Transparansi
Seleksi Anggota BPK
Unggul Suprayitno ; Senior Financial Management
Specialist, Bank Dunia, Jakarta
|
KOMPAS,
29 Agustus 2014
BADAN
Pemeriksa Keuangan dibentuk untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
menjadi salah satu alat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) agar keuangan negara dikelola
dengan baik guna kepentingan rakyat (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang BPK). Untuk itu, diperlukan BPK yang bebas kepentingan dan mandiri.
Karena itu, setiap anggota BPK haruslah orang yang memiliki kemampuan
profesional memeriksa keuangan negara tanpa keterkaitan dan bebas dari
kepentingan mana pun.
Beberapa kelemahan
Menilik
seleksi yang tengah berlangsung untuk memilih lima anggota BPK, terlihat
beberapa kelemahan. Pertama, proses seleksi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak berkaitan. Semua calon akan
mengikuti uji kepatutan oleh DPD yang hasilnya akan diteruskan kepada Komisi
XI DPR.
Ada
63 calon yang mengikuti seleksi tersebut. Dari jumlah itu, 25 orang lolos di
seleksi DPD. Hasil uji kepatutan oleh DPD akan diteruskan ke DPR yang akan
memilih lima nama untuk diserahkan kepada presiden dan dilantik menjadi
anggota BPK.
Namun,
ternyata hasil uji DPD sama sekali tak mengikat panitia seleksi di DPR, calon
pilihan DPD bisa saja diabaikan. Dalam seleksi mencari pengganti
Taufiqurrahman Ruki tahun 2013, tiga calon terbaik hasil seleksi DPD tak
dipilih Komisi XI. Perlu dipertanyakan fungsi DPD dalam proses ini, terlebih
karena ada uang negara yang terbuang percuma karena tahapan seleksi hasilnya
tidak digunakan sama sekali.
Kelemahan
berikutnya adalah hal yang paling mendasar, yaitu independensi panitia
seleksi di Komisi XI. Panitia ini berasal dari parpol, yang sebagian calonnya
berasal dari partai yang sama atau berafiliasi terhadap partai tertentu. Ada
tujuh calon yang saat ini masih aktif sebagai anggota DPR, berasal dari lima
partai. Bahkan, Wakil Ketua Komisi XI menjadi salah satu calon.
Belum
lagi calon yang berafiliasi dengan partai tertentu dan tak ditemukan oleh
mesin pencari Google. Menjadi anggota badan atau komisi lembaga negara
merupakan pilihan menggiurkan bagi anggota DPR yang tak terpilih lagi.
Pertanyaannya: apakah panitia seleksi dapat bersikap independen dan
profesional jika yang diuji calon dari partainya. Akankah calon bebas dari kepentingan
jika ia berasal dari partai atau berafiliasi dengan partai tertentu jika
terpilih?
Kelemahan
ketiga, beberapa persyaratan tak punya kejelasan tolak ukur. Melihat data
riwayat hidup yang dapat diakses publik, khususnya melalui www.jariungu.com,
semua calon memenuhi persyaratan umum: warga negara Indonesia, berusia
minimal 35 tahun, dan berpendidikan minimal strata satu. Ada beberapa
persyaratan khusus yang mungkin menyulitkan calon tertentu. Persyaratan ”paling singkat telah dua tahun
meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara”
dapat mempersulit calon dari sektor publik. Persyaratan yang dikenal dengan
istilah cooling period' ini
dimaknai sebagai pemberian jeda agar calon yang pernah menjadi pejabat
pengelola keuangan negara dapat bertindak profesional, bebas dari
kepentingan, jika terpilih.
Di
sisi lain, ada persyaratan yang dapat menyulitkan calon dari sektor swasta.
Persyaratan tersebut: 1) memahami good
government and governance, dan 2) mempunyai pengetahuan yang memadai di
bidang keuangan negara dalam mengimplementasikan UU No 17/2003 tentang
Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No
15/2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara. Pengalaman pemilihan sebelumnya
menunjukkan tidak sinkronnya penetapan syarat dengan calon yang akhirnya
terpilih.
Syarat-syarat
di atas jadi pisau bermata dua yang bisa menguntungkan atau merugikan calon
tertentu. Apalagi tak banyak orang di negeri ini yang dapat memenuhi
persyaratan tambahan kedua itu, yaitu berkaitan dengan implementasi tiga UU
keuangan negara. Kecuali jika kita berdebat panjang soal pengertian ”pengetahuan yang memadai”. Saat ini
panitia seleksi jadi satu-satunya pihak yang dapat menafsirkan terpenuhinya
persyaratan ini. Kita tak bisa berharap adanya indikator terukur dan dapat
diverifikasi ulang pihak lain.
Melihat
daftar calon yang diumumkan DPD, terdapat tiga calon yang pejabat petahana (incumbent). Mereka berpeluang dipilih
kembali, khususnya karena sebelum jadi anggota BPK, mereka adalah anggota
DPR. Asumsinya, jika parpol yang bersangkutan tidak memiliki calon lain,
mereka diprediksi dengan mudah melenggang ke gedung BPK. Padahal, pejabat
petahana tak otomatis jadi lebih baik dari sisi teknis dan nonteknis. Ada
pejabat petahana yang tak mengerti kode etik yang berlaku sebagai anggota BPK
dengan menjadi tim sukses salah satu capres. Hal ini jelas melanggar kode
etik tentang kebebasan dan kemandirian. Petahana lain memiliki isu etika,
khususnya berkaitan dugaan mengubah laporan sebagaimana diberitakan sejumlah
media.
Transparansi seleksi
Melihat
latar pendidikan para calon, mereka yang berpendidikan S-2 ada 30 orang atau
45 persen. Jumlah sama untuk calon berpendidikan S-3. Hanya tujuh calon atau
kurang dari 10 persen berpendidikan S-1. Mayoritas calon, yaitu 82 persen,
berusia di bawah 60 tahun, hanya 12 calon berusia 60 tahun atau lebih. Dari
sisi pengalaman di bidang pemeriksaan (auditing),
hanya 45 persen memiliki pengalaman itu. Berdasarkan pencarian Google,
beberapa calon ditengarai memiliki keterlibatan dengan kasus korupsi yang
ditangani KPK.
Beberapa
variabel, seperti pengalaman di bidang pemeriksaan, memiliki reputasi baik,
tak memiliki catatan tercela, serta tidak tercatat sebagai anggota partai,
dapat digunakan untuk memilih calon ideal. Variabel usia di bawah 60 tahun
bisa ditambahkan agar BPK tidak menjadi ajang para pensiunan pejabat ataupun
politikus. Ini merupakan upaya menjadikan BPK bebas dari kemungkinan campur
tangan berbagai kepentingan.
Berdasarkan
data calon yang tengah mengikuti seleksi saat ini, setelah saringan tadi,
diperoleh 18 calon yang memenuhi syarat. Pertanyaan selanjutnya, apakah para
calon ideal akan dipilih oleh DPR? Di sisi lain juga timbul pertanyaan,
mengapa bukan DPR yang baru terpilih untuk periode 2014-2019 yang memilih
anggota BPK? Dugaan kemungkinan adanya usaha campur tangan cukup kuat
mengingat pemilihan ini merupakan kegiatan akhir anggota DPD/DPR 2009-2014
sebelum lengser.
Mengharapkan
perubahan sistem seleksi dan persyaratan tak dimungkinkan lagi karena proses
seleksi tengah berjalan. Peran masyarakat/organisasi sipil diharapkan dapat
mengawal proses seleksi dan memilih mereka yang terbaik. Upaya tekanan publik
untuk meminta transparansi seleksi harus terus disuarakan. Media massa perlu
memberi ruang cukup agar masyarakat luas bertambah paham akan perlunya
memiliki BPK yang bebas kepentingan. Transparansi seleksi bisa dilakukan
dengan memublikasikan riwayat hidup dan latar belakang para calon, misalnya
melalui laman www.dpr.go.id. Pelibatan tim seleksi independen perlu
dilakukan. Selanjutnya, tahap seleksi dan pemilihan di DPR perlu dilakukan
secara terbuka agar publik mengetahui alasan terpilihnya calon. Jika
demikian, cita-cita mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN akan
lebih mudah dicapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar