Selasa, 19 Agustus 2014

Obligasi Daerah Alternatif Pembiayaan

                     Obligasi Daerah Alternatif Pembiayaan

Joko Tri Haryanto  ;   Bekerja di Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu
KORAN JAKARTA, 18 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Tahun depan pemerintah provinsi (pemprov) Jawa Barat berencana menerbitkan obligasi daerah (OD) guna mendanai pembangunan Bandara Internasional Kertajati. Setelah diperingkat PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) AA-, besaran nominal obligasi daerah mencapai 3,5 triliun sampai 4 triliun rupiah. Pefindo juga memeringkat Kota Makassar (A-), Balikpapan (A), dan Provinsi DKI Jakarta (AA+).

Awalnya, Pemprov DKI Jakarta justru digadang-gadang yang pertama menerbitkan OD sebesar 1,7 triliun rupiah dengan tenor pinjaman 10 tahun untuk membiayai pembangunan infrasruktur. Rencana batal karena APBD DKI Jakarta sudah mencukupi, hanya perlu penajaman kegiatan dan efisiensi. OD sebetulnya hanya menjadi salah satu instrumen alternatif pendanaan publik yang relatif memadai.

Regulasinya juga sudah ada, di antaranya Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kemudian, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 147 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban dan Publikasi Informasi OD, serta beberapa paket peraturan Ketua Bappepam-LK terkait Penawaran Umum OD. OD adalah surat utang terbitan pemerintah daerah (pemda) bagi publik dan ditawarkan lewat pasar modal. Pemerintah (Pusat) tidak menjamin OD sehingga segala risiko ditanggung pemda.

Pemda akan membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktu (jatuh tempo), termasuk bunganya. Penerbitan OD hendaknya untuk membiaya infrastruktur masyarakat yang menghasilkan penerimaan bagi kas daerah (full cost recovery), seperti bandara, jalan tol, pelabuhan, serta terminal. Pemasukan juga untuk pembayaran bunga dan pokok pinjaman dari penerbitan OD agar tidak membebani APBD. Maka, OD tidak boleh untuk menutup kekurangan kas daerah maupun membiayai proyek-proyek publik yang tidak menghasilkan penerimaan seperti jalan umum dan jembatan, meskipun fasilitas-fasilitas tersebut memiliki nilai sosial tinggi. Dalam PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah disebutkan, OD memiliki karakteristik tertentu, di antaranya berjangka panjang (5 tahun atau lebih), diterbitkan melalui penawaran umum di pasar modal dalam negeri, dan bermata uang rupiah. OD dikawal beberapa pihak yang secara resmi ditunjuk sebagai pengelola.

Regulatornya adalah lembaga/instansi pemerintah yang memiliki kewenangan mengatur dan mengawasi penawaran umum di pasar modal. Ini tanggung jawab Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara self regulatory organization (SRO), sebagai lembaga atau organisasi yang berwenang mengeluarkan peraturan bagi kegiatan usahanya. Di pasar modal, SRO terdiri dari bursa efek, lembaga kliring, penjaminan, serta penyimpanan dan penyelesaian. 
Pihak yang menawarkan disebut emiten (Jawa Barat).

Pendukung lainnya pemegang efek, perusahaan efek, lembaga penunjang, dan profesi penunjang. Diapresiasi Rencana penerbitan OD Jawa Barat layak diapresiasi karena bisa berdampak multiplier. Bagi Pemerintah Pusat, penerbitan obligasi daerah ini diharapkan memutus siklus klasik kurangnya dana bagi pembangunan infrastruktur daerah. Dunia pasar modal dalam negeri juga akan diuntungkan dengan masuknya pemerintah ke dalam pasar sebagai bentuk diversifikasi sources yang didominasi swasta. Bagi Jawa Barat sendiri, selain mendapat tambahan sumber dana guna mengakselerasi pembangunan infrastruktur.

Jadi tidak hanya mengandalkan dana dari Pemerintah Pusat. Ini akan menjadi era baru sistem pengelolaan keuangan daerah. Keberhasilan penerbitan OD Jawa Barat diharapkan diikuti daerah lain. Kemandekan pembangunan transportasi umum di DKI Jakarta baik monorel, MRT, maupun Transjakarta bisa diatasi dengan cara ini. Publik akan merasa memiliki proyek-proyek tersebut karena terlibat membiayai secara langsung. Ini berbeda dengan proyek lain karena masyarakat hanya menjadi penikmat. Ketika seluruh mekanisme penerbitan di pasar modal sudah siap, akan sangat membantu pengalokasian dana ke daerah dalam APBN. Selama ini APBN sangat terbebani keharusan alokasi transfer ke daerah yang terus meningkat. Meskipun otonomi daerah sudah sejak 2001, faktanya daerah belum mandiri. Malahan, daerah justru semakin bergantung pada transfer dana dari pusat. Dalam APBN 2006, misalnya, alokasi transfer ke daerah 226,2 triliun rupiah dan menjadi 592,6 triliun pada tahun ini.

Dalam R-APBN 2015, pemerintah sepakat mengalokasikan transfer ke daerah 630,9 triliun. Komponen Dana Perimbangan meningkat menjadi 509,5 triliun dari 491,9 triliun dalam APBN-P 2014. Jadi, mengingat begitu banyak buah positif penerbitan OD, selayaknya pusat dan seluruh elemen yang terkait mendukung secara optimal. Jangan sampai, suatu mekanisme yang bertujuan baik, justru pada akhirnya menimbulkan prahara hanya karena buruk dalam pelaksanaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar