Waspadai
Radikalisme Agama
Salmadanis ;
Anggota Konsorsium Ahli Ilmu-ilmu Keislaman Indonesia
|
HALUAN,
18 Agustus 2014
Peningkatan radikalisme
keagamaan banyak berakar pada kenyataan kian merebaknya berbagai
penafsiran, pemahaman, aliran, denominasi, bahkan sekte di dalam (intra)
satu agama tertentu. Di kalangan Islam, radikalisme keagamaan itu banyak
bersumber dari pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong dan ad hocterhadap
ayat-ayat al-Qur’an. Pemahaman seperti itu hampir tidak memberikan ruang
bagi akomodasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok Muslim lain yang
umumnya moderat—dan karena itu menjadi arus utama (mainstream)
umat.
Kelompok umat Islam yang berpaham seperti ini, yaitu golongan Khawarij, sudah muncul sejak masa al-Khulafa’ al-Rasyidun keempat Ali ibn Abi Thalib; mereka sangat radikal dan melakukan banyak pembunuhan dan aksi-aksi kekerasan lainnya terhadap pemimpin Muslim yang telah mereka nyatakan ‘kafir’. Di masa kontemporer, mereka ini dapat disebut sebagai termasuk ke dalam ‘neo-Khawarij’. Radikalisme keagamaan di dalam Islam juga dapat bersumber dari bacaan yang salah terhadap sejarah Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam pada masa tertentu. Ini terlihat dalam pandangan dan gerakan Salafi, khususnya pada spektrum sangat radikal seperti Wahabiyah yang muncul di Semenanjung Arabia pada akhir abad 18-awal abad 19 dan terus merebak sampai sekarang ini. Tema pokok kelompok dan sel Salafi ini adalah pemurnian Islam—membersihkan Islam dari pemahaman dan praktek keagamaan yang mereka pandang sebagai ‘bid’ah’, yang tidak jarang mereka lakukan dengan cara-cara kekerasan. Dengan pemahaman dan praksis keagamaan seperti itu, kelompok dan sel radikal ini ‘menyempal’ (splinter) dari mainstream Islam yang memegang dominasi dan hegemoni otoritas teologis dan hukum agama dan sekaligus kepemimpinan agama. Karena itu, respon dan reaksi keras sering muncul dari kelompok-kelompok ‘mainstream’, arus utama, dalam agama. Mereka tidak jarang mengeluarkan ketetapan, bahkan fatwa, yang menetapkan kelompok-kelompok sempalan tersebut sebagai sesat dan menyesatkan. Ketetapan atau fatwa tersebut dalam prakteknya tidak jarang pula digunakan kelompok-kelompok mainstream tertentu sebagai dasar dan justifikasi untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Radikalisme keagamaan juga dapat mendapat tambahan alasan dari deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Pada saat yang sama. disorientasi dan dislokasi sosial-budaya, dan ekses globalisasi, dan semacamnya sekaligus merupakan tambahan faktor-faktor penting bagi kemunculan kelompok-kelompok radikal. Kelompok-kelompok sempalan tersebut tidak jarang mengambil bentuk kultus (cult), yang sangat eksklusif, tertutup dan berpusat pada seseorang yang dipandang kharismatik. Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu bahkan memandang dunia sudah menjelang akhir zaman dan kiam at; sekarang waktunya bertobat melalui pemimpin dan kelompok mereka. Doktrin dan pandangan teologis-eskatologis seperti ini, tidak bisa lain dengan segera dapat menimbulkan reaksi dari agama-agama mainstream, yang dapat berujung pada konflik sosial. Radikalisme keagamaan jelas berujung pada peningkatan konflik sosial dan kekerasan bernuansa intra- dan antar-agama; juga bahkan antar umat beragama dengan negara. Ini terlihat jelas, misalnya, dengan meningkatnya aktivitas penutupan gereja di beberapa tempat di mana kaum Muslim mayoritas, seperti di Bekasi, Bogor dan Temanggung. Atau penutupan masjid/mushala di daerah mayoritas non-Muslim di berbagai tempat di tanah air, seperti di Bali pasca-bom Bali Oktober 2002; termasuk pula anarkisme terhadap berbagai fasilitas dan masjid-masjid Ahmadiyah dan Syi’ah (Sampang) serta para jemaatnya. Berbagai tindak kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah juga masih terus terjadi di sejumlah tempat mulai dari NTB, Parung, Cikeusik dan berbagai lokasi lain; begitu juga terhadap penganut Syi’ah di Sampang Madura. Lalu ada juga kelompok-kelompok hardliners di kalangan Muslim, menegakkan hukumnya sendiri—atas nama syari’ah (hukum Islam)—seperti pernah dilakukan Lasykar Jihad di Ambon ketika terjadinya konflik komunal Kristen-Muslim; atau razia-razia yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) dalam beberapa tahun terakhir ini—khususnya menjelang Ramadan—atas diskotik, dan tempat-tempat hiburan lainnya atas nama al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (menyeru dengan kebaikan dan mencegah kemungkaran). Bagi mereka tidak cukup hanya amar ma`ruf dengan lisan, perkataan; harus dilakukan pencegahan terhadap kemungkaran dengan tangan (al-yad), atau kekuatan. Sekali lagi, tindakan-tindakan seperti ini juga dapat memicu terjadinya konflik sosial. Terkahir ini muncul lagi gerakan yang mengatas namakan ISIS yang mengejutkan bangsa dan negara dengan gerakan radikalisnya, maka semua pihak dan komunitas di negara ini mengutuk gerakan ini dengan hukum haram, begitu juga pihak-pihak penguasa berupaya dengan kerja keras negara Indonesia seteril dari gerakan ini. Umat Islam mainstream—seperti diwakili NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Mathla’ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan (NW), al-Khairat, dan banyak organisasi lain—berulang kali menyatakan, mereka menolak cara-cara kekerasan, meski untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran sekalipun. Tetapi, seruan organisasi-organisasi mainstream ini sering tidak efektif; apalagi di dalam organisasi-organisasi ini juga terdapat elemen garis keras yang terus juga melakukan tekanan internal terhadap kepemimpinan organisasi masing-masing.
Masih berlanjutnya konflik
sosial bernuansa intra- dan antar-agama dalam masa Reformasi ini, sekali
lagi, disebabkan berbagai faktor amat kompleks. Pertama-tama, berkaitan
dengan euforia kebebasan, di mana setiap orang atau kelompok merasa dapat
mengekspresikan kebebasan dan kemauannya, tanpa peduli dengan pihak-pihak
lain. Dengan demikian terdapat gejala menurunnya toleransi.
Kedua, masih berlanjutnya fragmentasi politik dan sosial di khususnya di kalangan elit politik, sosial, militer, yang terus mengimbas ke lapisan bawah (grassroot) dan menimbulkan konflik horizontal yang laten dan luas. Terdapat berbagai indikasi, konflik dan kekerasan bernuansa agama bahkan diprovokasi kalangan elit tertentu untuk kepentingan mereka sendiri. Juga terlihat jelas karena tidak konsistennya penegakan hukum. Beberapa kasus konflik dan kekerasan yang bernuasa agama atau membawa simbolisme agama menunjukkan indikasi konflik di antara aparat keamanan, dan bahkan kontestasi di antara kelompok-kelompok elit lokal. Selanjutnya, juga disebabkan masih meluasnya disorientasi dan dislokasi dalam masyarakat Indonesia, karena kesulitan-kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Kenaikan harga kebutuhan kebutuhan sehari-hari lainnya membuat kalangan masyarakat semakin terhimpit dan terjepit. Akibatnya, orang-orang atau kelompok yang terhempas dan terkapar ini dengan mudah dan murah dapat melakukan tindakan emosional, dan bahkan dapat disewa untuk melakukan tindakan melanggar hukum dan kekerasan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar