Kamis, 28 Agustus 2014

Kilas Religiositas Pasca-Pilpres : Dalam Catatan Madilog

Kilas Religiositas Pasca-Pilpres :

Dalam Catatan Madilog

Kevin Juwono Wong  ;   Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
SATUHARAPAN.COM, 28 Agustus 2014
                                                


Apakah yang akan dikatakan oleh Tan Malaka tentang beberapa “peristiwa religius” yang terjadi sepanjang masa kampanye sampai pasca-Pilpres, seandainya beliau masih hidup sampai sekarang?

Madilog adalah sebuah judul buku karya Tan Malaka, merupakan akronim dari Materialisme-Dialektika-Logika, tiga arus berpikir dominan di dunia Barat kala itu. Gagasan-gagasan tertuang dalam 568 halaman, sebagian besar ditulis dengan mengandalkan ingatan penulis, serta mencakupi bahasan sangat luas: Matematika, Filsafat, Sains, Kimia, Biologi, sampai Agama-agama. Madilog dirampungkan dalam “lebih kurang 8 bulan, dari 15 Juli sampai 30 Maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari” (7), di tengah situasi penjajahan dan pengejaran oleh Jepang. Nilai kebaruan Madilog barangkali mulai lekang oleh waktu, karena telah berselang tujuh dasawarsa, serta kemunculan pelbagai literatur mutakhir.

Akan tetapi, ada yang tetap relevan tatkala menyimak gagasan penulis tentang religiusitas. Jika disangkutkan dengan beberapa “peristiwa religius” yang menjadi perbincangan khalayak akhir-akhir ini, maka Madilog terdengar seperti “suara kenabian” yang mengingatkan kembali makna religiositas.  

Dari “Logika Mistik” ke Klaim Politik

Tan Malaka menggunakan istilah “logika mistik” mengacu pada “Logika yang berdasarkan Rohani,” yang terwakili melalui kutipan berikut: “Demikianlah Firmannya Maha Dewa Rah: Bersabda: maka timbullah bumi dan langit. Bersabda: maka timbullah bintang dan udara. Bersabda: maka timbullah sungai Nil dan daratan. Bersabda: maka timbullah tanah-subur dan gurun” (38).

Kutipan berdasarkan memori itu menjelaskan kepercayaan kuno dari tanah Mesir yang menyembah Dewa Matahari, yakni Dewa Rah. Sekaligus, mengingatkan umat Kristen pada teks Penciptaan dalam Kejadian 1, yang dikutip penulis sampai tiga pasal pada bagian lain (359-64). Logika gaib itu menerabas ruang, waktu, hukum alam, dan materi yang dilukiskan: “Roh tak perlu menunggu-nunggu, seperti pak tani menunggu-nunggu padinya sesudah benihnya ditanam” (39). Sebaliknya, Tan menyebut Teori Evolusi sebagai hukum yang takluk kepada ruang-waktu-hukum alam-materi (40-41). Tiada berlebihan jika melekatkan logika gaib dengan semangat “serba instan.”

Semangat instan(isme) kemudian berjumpa dengan “logika mukjizat” yang merupakan hasil pembacaan teks-teks mukjizat dalam Kitab Suci. Kalau “logika gaib” dan “logika mukjizat” memahami Tuhan sebagai Roh Pencipta Segala Serba Instan, dari “yang rohani” timbul “yang materi” dan terjadi sekejap, maka klaim kemenangan melalui “ibadah syukur” pada 18 Juli 2014 lalu (“rohani” dan “instan,” atau tiada takluk kepada “proses perhitungan”) yang menindas kenyataan konkret perhitungan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) (“materi”) oleh rohaniwan seperti Pdt. Jacob Nahuway, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI), dapat sedikit dipahami.

Barangkali saya terlalu bergegas. Karena itu, untuk memahami “logika Nahuway” perlu menelusuri “logika iman” seorang pendeta Korea beraliran Pentakosta, David Yonggi Cho. Selama masa studi di sebuah sekolah Alkitab di Korea Selatan, Nahuway banyak berinteraksi dengan Cho. Sosok yang kala itu telah memimpin sebuah megachurch bernama Yoido Full Gospel Church, menjadi tokoh inspiratif bagi seorang mahasiswa yang telah juga memimpin sebuah gereja megah di Jakarta. Dalam satu-dua kesempatan semisal “Seminar Pertumbuhan Gereja,” baik Nahuway maupun Cho merupakan dua pembicara yang mengisi sesi acara. Selain itu, Nahuway terdaftar sebagai anggota dari Church Growth International (CGI) yang didirikan Cho, dan pernah pula mengundang Cho untuk berkhotbah di GBI Mawar Saron.

Cho menulis beberapa buku, yang terutama adalah Dimensi Keempat (1989). Pembacaan Cho atas Kejadian 1, ditambah pengaruh pandangan Positive Thinking dari Norman Vincent Peale dkk., teologi kemakmuran ala Amerika, serta “pengalaman iman”-nya, melahirkan gagasan “dimensi keempat.” Kejadian 2:2c yang berbunyi: “… Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air” dipahami sebagai “Roh Allah yang mengeram.” Di tengah-tengah fase pra-penciptaan sampai ke fase pasca-penciptaan, terdapat fase pengeraman. Cho melukiskan seekor induk unggas yang mesti mengeram sebelum menelurkan anaknya.

Kemudian Cho menganalogikan “iman” yang diwujudkan dalam “doa mengeram” sebagai sarana untuk “menelurkan” segala impian, keinginan, dan harapan. Dalam praktik berdoa, Cho mengajarkan untuk mengimajinasikan secara detail keinginan dan harapan kepada “Tuhan.” Proses itu merupakan suatu visualisasi kreatif, seperti yang lazim dilakukan seorang atlet sebelum bertanding guna melampaui batas kemampuan, dengan membayangkan terlebih dulu keberhasilan pencapaian garis akhir. Makin tajam imajinasi tentang impian yang dihasratkan terkabul, semakin besar pula peluang khayalan menjadi kenyataan.        

Klaim kemenangan politik oleh Pdt. Jacob Nahuway dkk. adalah suatu “logika mengeram” ala Pdt. David Yonggi Cho. Proses mengklaim merupakan sebentuk visualisasi kreatif, supaya kemenangan dalam “dunia khayal” betul-betul terjadi dalam “dunia nyata.” Jika urusan klaim-mengklaim dipandang sebagai kreativitas imajinatif yang spiritual, maka konsekuensi logis ialah tindakan tersebut bukan perilaku tuna-etis, melainkan justru estetis, etis (sebab summum bonumnya ialah “sukses”), bahkan religius! Di sini pragmatisme politis hanya sekeping mosaik dari sebuah bingkai religiositas yang berdasar pada “logika dimensi keempat.”

Religiositas dan Madilog

Tampaknya, Tan Malaka mengalami “kegalauan” ketika mengamati religiositas masyarakat, baik di dalam negerinya yang terjajah itu, maupun di negeri-negeri pengasingan. Sang negarawan melukiskan bangsanya yang tertindas sebagai “proletar mesin dan tanah” dengan “kekuatan yang tersembunyi” yang sangat memadai untuk mengusir kaum imperialis, namun minus pendidikan, filsafat, serta “masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan takhayul campur aduk” (17).

Obsesi dunia akhirat dan penuh takhayul menjadi kilasan wajah religiositas yang mencuat di kerlingan Tan Malaka, yang melumpuhkan daya revolusioner untuk menghalau kabut kelam penindasan dan penjajahan manusia. Kehadiran dukun di depan Gedung Mahkamah Konstitusi untuk melakukan “operasi gaib” beberapa waktu lalu, barangkali adalah sisa-sisa kilasan tersebut, begitu pula ibadah perayaan kemenangan yang memungkiri data statistik, demikian mengabaikan kenyataan, kebenaran faktual dan evidensi, keilmuan, kerasionalan, serta kemanusiaan.       

Pada zamannya, Madilog, diharapkan penulis menjadi pegangan ampuh melawan imperialisme. Pergulatan ide-ide filsafat spekulatif bergeser menjadi perjuangan konkret masyarakat (antitesis) melawan penguasa zalim (tesis) agar tercipta “kemanusiaan yang adil dan beradab” (sintesis). Suatu kemanusiaan yang tersimpul dalam tiga kutipan yang tertulis di bawah sebuah patung tak bernama, kala Tan Malaka mengunjungi sebuah taman manusia internasional di pulau Jawa.

“Nyahlah segala macam isapan, tindasan dan kecongkakan.”

“Hiduplah persamaan manusia dan manusia serta bangsa dengan bangsa.”

“Hiduplah kemerdekaan berpikir buat ilmu pesawat dan seni” (565).  

Satu-dua “peristiwa religius” pasca-Pilpres adalah sekadar “cuilan kecil,” dan bukan keseluruhan paras religiositas di negeri ini. Kiranya, religiositas pasca-Pilpres bukan merupakan religiositas pra-Madilog, melainkan pasca-Madilog. Religiositas yang setelah berdialog dengan Madilog, menjadi lebih manusiawi, mengapresiasi kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, menghadapi kenyataan dan menghargai kejujuran, menjunjung tinggi kesetaraan (equity) dan keadilan, serta mengupayakan kesejahteraan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar