menyelenggarakan Musyawarah Nasional IX di Nusa Dua, Bali, dan dipilih secara
aklamasi. Ia juga memecat para politisi Golkar yang tergabung dalam Presidium
Penyelamat Partai. Sebaliknya, kubu lain mencoba menggeliat melakukan
perlawanan. Mereka mengibarkan bendera nilai-nilai demokrasi. Sikap politik
Aburizal Bakrie yang mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi
sasaran tembak. Demikian juga dengan fenomena aklamasi pemilihannya. Mereka
berargumen Golkar tidak boleh menjadi pengkhianat demokrasi.
Untuk
membuktikan keseriusan perlawanan mereka, Presidium mengadakan Munas IX
tandingan di Ancol, Jakarta. Di sini, mekanisme terbuka dilakukan sebagai
peluru yang dibidikkan ke Aburizal Bakrie yang dipilih secara aklamasi. Agung
Laksono akhirnya terpilih sebagai ketua umum secara demokratis mengalahkan
Priyo Budi Santoso dan Agus Gumiwang Kartasasmita.
Fenomena
keterbelahan Golkar tersebut, sama dengan hasrat politik para bupati, wali
kota, gubernur, dan presiden untuk mempertahankan kekuasaan selama
memungkinkan (sesuai dengan aturan adalah dua periode), sebenarnya berakar
jauh dalam sosialisasi keluarga, sekolah, dan lingkungan.
Para
orangtua, misalnya, meskipun bangsa ini telah merdeka dan menjelma menjadi
republik, secara umum dan tradisional tetap saja menginginkan anaknya dadi
wong (menjadi orang). Maknanya, menjadi pegawai negeri, pejabat pemerintah,
dan dalam perkembangannya termasuk menjadi ketua partai politik. Harapan
orangtua tanpa kita sadari menyelusup ke dalam alam bawah sadar dan menjadi
cita-cita kita sendiri.
Tidak
mengherankan apabila banyak orang berkeinginan menjadi pejabat. Mereka
berebut mendirikan partai politik dan mencalonkan diri menjadi presiden. Di
tingkat lebih rendah, banyak orang bergabung ke dalam partai untuk bisa maju
memperebutkan kursi eksekutif ataupun legislatif. Bahkan, banyak orang
mendukung calon presiden bukan karena cita-cita luhur ingin melihat bangsa
Indonesia lebih adil dan makmur, melainkan karena ingin jadi menteri.
Sehubungan
dengan hal tersebut, penyatuan hati dan tangan mereka untuk bekerja bagi
rakyat patut dipertanyakan. Hal itu karena cita-cita mereka sejak kecil
adalah sekadar menjadi pejabat dan bukan bekerja untuk rakyat. Setelah
menjadi pejabat, mereka merasa cita-citanya sudah tercapai. Mereka miskin
inisiatif, malas melayani rakyat, dan menolak hak rakyat yang ingin terlibat
dalam pembuatan kebijakan.
Padahal,
sebagai pejabat, meminjam istilah yang mencuat dalam pertunjukan seni di Omah
Petruk asuhan Romo Sindhunata, Karang Klethak, Pakem, Yogyakarta, seharusnya
tidak hanya melihat perikehidupan rakyat dengan mata terbuka, tetapi juga
dengan mata hati. Mata terbuka justru harus ditutup karena semu dan sering
menipu. Sebaliknya, mata hati ibarat Mbok Turah yang tidak pernah kehabisan
rezeki meskipun dibagikan kepada sebanyak mungkin orang yang susah dan
miskin.
Kultur kekuasaan yang bersifat tunggal dan tak terbagi secara hipotesis
memang membuka peluang pejabat hanya membangun patronase dan tidak bekerja
keras pada periode kedua. Oleh karena itu, kontrol media dan masyarakat sipil
terhadap kinerja mereka adalah mutlak. Tanpa itu, rakyat akan pesimistis
karena menyaksikan elite yang tidak bekerja untuk mereka, tetapi justru sibuk
saling membuat rapat tandingan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar