Selasa, 19 Agustus 2014

Waspadai Radikalisme Agama

                                  Waspadai Radikalisme Agama

Salmadanis  ;   Anggota Konsorsium Ahli Ilmu-ilmu Keislaman Indonesia
HALUAN, 18 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Peningkatan radi­kalisme keagamaan banyak berakar pada ke­nyataan kian me­rebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran, de­no­minasi, bahkan sekte di dalam (intra) satu agama tertentu. Di kalangan Islam, radikalisme keagamaan itu banyak bersum­ber dari pemahaman keaga­maan yang literal, sepotong-sepotong dan ad hocterhadap ayat-ayat al-Qur’an. Pema­haman seperti itu hampir tidak memberikan ruang bagi akomo­dasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok Muslim lain yang umumnya moderat—dan karena itu menjadi arus utama (mainstream) umat.

Kelompok umat Islam yang berpaham seperti ini, yaitu golongan Khawarij, sudah muncul sejak masa al-Khulafa’ al-Rasyidun keempat Ali ibn Abi Thalib; mereka sangat radikal dan melakukan banyak pembu­nuhan dan aksi-aksi kekerasan lainnya terhadap pemimpin Muslim yang telah mereka nyatakan ‘kafir’. Di masa kontemporer, mereka ini dapat disebut sebagai termasuk ke dalam ‘neo-Khawarij’.

Radikalisme keagamaan di dalam Islam juga dapat ber­sum­ber dari bacaan yang salah terhadap sejarah Islam yang dikombinasikan dengan idea­lisasi berlebihan terhadap Islam pada masa tertentu. Ini terlihat dalam pandangan dan gerakan Salafi, khususnya pada spek­trum sangat radikal seperti Wahabiyah yang muncul di Semenanjung Arabia pada akhir abad 18-awal abad 19 dan terus merebak sampai sekarang ini. Tema pokok kelompok dan sel Salafi ini adalah pemurnian Islam—membersihkan Islam dari pemahaman dan praktek keagamaan yang mereka pandang sebagai ‘bid’ah’, yang tidak jarang mereka lakukan dengan cara-cara kekerasan.

Dengan pemahaman dan praksis keagamaan seperti itu, kelompok dan sel radikal ini ‘menyempal’ (splin­ter) dari mainstream Is­lam yang me­me­gang dominasi dan hege­moni otoritas teologis dan hukum agama dan seka­ligus ke­pe­­mim­pinan agama. Ka­rena itu, res­pon dan re­ak­si ke­ras sering muncul dari kelompok-kelom­pok ‘main­stream’, arus u­tama, dalam agama. Mereka tidak jarang mengeluarkan kete­tapan, bahkan fat­wa, yang me­ne­tapkan ke­lompok-ke­lom­pok sempalan terse­but se­bagai sesat dan menye­satkan. Ketetapan atau fatwa tersebut dalam prakteknya tidak jarang pula digunakan kelompok-kelompok mainstream tertentu sebagai dasar dan justifikasi untuk melakukan tindakan main hakim sendiri.

Radikalisme keagamaan juga dapat mendapat tambahan alasan dari deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Pada saat yang sama. disorien­tasi dan dislokasi sosial-budaya, dan ekses globalisasi, dan semacamnya sekaligus meru­pakan tambahan faktor-faktor penting bagi kemunculan kelompok-kelompok radikal. Kelompok-kelompok sempalan tersebut tidak jarang mengam­bil bentuk kultus (cult), yang sangat eksklusif, tertutup dan berpusat pada se­seorang yang di­pan­dang kha­ris­matik. Kelom­pok-ke­lompok ini dengan dogma eskatologis ter­tentu bahkan me­man­dang dunia sudah men­jelang a­khir zaman dan kiam at; sekarang wak­tunya bertobat me­lalui pe­mimpin dan ke­lompok me­reka. Dok­trin dan pandangan teo­logis-eskatologis seperti ini, tidak bisa lain dengan se­gera dapat menim­bulkan reaksi dari agama-agama mainstream, yang dapat beru­jung pada konflik sosial.

Radikalisme keagamaan jelas berujung pada pening­katan konflik sosial dan kekerasan bernuansa intra- dan antar-agama; juga bahkan antar umat beragama dengan negara. Ini terlihat jelas, misalnya, dengan mening­katnya aktivitas penutupan gereja di beberapa tempat di mana kaum Muslim mayoritas, seperti di Bekasi, Bogor dan Temanggung. Atau penutupan masjid/mushala di daerah mayoritas non-Muslim di berbagai tempat di tanah air, seperti di Bali pasca-bom Bali Oktober 2002; termasuk pula anarkisme terhadap berbagai fasilitas dan masjid-masjid Ahmadiyah dan Syi’ah (Sam­pang) serta para jemaatnya. Berbagai tindak kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah juga masih terus terjadi di sejumlah tempat mulai dari NTB, Parung, Cikeusik dan berbagai lokasi lain; begitu juga terhadap penganut Syi’ah di Sampang Madura.

Lalu ada juga kelompok-kelompok hardliners di ka­langan Muslim, menegakkan hukumnya sendiri—atas nama syari’ah (hukum Islam)—seperti pernah dilakukan Lasykar Jihad di Ambon ketika terja­dinya konflik komunal Kristen-Muslim; atau razia-razia yang dila­kukan Front Pembela Islam (FPI) dalam beberapa tahun tera­khir ini—khususnya menje­lang Rama­dan—atas dis­kotik, dan tempat-tempat hi­buran lain­nya atas nama al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (meny­eru dengan ke­baikan dan mencegah ke­mung­karan). Bagi mereka tidak cukup hanya amar ma`ruf dengan lisan, perkataan; harus dilakukan pence­gahan terhadap ke­mung­karan dengan tangan (al-yad), atau kekuatan. Sekali lagi, tindakan-tindakan seperti ini juga dapat memicu ter­jadinya konflik sosial. Terkahir ini muncul lagi gerakan yang mengatas nama­kan ISIS yang mengejutkan bangsa dan negara dengan gerakan radi­kalisnya, maka semua pihak dan komu­nitas di negara ini me­ngutuk gera­kan ini dengan hukum haram, begitu juga pihak-pihak pengua­sa berupaya dengan kerja keras negara Indonesia seteril dari gerakan ini.

Umat Islam mainstream—seperti diwakili NU, Muham­madiyah, al-Washliyah, Math­la’ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan (NW), al-Khairat, dan banyak organisasi lain—berulang kali menya­takan, mereka menolak cara-cara kekerasan, meski untuk me­negakkan kebaikan dan men­cegah kemungkaran seka­lipun. 

Tetapi, seruan organisasi-organisasi mainstream ini sering tidak efektif; apalagi di dalam organisasi-organisasi ini juga terdapat elemen garis keras yang terus juga mela­kukan tekanan internal terha­dap kepemimpinan organisasi masing-masing.
Masih berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra- dan antar-agama dalam masa Reformasi ini, sekali lagi, disebabkan berbagai faktor amat kompleks. Pertama-tama, berkaitan dengan euforia kebebasan, di mana setiap orang atau kelompok merasa dapat mengekspresikan kebe­basan dan kemauannya, tanpa peduli dengan pihak-pihak lain. Dengan demikian terdapat gejala menurunnya toleransi. 

Kedua, masih berl­anjutnya fragmentasi politik dan sosial di khususnya di kalangan elit politik, sosial, militer, yang terus mengimbas ke lapisan bawah (grassroot) dan me­nimbulkan konflik horizontal yang laten dan luas.

Terdapat berbagai indikasi, konflik dan kekerasan bernuan­sa agama bahkan diprovokasi kalangan elit tertentu untuk kepentingan mereka sendiri. Juga terlihat jelas karena tidak konsistennya penegakan hu­kum. Beberapa kasus konflik dan kekerasan yang bernuasa agama atau membawa simbo­lisme agama menunjukkan indikasi konflik di antara aparat ke­amanan, dan bahkan kontestasi di antara kelompok-kelompok elit lokal. Selan­jutnya, juga disebabkan masih  meluasnya disorientasi dan dislokasi dalam masyarakat Indonesia, karena kesulitan-kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Kenaikan harga kebutuhan kebutuhan sehari-hari lainnya membuat kala­ngan masyarakat semakin terhimpit dan terjepit. Aki­batnya, orang-orang atau kelompok yang terhempas dan terkapar ini dengan mudah dan murah dapat melakukan tin­dakan emosional, dan bahkan dapat disewa untuk melakukan tindakan melang­gar hukum dan kekerasan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar