Mengurus
Infrastruktur Logistik
I Nyoman Pujawan ; Guru Besar Bidang Supply Chain
Engineering ITS; Anggota Tim Pengembangan Sistem Logistik Nasional di Bawah
Kementerian Koordinator Perekonomian
|
KOMPAS,
29 Agustus 2014
BEBERAPA
minggu yang lalu, saya berkesempatan melintasi jalan dari Bangkok menuju ke
sebuah universitas di wilayah Nakhon Ratchasima.
Jalan
yang panjangnya sekitar 275 kilometer kami tempuh sekitar 3,5 jam. Jarak ini
lebih kurang sama dengan jarak Surabaya-Banyuwangi. Tahun lalu,
Surabaya-Banyuwangi saya lalui dengan lama perjalanan sekitar 6,5 jam. Apa
yang membedakan? Jelas lebar dan kualitas jalan ataupun kepadatan lalu
lintas. Jalan dari Bangkok menuju Nakhon Ratchasima di Thailand hampir
sepenuhnya jalan tol yang lebar, lurus, dengan lalu lintas lebih lengang
dibandingkan dengan lalu lintas Surabaya-Banyuwangi.
Ini
hanya satu contoh ruas jalan yang begitu bagus di Thailand. Masih banyak ruas
jalan lain yang dibangun dengan kualitas yang sama menghubungkan titik-titik
ekonomi di Thailand. Hal yang sama akan kita jumpai di Malaysia. Jalan tol
yang mulus, misalnya, akan kita temukan dari Johor Bahru ke Kuala Lumpur yang
jaraknya sekitar 330 kilometer. Dari sekilas contoh ini, kita bisa tahu
perbedaan infrastruktur logistik di Indonesia dengan beberapa negara
tetangga. Belum lagi kalau kita membandingkan infrastruktur pelabuhan serta
efisiensi kerja mereka.
Sudah
sering sejumlah pihak di negara ini membahas pentingnya infrastruktur
transportasi dan logistik. Bahkan, tahun 2012, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang Sistem Logistik
Nasional. Tim kerja untuk implementasi ini berada di bawah Kementerian Koordinator
Perekonomian dan melibatkan beberapa kementerian teknis. Namun, perkembangan
infrastruktur transportasi dan logistik di negara kita masih demikian lambat.
Pertumbuhan jumlah truk dan mobil yang melintas serta kapal yang lalu lalang
tak diimbangi peningkatan ruas dan kualitas jalan serta pelabuhan. Kalau
ekonomi kita mau tumbuh lebih cepat dan lebih merata, suatu keharusan untuk
secara serius dan besar-besaran kita meningkatkan konektivitas antarwilayah,
antarpulau, dan antarsimpul-simpul ekonomi.
Infrastruktur logistik
dan daya saing
Infrastruktur
transportasi dan logistik yang buruk di negara kita telah menjadi penyebab
tidak kompetitifnya produk domestik, terutama hasil-hasil pertanian dan
perkebunan, serta maraknya produk-produk impor. Bayangkan saja, biaya untuk
mengangkut kontainer dari Sumatera Barat ke Jakarta lebih mahal dibandingkan
dengan biaya mengangkut kontainer yang sama dari Hongkong ke Jakarta.
Artinya, kalau ada produk seperti jeruk, pisang, dan apel yang ada di wilayah
Indonesia, harganya tidak akan bersaing di pasar kita sendiri karena biaya
mengangkutnya sampai ke pasar lebih mahal ketimbang untuk mendatangkan produk
kompetitor dari luar negeri.
Belum
lagi dengan tidak adanya jaringan logistik berpendingin yang sangat
diperlukan dalam pengangkutan dan penyimpanan produk-produk segar. Pembaca
yang pernah lewat daerah Kintamani di Bali pasti pernah menjumpai begitu
banyak petani yang menjajakan jeruk dan buah yang lain untuk dijual di
pinggir jalan. Pedagangnya terlalu banyak dan yang membeli terlalu sedikit.
Mungkin 80-90 persen buah itu akhirnya busuk dan terbuang. Penduduk perkotaan
kita menikmati jeruk impor. Bukanlah ini ironis?
Infrastruktur
transportasi dan logistik kita yang buruk sudah banyak ditulis sebagai
laporan berbagai kajian, baik oleh peneliti lokal maupun internasional. Data
dari USITC (2005) menunjukkan, infrastruktur logistik kita paling buruk
dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Skor untuk pelabuhan laut,
misalnya, nilai kita 5,91 (paling besar, yang berarti paling buruk)
dibandingkan dengan Malaysia (4,98), Thailand (5,50), Vietnam (5,09),
Filipina (4,85), dan Singapura (4,36).
Bank
Dunia juga secara periodik merilis apa yang mereka namakan sebagai logistics
performance index (LPI), di mana untuk 2014 kinerja logistik Indonesia di
urutan ke-53 dunia. Bandingkan, misalnya, dengan Malaysia yang ada di urutan
ke-25, Thailand (35), Singapura (5), dan Vietnam (48). Salah satu elemen yang
menjadi dasar dalam penilaian LPI adalah infrastruktur.
Besaran
biaya logistik untuk negara-negara seperti Amerika berkisar sekitar 10 persen
dari produk domestik bruto (PDB) mereka. Sementara Indonesia, menurut
perkiraan beberapa kalangan, lebih dari 20 persen dari PDB. Infrastruktur
yang buruk dan kemampuan pengelolaan yang rendah membuat begitu banyak truk
yang berjalan lambat, kapal yang antre lama di pelabuhan, produk-produk yang
rusak di perjalanan, ditambah lagi biaya-biaya pungutan di jalan yang membuat
biaya untuk mengirim barang dari satu wilayah ke wilayah lain di Indonesia
menjadi mahal.
Singapura
adalah salah satu negara yang meraup pendapatan yang sangat besar dari sektor
transportasi dan logistik. Pelabuhan laut dan bandar udara mereka ciptakan
untuk menjadi hub di Asia. Pelabuhan Singapura memang dirancang untuk menjadi
persinggahan kapal-kapal besar yang membawa barang dari Eropa atau benua lain
untuk tujuan Asia atau sebaliknya. Tulisan seorang dosen MIT (Sheffi, 2012)
menyatakan, pelabuhan ini melayani sekitar 200 perusahaan pelayaran (shipping
lines) dan memiliki koneksi dengan sekitar 600 pelabuhan lain di dunia. Tak
mengherankan jika negara yang penduduknya hanya sekitar 5 juta ini mencatat
nilai impor dua kali nilai impor Indonesia.
Tentu
saja impor yang besar itu tidak dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan
penduduknya karena sekitar 85 persen kontainer yang datang di pelabuhan
Singapura sebenarnya adalah untuk dikirim lanjut (transshipment) ke
negara-negara di sekitarnya, termasuk Indonesia. Artinya, kapal-kapal yang
membawa barang untuk tujuan Indonesia kebanyakan harus singgah dulu (dan
membayar jasa) ke pelabuhan Singapura. Hal ini tentu saja terjadi karena
pelabuhan Singapura memang sudah lama menjalin hubungan yang baik dengan shipping lines, pelabuhan lain di
dunia, serta memang memiliki infrastruktur yang sangat memadai dan prosesnya
efisien.
Di
samping pelabuhan yang besar dan efisien, Singapura juga memiliki
infrastruktur pendukung, seperti pusat-pusat pergudangan yang memadai dan
dikelola oleh perusahaan-perusahaan logistik kelas dunia. Tulisan seorang
peneliti bidang logistik (Tongzon, 2011)
menyatakan bahwa ada sekitar 8.000 perusahaan logistik yang beroperasi di
Singapura dan 17 di antaranya masuk dalam 25 perusahaan logistik terbesar di
dunia.
Agenda ke depan
Salah
satu rencana aksi dari sistem logistik nasional adalah membangun pelabuhan
hub internasional di Kuala Tanjung. Secara posisi, tempat ini memang
strategis karena dekat dengan Selat Malaka yang dilalui sekitar 30 persen
kargo laut dunia. Namun, pertanyaannya, cukup besarkah energi pemerintah
untuk membangun pelabuhan sekelas dengan Tanjung Pelepas atau sedikit di
bawah pelabuhan Singapura? Pertanyaan kedua, cukup besarkah kemampuan menarik
perusahaan pelayaran kelas dunia untuk membawa kapalnya merapat di sana
nanti? Tentu ini tergantung dari apakah pelabuhannya cukup mentereng, apakah
pelayanannya cukup prima, serta apakah tersedia layanan pendukung yang cukup
memadai, seperti alat penampungan peti kemas yang luas dan area pergudangan
(termasuk yang berpendingin).
Tentu
senang mendengar berita-berita bahwa salah satu fokus pada pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla adalah membangun infrastruktur. Pembangunan infrastruktur
haruslah menaruh prioritas yang sangat tinggi pada penciptaan konektivitas
simpul-simpul ekonomi. Ini adalah prasyarat mahapenting untuk menciptakan
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
Tanpa
konektivitas yang baik, pertumbuhan ekonomi hanya akan terkonsentrasi di
daerah-daerah tertentu, sedangkan daerah-daerah yang terisolasi akan semakin
tertinggal dari kemajuan ekonomi. Saya membayangkan ada jalan tol yang mulus
dan panjang yang menghubungkan Sumatera dari utara sampai ke selatan,
antarprovinsi di Sulawesi, begitu juga di pulau-pulau lain.
Gagasan
yang dilontarkan oleh presiden terpilih Joko Widodo di sejumlah kesempatan
kampanye dan debat mengenai tol laut juga sesuatu yang menarik. Namun, tentu
pembangunan sistem transportasi dan logistik harus dilakukan secara
terintegrasi. Kapal laut yang mondar- mandir barat-timur melalui beberapa
titik pelabuhan di sepanjang Nusantara membutuhkan keseimbangan muatan dari
satu titik ke titik lain. Jika tidak, kapal yang kembali ke arah barat dari
wilayah timur Indonesia akan sering kosong, yang lagi-lagi mengakibatkan
biaya angkut yang tinggi. Pembangunan wilayah timur harus lebih cepat,
pusat-pusat produksi harus digenjot agar ada keseimbangan muatan antara barat
dan timur. Di samping itu, perlu dipikirkan pula membangun pintu impor di
wilayah timur sehingga kargo yang datang dari sebagian Asia Pasifik dan
Amerika masuk di pintu Indonesia timur. Ini akan menyeimbangkan muatan
barat-timur dan memberikan peluang untuk munculnya pusat-pusat pertumbuhan di
wilayah timur.
Tentu
ini bukanlah gagasan yang mudah untuk direalisasikan. Ada banyak fasilitas
pendukung yang juga harus dibangun. Saya teringat hasil wawancara saya
terhadap sebuah pelaku usaha yang mengirim barang ke banyak pelabuhan di
wilayah timur Indonesia yang mengeluhkan sering listrik pada dan mengganggu
kelancaran operasi pelabuhan. Artinya, infrastruktur harus dibangun sebagai
suatu sistem yang terintegrasi, termasuk pasokan listrik yang juga harus
mencukupi. Untuk merealisasikan hal yang sangat penting, besar, dan kompleks
ini, pemerintah membutuhkan kementerian yang khusus menangani permasalahan
infrastruktur, transportasi, dan logistik secara terintegrasi. Tugas-tugas
ini sekarang mungkin tersebar di banyak kementerian, seperti Kementerian
Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan. Namun, harus dibuat lebih fokus
dan terintegrasi dengan anggaran yang jauh lebih besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar