Selasa, 16 Desember 2014

Mendambakan Koalisi Politik Rasional

Mendambakan Koalisi Politik Rasional

J Kristiadi  ;   Peneliti Senior CSIS
KOMPAS,  16 Desember 2014

                                                                                                                       


SEJUMLAH jajak pendapat menjelang pemilihan anggota legislatif 2014 yang menyimpulkan kualitas kinerja DPR periode 2014-2019 tidak akan lebih baik, bahkan mungkin lebih buruk daripada parlemen sebelumnya, sudah terbukti. Hampir tiga bulan bekerja, mereka hanya memperebutkan kedudukan pimpinan alat kelengkapan DPR.

Harapannya, Koalisi Merah Putih (KMP) dapat menghadang kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Guratan ”dendam” politik Pilpres 2014 sangat kasatmata dalam proses penyusunan UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. UU itu didesain untuk mewujudkan ambisi KMP mendominasi lembaga perwakilan rakyat, mulai dari pusat sampai daerah, sehingga dapat mendikte kebijakan pemerintah. UU ini juga mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUUX/2012 yang menegaskan DPD berhak dan/atau berwenang mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan.

Namun, koalisi yang hanya diikat transaksi dan pragmatisme politik, tanpa cita-cita besar yang memihak kepentingan publik, sangat rentan dan sensitif, bahkan terhadap guncangan politik yang mungkin juga berwatak transaksional. Jejak itu dapat dicermati dari konflik internal PPP yang hingga kini belum terselesaikan. Perseteruan di antara mereka yang ingin menjadi bagian KMP atau KIH belum mencapai konsensus. Partai Golkar mengalami peristiwa yang tak kalah tragisnya. Kepemimpinan Aburizal Bakrie yang konon didasarkan pada kekuatan kapital serta kelihaian mengutak-atik aturan main internal partai, meski berhasil jadi ketua umum lagi dalam Munas Bali, harus dibayar sangat mahal dengan munculnya pengurus Partai Golkar tandingan dalam Munas Jakarta.

Rontoknya kepemimpinan Aburizal merembet ke soliditas KMP karena ia berjanji kepada para pendukungnya, pimpinan DPD tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pilkada akan dilakukan DPRD. Untuk sementara waktu memang janji itu sempat membius mereka, mengingat kursi di daerah didominasi Partai Golkar. Mereka berharap, dengan memilih Aburizal, kedudukan kepala daerah sudah di tangan.

Kenyataan itu tentu membuat anggota partai di KMP juga risau. Terlebih KMP selama ini telah sepakat pilkada dilakukan secara langsung. Perubahan sikap Aburizal yang mendadak tentu sangat menyakitkan anggota koalisi lain, terutama Partai Demokrat. Susilo Bambang Yudhoyono tidak mau warisan fenomenal yang membuat citranya melambung hanya dijadikan komoditas politik. Ia pasti sangat memahami, kemarahan publik jika pilkada oleh DPRD tidak hanya ditujukan kepada Aburizal, tetapi juga dirinya. Ingatan publik tentu akan memunculkan memori kontroversi walk out Partai Demokrat pada pemungutan suara di DPR tentang RUU Pilkada beberapa bulan lalu. Perlawanan keras pasti akan dilakukan masyarakat karena parlemen telah memanipulasi kedaulatan kehendak publik. Merebaknya pemilik kapital ”garis keras” yang ingin membangun imperium bisnisnya dengan mempunyai akses langsung kepada pusat kekuasaan menjadikan koalisi politik menjadi kartel yang membajak kedaulatan kehendak rakyat.

Namun, pendapat terhadap kebijakan politik yang beragam di KMP, dan mungkin juga akan terjadi di KIH, dapat menjadi berkah dalam perkembangan politik ke depan. Pembilahan parlemen menjadi dua kubu tidak harus permanen, tetapi tergantung isu politiknya. Isu tentang pilkada terbukti membuat sikap anggota KMP tidak seragam, sebagian memihak KIH. Pembilahan dua kubu juga cair menyikapi kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan. Sebagian anggota KMP juga mendukung kebijakan itu meskipun dengan catatan. Banyak kalangan menganggap fenomena itu merupakan benih koalisi rasional. Sikap politik tidak harus seragam, tetapi tergantung dari isu kebijakan publik.

Sekadar perbandingan mungkin bisa menengok sekilas satu episode dari praktik pemerintahan di Amerika Serikat. Pada era Franklin D Roosevelt, Presiden AS dari Partai Demokrat yang terpilih empat kali sejak 1932, ia mencanangkan program yang disebut New Deal sebagai solusi mengatasi pengangguran dan krisis ekonomi akibat depresi tahun 1930-an. Pada masa itu Partai Republik tidak secara utuh menolak program tersebut. Sayap liberal dari partai tersebut mendukung kebijakan New Deal. Sementara itu, sayap konservatif Partai Republik bergandengan tangan di Kongres dengan sayap konservatif Partai Demokrat menentang kebijakan Roosevelt yang dianggap terlalu liberal. Pelajaran yang dapat dipetik, kubu Demokrat dan Republik dengan rasionalitas masing-masing tidak selalu seragam (Ilmu Politik, Ishiyama, John T dan Marijke Breuning (eds), 2013).

Oleh sebab itu, semangat rasional koalisi di parlemen harus dirawat dan disuburkan. Tanpa roh yang menjadi modal sosial dan mengutamakan kepemihakan kepada kepentingan rakyat, demokrasi representasi dapat terjebak dalam sistem yang oleh Condoret (sekitar abad ke-18) disebut Indirect Despotism (dalam Representative Democracy: Principle and Genealogy, Urbinati, Nadia, 2008). Ia adalah bentuk dari kekuasaan yang dijalankan sewenang-wenang karena merusak basis konsensus dan kesetaraan, tetapi ditaati publik karena mereka yang mewakili (wakil rakyat) dianggap sosok yang bermartabat, jujur, dan kompeten. Biang rezim politik yang despotis adalah parlemen yang tidak representatif sehingga tidak menghasilkan kebijakan yang memihak rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar