Juru
Bicara Presiden
Agus Sudibyo ; Redaktur Pelaksana Jurnal Prisma;
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Desember 2014
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) ialah
tokoh yang terbiasa menghadapi sendiri kerumunan wartawan. Jokowi sudah lama
menjadi mediadarling dan masih terus demikian sejauh ini. Sebagai tokoh
publik, Jokowi sudah terpola untuk selalu menjaga keakraban dengan pers. Bukan
semata-mata karena kesengajaan untuk pencitraan diri, melainkan juga karena
kebiasaan yang sudah inheren dan telah lama dipraktikkan. Namun, di sisi
lain, seorang presiden idealnya tidak perlu terlalu sering berinteraksi
langsung dengan pers. Beban tanggung jawab dan bobot persoalan yang dihadapi
seorang presiden jelas berbeda dengan seorang wali kota atau gubernur. Tanpa
bermaksud menjauhi pers, seorang presiden cukup bertemu dengan pers ketika
perlu menjelaskan hal-hal yang bersifat strategis atau fundamental saja.
Dalam konteks itulah, wacana
tentang pemilihan juru bicara presiden perlu diletakkan. Jika bertolak dari
kenyataan bahwa Presiden Jokowi ialah sumber berita yang ‘baik’, relatif
tidak memiliki masalah media relations dan gemar melakukan blusukan ke
mana-mana, sepertinya Presiden tidak membutuhkan juru bicara, dan tidak
membutuhkan fungsi perantara. Dalam dirinya sudah tersimpan potensi dan fakta
seorang sumber berita yang baik dan produktif.
Namun, sekali lagi,
pertanyaannya ialah ‘apa iya seorang presiden harus setiap saat bertemu
dengan wartawan yang melakukan doorstop?’.
Apa perlu presiden menjelaskan sendiri berbagai persoalan kepada masyarakat?
Bukankah urusan sebagai kepala negara sangat banyak, kompleks, dan
membutuhkan pikiran dan konsentrasi? Pada titik ini, saya setuju Presiden
Jokowi perlu mengangkat juru bicara. Persoalannya kemudian, pada posisi mana
juru bicara itu akan diletakkan dalam fungsi ketatanegaraan, sejauh mana
ruang lingkup tugasnya, dan siapa yang layak memerankannya?
Tumpang-tindih
Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada titik ini. Pertama, harus dihindari tumpang-tindih antara
menteri-menteri dan juru bicara presiden dalam menjalankan fungsi komunikasi
publik. Perlu diperhatikan, para menteri sesungguhnya berada dalam posisi
‘juru bicara’ pemerintah sekaligus juru bicara presiden. Para menteri
memiliki otoritas untuk berhadapan langsung dengan pers, dengan masyarakat,
guna menjelaskan sikap, keputusan, atau rencana-rencana pemerintah. Hal itu
dapat dilakukan menteri atas baik arahan langsung presiden maupun atas
inisiatifnya sendiri. Dalam konteks itu, sesungguhnya praktis pemerintah atau
presiden telah memiliki juru bicara untuk semua bidang persoalan. Seakan-akan
tidak ada yang tersisa lagi persoalan yang perlu dijelaskan sang juru bicara
presiden.
Hanya persoalannya ialah jika
belajar dari pemerintahan SBY, para menteri sering menonjolkan agenda pribadi
atau agenda partai politik pengusungnya. Alih-alih meringankan beban
komunikasi politik Presiden SBY, para menteri justru gemar mem bikin
kontroversi sendiri dan menambah beban persoalan dalam kaitan dengan opini
publik. Hal itu yang perlu diantisipasi pada Presiden Jokowi sekaligus
menjustifi kasi perlunya juru bicara presiden. Dengan interaksi yang lebih
intens dengan presiden, dapat diasumsikan juru bicara akan lebih precise dalam menjelaskan sikap,
keinginan, dan keputusan presiden.
Meskipun demikian, perlu ada
pengkhususan tentang apa yang menjadi tugas juru bicara presiden. Hal-hal apa
yang harus mereka sampaikan kepada khalayak, kapan harus berbicara, dan
sejauh mana harus bicara. Koordinasi dengan menteri-menteri sangat
diperlukan, demikian juga dengan pembagian peranan antara juru bicara
presiden dan menteri-menteri sebagai sesama ‘juru bicara’. Karena sudah ada
menteri-menteri yang sesungguhnya juga menjadi juru bicara pemerintah, dapat
disimpulkan bahwa presiden tidak membutuhkan terlalu banyak juru bicara.
Sedikit juru bicara, tetapi efektif dan kapabel, itu yang dibutuhkan Presiden
Jokowi.
Kuasai persoalan
Kedua, seorang juru bicara
presiden harus memenuhi kriteria kompetensi komunikatif dan kriteria
intelektualitas. Penting untuk memilih juru bicara presiden yang sudah
dikenal luas masyarakat, berpenampilan diri menarik, terbiasa muncul di ruang
publik, dan mumpuni dalam hal public
speaking dan media relations. Namun,
kompetensi komunikatif harus diimbangi dengan intelektualitas yang memadahi.
Seorang juru bicara presiden, sebagaimana presiden, memang tidak mungkin
menguasai banyak persoalan.
Akan tetapi, kondisi menuntutnya
untuk mampu memahami banyak persoalan dalam waktu yang cepat. Di sini
dibutuhkan kecerdasan, kerendahhatian, dan kerja keras. Patut dicatat, para
juru bicara presiden akan menghadapi publik yang kritis, sinis, dan penuntut.
Menteri Penerangan Harmoko pada
eranya sesungguhnya ialah juru bicara presiden yang cukup mumpuni. Ia selalu
pasang badan melindungi Presiden Soeharto dari berbagai kontroversi dan
kritik publik. Namun, kemudian muncul olok-olok ‘hari-hari omong kosong’,
merujuk kepada kondisi seseorang berbicara tentang hal-hal yang sesungguhnya
tidak dia pahami benar sehingga apa yang diucapkannya dianggap tidak bermakna
apa-apa.
Ketiga, selain persoalan juru
bicara presiden, yang tidak kalah penting ialah sebuah tim yang merancang dan
melaksanakan strategi komunikasi publik Presiden. Tim yang selalu menyiapkan
apa pun yang hendak dipertunjukkan dan disampaikan Presiden di depan
khalayak. Sebagai contoh, Presiden Jokowi suka berpidato tanpa teks. Namun,
pidato tanpa teks selalu berisiko salah omong atau silat lidah. Pidato dengan
teks memang terkesan monoton dan menjemukan, tetapi lebih menjamin kepastian
dan kelengkapan. Toh seorang presiden tidak hanya harus tampil sebagai figur
yang akrab dan tak berjarak dengan khalayaknya, tetapi juga harus tetap tampil
secara formal dan institusional.
Presiden Jokowi telah berpidato
dalam bahasa Inggris di forum internasional. Berpidato dalam bahasa Inggris
tentu bukan urusan yang mudah dilakukan, apalagi jika tanpa teks. Berpidato
dalam bahasa sendiri juga perlu dipertimbangkan guna menegaskan identitas
kebangsaan serta untuk menjamin kejelasan dan kelayakan berbicara.
Singkat kata, perlu ada sebuah
tim yang membuat assessment dan masukan untuk Presiden tentang hal-hal
tersebut, tanpa perlu banyak mengubah karakter dasar Presiden dalam berbicara
di depan publik. Kapan Presiden harus berpidato dengan teks, kapan bisa
menyapa hadirin tanpa teks? Kapan berpidato dalam bahasa sendiri atau bahasa
Inggris di forum internasional? Hal itu perlu diperhitungkan secara cermat
oleh sebuah tim, dengan juru bicara presiden menjadi bagian di dalamnya.
Sangat
mungkin tim itu secara formal atau informal sudah dibentuk. Namun, karena
pemerintahan baru berjalan beberapa minggu, belum begitu terlihat kinerjanya
dalam menopang penampilan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi sedang menghadapi
tuntutan publik sekaligus tekanan politik yang jauh lebih besar daripada
presiden sebelumnya. Kecermatan dan kesigapan dalam menjalankan strategi media relations dan komunikasi publik
menjadi sangat menentukan dalam kondisi tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar