Rabu, 10 Desember 2014

Juru Bicara Presiden

                        Juru Bicara Presiden

Agus Sudibyo  ;   Redaktur Pelaksana Jurnal Prisma;
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
MEDIA INDONESIA,  09 Desember 2014

                                                                                                                       


PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) ialah tokoh yang terbiasa menghadapi sendiri kerumunan wartawan. Jokowi sudah lama menjadi mediadarling dan masih terus demikian sejauh ini. Sebagai tokoh publik, Jokowi sudah terpola untuk selalu menjaga keakraban dengan pers. Bukan semata-mata karena kesengajaan untuk pencitraan diri, melainkan juga karena kebiasaan yang sudah inheren dan telah lama dipraktikkan. Namun, di sisi lain, seorang presiden idealnya tidak perlu terlalu sering berinteraksi langsung dengan pers. Beban tanggung jawab dan bobot persoalan yang dihadapi seorang presiden jelas berbeda dengan seorang wali kota atau gubernur. Tanpa bermaksud menjauhi pers, seorang presiden cukup bertemu dengan pers ketika perlu menjelaskan hal-hal yang bersifat strategis atau fundamental saja.

Dalam konteks itulah, wacana tentang pemilihan juru bicara presiden perlu diletakkan. Jika bertolak dari kenyataan bahwa Presiden Jokowi ialah sumber berita yang ‘baik’, relatif tidak memiliki masalah media relations dan gemar melakukan blusukan ke mana-mana, sepertinya Presiden tidak membutuhkan juru bicara, dan tidak membutuhkan fungsi perantara. Dalam dirinya sudah tersimpan potensi dan fakta seorang sumber berita yang baik dan produktif.

Namun, sekali lagi, pertanyaannya ialah ‘apa iya seorang presiden harus setiap saat bertemu dengan wartawan yang melakukan doorstop?’. Apa perlu presiden menjelaskan sendiri berbagai persoalan kepada masyarakat? Bukankah urusan sebagai kepala negara sangat banyak, kompleks, dan membutuhkan pikiran dan konsentrasi? Pada titik ini, saya setuju Presiden Jokowi perlu mengangkat juru bicara. Persoalannya kemudian, pada posisi mana juru bicara itu akan diletakkan dalam fungsi ketatanegaraan, sejauh mana ruang lingkup tugasnya, dan siapa yang layak memerankannya?

Tumpang-tindih

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada titik ini. Pertama, harus dihindari tumpang-tindih antara menteri-menteri dan juru bicara presiden dalam menjalankan fungsi komunikasi publik. Perlu diperhatikan, para menteri sesungguhnya berada dalam posisi ‘juru bicara’ pemerintah sekaligus juru bicara presiden. Para menteri memiliki otoritas untuk berhadapan langsung dengan pers, dengan masyarakat, guna menjelaskan sikap, keputusan, atau rencana-rencana pemerintah. Hal itu dapat dilakukan menteri atas baik arahan langsung presiden maupun atas inisiatifnya sendiri. Dalam konteks itu, sesungguhnya praktis pemerintah atau presiden telah memiliki juru bicara untuk semua bidang persoalan. Seakan-akan tidak ada yang tersisa lagi persoalan yang perlu dijelaskan sang juru bicara presiden.

Hanya persoalannya ialah jika belajar dari pemerintahan SBY, para menteri sering menonjolkan agenda pribadi atau agenda partai politik pengusungnya. Alih-alih meringankan beban komunikasi politik Presiden SBY, para menteri justru gemar mem bikin kontroversi sendiri dan menambah beban persoalan dalam kaitan dengan opini publik. Hal itu yang perlu diantisipasi pada Presiden Jokowi sekaligus menjustifi kasi perlunya juru bicara presiden. Dengan interaksi yang lebih intens dengan presiden, dapat diasumsikan juru bicara akan lebih precise dalam menjelaskan sikap, keinginan, dan keputusan presiden.

Meskipun demikian, perlu ada pengkhususan tentang apa yang menjadi tugas juru bicara presiden. Hal-hal apa yang harus mereka sampaikan kepada khalayak, kapan harus berbicara, dan sejauh mana harus bicara. Koordinasi dengan menteri-menteri sangat diperlukan, demikian juga dengan pembagian peranan antara juru bicara presiden dan menteri-menteri sebagai sesama ‘juru bicara’. Karena sudah ada menteri-menteri yang sesungguhnya juga menjadi juru bicara pemerintah, dapat disimpulkan bahwa presiden tidak membutuhkan terlalu banyak juru bicara. Sedikit juru bicara, tetapi efektif dan kapabel, itu yang dibutuhkan Presiden Jokowi.

Kuasai persoalan

Kedua, seorang juru bicara presiden harus memenuhi kriteria kompetensi komunikatif dan kriteria intelektualitas. Penting untuk memilih juru bicara presiden yang sudah dikenal luas masyarakat, berpenampilan diri menarik, terbiasa muncul di ruang publik, dan mumpuni dalam hal public speaking dan media relations. Namun, kompetensi komunikatif harus diimbangi dengan intelektualitas yang memadahi. Seorang juru bicara presiden, sebagaimana presiden, memang tidak mungkin menguasai banyak persoalan.

Akan tetapi, kondisi menuntutnya untuk mampu memahami banyak persoalan dalam waktu yang cepat. Di sini dibutuhkan kecerdasan, kerendahhatian, dan kerja keras. Patut dicatat, para juru bicara presiden akan menghadapi publik yang kritis, sinis, dan penuntut.

Menteri Penerangan Harmoko pada eranya sesungguhnya ialah juru bicara presiden yang cukup mumpuni. Ia selalu pasang badan melindungi Presiden Soeharto dari berbagai kontroversi dan kritik publik. Namun, kemudian muncul olok-olok ‘hari-hari omong kosong’, merujuk kepada kondisi seseorang berbicara tentang hal-hal yang sesungguhnya tidak dia pahami benar sehingga apa yang diucapkannya dianggap tidak bermakna apa-apa.

Ketiga, selain persoalan juru bicara presiden, yang tidak kalah penting ialah sebuah tim yang merancang dan melaksanakan strategi komunikasi publik Presiden. Tim yang selalu menyiapkan apa pun yang hendak dipertunjukkan dan disampaikan Presiden di depan khalayak. Sebagai contoh, Presiden Jokowi suka berpidato tanpa teks. Namun, pidato tanpa teks selalu berisiko salah omong atau silat lidah. Pidato dengan teks memang terkesan monoton dan menjemukan, tetapi lebih menjamin kepastian dan kelengkapan. Toh seorang presiden tidak hanya harus tampil sebagai figur yang akrab dan tak berjarak dengan khalayaknya, tetapi juga harus tetap tampil secara formal dan institusional.

Presiden Jokowi telah berpidato dalam bahasa Inggris di forum internasional. Berpidato dalam bahasa Inggris tentu bukan urusan yang mudah dilakukan, apalagi jika tanpa teks. Berpidato dalam bahasa sendiri juga perlu dipertimbangkan guna menegaskan identitas kebangsaan serta untuk menjamin kejelasan dan kelayakan berbicara.

Singkat kata, perlu ada sebuah tim yang membuat assessment dan masukan untuk Presiden tentang hal-hal tersebut, tanpa perlu banyak mengubah karakter dasar Presiden dalam berbicara di depan publik. Kapan Presiden harus berpidato dengan teks, kapan bisa menyapa hadirin tanpa teks? Kapan berpidato dalam bahasa sendiri atau bahasa Inggris di forum internasional? Hal itu perlu diperhitungkan secara cermat oleh sebuah tim, dengan juru bicara presiden menjadi bagian di dalamnya.

Sangat mungkin tim itu secara formal atau informal sudah dibentuk. Namun, karena pemerintahan baru berjalan beberapa minggu, belum begitu terlihat kinerjanya dalam menopang penampilan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi sedang menghadapi tuntutan publik sekaligus tekanan politik yang jauh lebih besar daripada presiden sebelumnya. Kecermatan dan kesigapan dalam menjalankan strategi media relations dan komunikasi publik menjadi sangat menentukan dalam kondisi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar