Sabtu, 30 Agustus 2014

Muktamar 2014 dan Masa Depan PKB

Muktamar 2014 dan Masa Depan PKB

Muhammad Qodari  ;   Direktur Eksekutif Indo Barometer
JAWA POS, 30 Agustus 2014

                                                                                                                       


PARTAI Kebangkitan Bangsa (PKB) bermuktamar pada 30 Agustus–1 September 2014. Diperkirakan, para muktamirin akan datang dengan penuh semangat dan tersenyum gembira. Pasalnya adalah, pertama, ini kali pertama sejak 15 tahun berdiri, suara PKB kembali mengalami tren kenaikan. Sekadar mengingatkan, perolehan suara PKB terus menurun sejak beroleh 12,6 persen suara di Pemilu 1999. Mendapat 10,6 persen di 2004, suara itu menukik ke angka 4,9 persen di Pemilu 2009. Kenaikan suara menjadi 9 persen di Pemilu 2014 tentunya dapat dimaknai sebagai suatu tanda kebangkitan PKB.

Kedua, PKB sebagai salah satu partai politik (parpol) pengusung pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) telah sukses mengantarkan kemenangan Jokowi-JK. Ini juga suatu keberhasilan ”ijtihad politik” PKB mengingat hanya PKB-lah satu-satunya parpol anggota koalisi Kabinet Indonesia Bersatu II yang mendukung Jokowi-JK. Sementara partai-partai lainnya ada di kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. PKB berhasil membaca dengan cermat arah dukungan masyarakat Indonesia.

Peran PKB dalam kemenangan Jokowi-JK juga tidak sembarangan. Mengingat medan pertarungan utama dalam Pilpres 2014 kali ini ada di wilayah Jawa Timur (Jatim) yang notabene merupakan basis PKB. Hasil-hasil survei sebelum pilpres dengan jelas menunjukkan bahwa Jawa Barat didominasi Prabowo-Hatta, sementara Jawa Tengah dikuasai Jokowi-JK. Karena itu, titik keseimbangannya ada di Jatim. Siapa yang memenangi Jatim akan terpilih sebagai presiden 2014–2019. Di Jatim PDIP juga kuat. Namun, tanpa sokongan PKB, Jokowi-JK mungkin saja kalah (Prabowo-Hatta bisa jadi unggul) di wilayah ini.

Ketiga, hal yang terlihat kecil, namun punya makna besar, adalah PKB menjadi partai pertama yang melaksanakan muktamar sesuai dengan jadwal tanpa ada kisruh atau gonjang-ganjing politik seperti terjadi di sejumlah partai lain. Ini adalah sesuatu yang kontras jika dibandingkan dengan beberapa tahun lampau. Dulu PKB menjadi bahan tertawaan partai lain karena suka berkelahi sesama pengurusnya sendiri (lihat Muhammad Qodari, ”Politik Kontraproduktif PKB”, Jawa Pos, 23 Juli 2005). Kini kondisi internal PKB relatif adem dan terkonsolidasi dengan baik.

Relatif adem dan terkonsolidasinya PKB sangatlah penting karena bagaimana hendak bekerja jika energi dan perhatian habis untuk berkelahi dengan diri sendiri. Besar harapan bahwa adem dan terkonsolidasinya PKB dapat bertahan paling tidak sampai lima tahun ke depan. Mengingat peta politik internal PKB saat ini mengindikasikan bahwa Muhaimin Iskandar, ketua umum PKB sekarang, akan terpilih lagi dengan aklamasi. Cak Imin –sapaan Muhaimin Iskandar– berpeluang kembali terpilih secara aklamasi karena para pengurus PKB mengakui daya tahan Cak Imin dalam berpolitik. Sekaligus kemampuannya menghimpun sumber daya untuk meningkatkan suara PKB.

Dengan kondisi itu, sebenarnya PKB sedang memasuki golden moment dalam perjalanan hidupnya sebagai partai politik. Era sebelumnya –ada yang menyebut masa 2002–2008– adalah era konflik. Adapun era 2009–2014 adalah era konsolidasi organisasi. Era 2014–2019 adalah era kerja di mana PKB dapat kembali menggantungkan cita-cita untuk menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia. Kabarnya, Cak Imin sendiri telah mencanangkan bahwa pada 2019 PKB akan dapat melewati Partai Golkar.

Saya pribadi melihatnya dengan cara yang sedikit berbeda. Jika boleh, saya ingin mengusulkan tiga tahap pertumbuhan suara PKB. Pertama, mendapatkan suara di atas 12,6 persen sehingga melewati rekor suara PKB pada Pemilu 1999. Kedua, menjadi pemenang pemilu alias partai dengan suara terbanyak di Indonesia. Ketiga, menjadi partai dengan suara di atas 33 persen alias melewati perolehan suara PDIP pada 1999 yang sampai saat ini menjadi rekor perolehan suara tertinggi parpol di pemilu era reformasi.

Tentu bukan pekerjaan yang mudah mencapai pertumbuhan itu. Sekadar mengingatkan, di era kejayaan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Pemilu 1999, PKB ”hanya” mampu memperoleh suara 12,6 persen. Sementara saat ini belum ada sosok di PKB yang kebesarannya mendekati, apalagi menyamai, Gus Dur. Padahal, survei-survei pemilu sampai saat ini menunjukkan bahwa salah satu faktor yang paling berperan dalam meningkatkan suara parpol adalah daya tarik terhadap tokoh partai. Jadi, tampaklah salah satu PR PKB ke depan adalah melahirkan tokoh yang populer seperti Gus Dur.

Untuk dicatat, besarnya peran daya tarik tokoh partai mungkin makin terlihat pada Pemilu 2019 mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) akan diselenggarakan secara serentak pada tahun itu. Ini bakal menimbulkan coattail effect di mana pilihan partai politik dipengaruhi pilihan terhadap calon presiden. Partai yang memiliki tokoh populer pada 2019 akan beruntung dan berpeluang besar memenangi pileg sekaligus pilpres.

Tentunya ini suatu tantangan tersendiri karena tidak mudah melahirkan tokoh populer dalam waktu singkat. Semua orang tahu bahwa popularitas Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri, misalnya, tidak lahir dalam waktu singkat. Perlu perjuangan dan pengorbanan berpuluh tahun. Bahkan, popularitas Jokowi yang sering dianggap begitu cepat sesungguhnya telah melalui proses yang cukup panjang. Popularitas Jokowi tidak datang tiba-tiba. Hal itu dia bangun sejak kali pertama menjadi wali kota Solo pada 2005. Jadi hampir sepuluh tahun sebelum terpilih sebagai presiden RI.

Namun, peluang menjadi partai terbesar di Indonesia tetap terbuka lebar bagi PKB karena partai tersebut dilahirkan dan disokong Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah ormas dengan pengikut terbesar di Indonesia. Aneka hasil survei nasional menunjukkan, tidak kurang dari 35 persen muslim di Indonesia merasa sebagai bagian dari organisasi ini. Dengan begitu, secara teoretis, apabila seluruh warga NU menyalurkan suaranya kepada PKB, partai ini akan memperoleh suara 35 persen. Yang tidak hanya bisa menjadikannya pemenang pemilu, tapi juga pemegang rekor suara pemilu demokratis di Indonesia sepanjang masa.

Selain memilih pengurus 2014–2019, agenda penting muktamar PKB dengan demikian adalah merumuskan suatu cara atau program bagaimana PKB dapat melayani dan merangkul NU, baik sebagai organisasi maupun sebagai massa, agar dapat memiliki hubungan yang erat. Sedemikian erat sehingga seluruh warga NU akan menyalurkan dukungannya kepada PKB tanpa terkecuali. Mungkinkah? Silakan para muktamirin menjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar