Mendambakan
Koalisi Politik Rasional
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
16 Desember 2014
SEJUMLAH
jajak pendapat menjelang pemilihan anggota legislatif 2014 yang menyimpulkan
kualitas kinerja DPR periode 2014-2019 tidak akan lebih baik, bahkan mungkin
lebih buruk daripada parlemen sebelumnya, sudah terbukti. Hampir tiga bulan
bekerja, mereka hanya memperebutkan kedudukan pimpinan alat kelengkapan DPR.
Harapannya,
Koalisi Merah Putih (KMP) dapat menghadang kebijakan pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Guratan ”dendam”
politik Pilpres 2014 sangat kasatmata dalam proses penyusunan UU No 17/2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. UU itu didesain untuk mewujudkan ambisi KMP
mendominasi lembaga perwakilan rakyat, mulai dari pusat sampai daerah,
sehingga dapat mendikte kebijakan pemerintah. UU ini juga mengabaikan
keputusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUUX/2012 yang menegaskan DPD berhak dan/atau
berwenang mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir
tahapan.
Namun,
koalisi yang hanya diikat transaksi dan pragmatisme politik, tanpa cita-cita
besar yang memihak kepentingan publik, sangat rentan dan sensitif, bahkan
terhadap guncangan politik yang mungkin juga berwatak transaksional. Jejak
itu dapat dicermati dari konflik internal PPP yang hingga kini belum
terselesaikan. Perseteruan di antara mereka yang ingin menjadi bagian KMP
atau KIH belum mencapai konsensus. Partai Golkar mengalami peristiwa yang tak
kalah tragisnya. Kepemimpinan Aburizal Bakrie yang konon didasarkan pada
kekuatan kapital serta kelihaian mengutak-atik aturan main internal partai,
meski berhasil jadi ketua umum lagi dalam Munas Bali, harus dibayar sangat mahal
dengan munculnya pengurus Partai Golkar tandingan dalam Munas Jakarta.
Rontoknya
kepemimpinan Aburizal merembet ke soliditas KMP karena ia berjanji kepada
para pendukungnya, pimpinan DPD tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pilkada
akan dilakukan DPRD. Untuk sementara waktu memang janji itu sempat membius
mereka, mengingat kursi di daerah didominasi Partai Golkar. Mereka berharap,
dengan memilih Aburizal, kedudukan kepala daerah sudah di tangan.
Kenyataan
itu tentu membuat anggota partai di KMP juga risau. Terlebih KMP selama ini
telah sepakat pilkada dilakukan secara langsung. Perubahan sikap Aburizal
yang mendadak tentu sangat menyakitkan anggota koalisi lain, terutama Partai
Demokrat. Susilo Bambang Yudhoyono tidak mau warisan fenomenal yang membuat
citranya melambung hanya dijadikan komoditas politik. Ia pasti sangat
memahami, kemarahan publik jika pilkada oleh DPRD tidak hanya ditujukan
kepada Aburizal, tetapi juga dirinya. Ingatan publik tentu akan memunculkan
memori kontroversi walk out Partai Demokrat pada pemungutan suara di DPR
tentang RUU Pilkada beberapa bulan lalu. Perlawanan keras pasti akan
dilakukan masyarakat karena parlemen telah memanipulasi kedaulatan kehendak
publik. Merebaknya pemilik kapital ”garis keras” yang ingin membangun imperium
bisnisnya dengan mempunyai akses langsung kepada pusat kekuasaan menjadikan
koalisi politik menjadi kartel yang membajak kedaulatan kehendak rakyat.
Namun,
pendapat terhadap kebijakan politik yang beragam di KMP, dan mungkin juga
akan terjadi di KIH, dapat menjadi berkah dalam perkembangan politik ke
depan. Pembilahan parlemen menjadi dua kubu tidak harus permanen, tetapi
tergantung isu politiknya. Isu tentang pilkada terbukti membuat sikap anggota
KMP tidak seragam, sebagian memihak KIH. Pembilahan dua kubu juga cair
menyikapi kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan. Sebagian anggota KMP
juga mendukung kebijakan itu meskipun dengan catatan. Banyak kalangan
menganggap fenomena itu merupakan benih koalisi rasional. Sikap politik tidak
harus seragam, tetapi tergantung dari isu kebijakan publik.
Sekadar
perbandingan mungkin bisa menengok sekilas satu episode dari praktik
pemerintahan di Amerika Serikat. Pada era Franklin D Roosevelt, Presiden AS
dari Partai Demokrat yang terpilih empat kali sejak 1932, ia mencanangkan
program yang disebut New Deal
sebagai solusi mengatasi pengangguran dan krisis ekonomi akibat depresi tahun
1930-an. Pada masa itu Partai Republik tidak secara utuh menolak program
tersebut. Sayap liberal dari partai tersebut mendukung kebijakan New Deal. Sementara itu, sayap
konservatif Partai Republik bergandengan tangan di Kongres dengan sayap
konservatif Partai Demokrat menentang kebijakan Roosevelt yang dianggap
terlalu liberal. Pelajaran yang dapat dipetik, kubu Demokrat dan Republik dengan
rasionalitas masing-masing tidak selalu seragam (Ilmu Politik, Ishiyama, John T dan Marijke Breuning (eds), 2013).
Oleh sebab itu, semangat rasional koalisi di parlemen harus dirawat dan
disuburkan. Tanpa roh yang menjadi modal sosial dan mengutamakan kepemihakan
kepada kepentingan rakyat, demokrasi representasi dapat terjebak dalam sistem
yang oleh Condoret (sekitar abad ke-18) disebut Indirect Despotism (dalam Representative
Democracy: Principle and Genealogy, Urbinati, Nadia, 2008). Ia adalah
bentuk dari kekuasaan yang dijalankan sewenang-wenang karena merusak basis
konsensus dan kesetaraan, tetapi ditaati publik karena mereka yang mewakili
(wakil rakyat) dianggap sosok yang bermartabat, jujur, dan kompeten. Biang
rezim politik yang despotis adalah parlemen yang tidak representatif sehingga
tidak menghasilkan kebijakan yang memihak rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar