Kritik
terhadap Program Kartu Indonesia Sehat
Kartono Mohamad ; Dokter
|
KORAN
TEMPO, 29 Agustus 2014
Pada
umumnya para politikus, masyarakat, dan media massa beranggapan bahwa masalah
kesehatan di negeri ini adalah masalah sulitnya orang miskin mendapatkan
pelayanan pengobatan ketika sakit. Karena itu, konsep penyelesaiannya adalah
menambah rumah sakit, puskesmas (balai pengobatan), penyediaan dokter, dan
skema pembiayaan kesehatan bagi orang miskin. Joko Widodo mungkin pernah
berhasil dengan program Kartu Sehat di Kota Solo dan beranggapan bahwa cara
itu juga akan berhasil diterapkan di seluruh Indonesia. Untuk itu, dia
mengajukan konsep Kartu Indonesia Sehat (KIS). Tapi Indonesia bukanlah Solo
atau Jakarta, yang mempunyai sarana pelayanan pengobatan yang cukup dan
sarana transportasi serta komunikasi yang sudah baik.
Konsep
penyelesaian masalah kesehatan rakyat dengan penekanan pada pengobatan,
seperti penggunaan KIS, memang secara politis menarik. Sebab, pemerintah
terkesan "baik hati" dengan memperhatikan kesehatan rakyat.
Demikian pula pembangunan sarana pengobatan, baik rumah sakit maupun balai
pengobatan (saat ini puskesmas identik dengan balai pengobatan), mengesankan
hasil pembangunan dalam waktu singkat tampak bentuknya. Hal ini berbeda
dengan program pencegahan yang hasilnya tidak segera tampak secara dramatis.
Suatu
hal yang juga mungkin kurang disadari para elite politik adalah: program
kuratif memerlukan sarana yang mahal. Sebab, selain bangunan fisik,
diperlukan pula sejumlah tenaga profesional dan teknologi yang memadai.
Sementara itu, cakupannya sebatas orang yang datang berobat. Semakin lama,
biayanya pun semakin mahal. Di sisi lain, secara kultural, masyarakat hanya
akan berobat ke sarana itu setelah penyakitnya terasa sudah parah sehingga
biaya pengobatannya pun akan lebih mahal.
Konsep
KIS memang menjanjikan bahwa pemerintah akan menanggung biaya pengobatan,
tapi tidak menjamin bahwa seorang pengidap TBC, misalnya, akan datang ke
puskesmas pada fase awal penyakitnya. Padahal, pada fase ini pengobatan akan
lebih mudah dan lebih murah. KIS juga tidak akan menjamin bahwa orang tua
akan menjaga anak-anaknya dari bahaya asap rokok di rumah supaya tidak mudah
sakit. Di samping itu, program ini tidak akan membuat seseorang berusaha
menghindari penyakit, termasuk penyakit menular seksual. Toh, kalau sakit
akan dibayari oleh negara.
Untuk
itu, visi kesehatan pemerintah yang terpaku pada aspek kuratif akan mengecoh
diri sendiri. Visi kesehatan pemerintah seharusnya tidak terpaku pada bantuan
terhadap rakyat miskin untuk membayar biaya pengobatannya. Visi kesehatan
pemerintah seharusnya mencita-citakan rakyat Indonesia yang tidak gampang
jatuh sakit, sehingga mampu hidup lebih produktif. Contoh, pemerintah Kota
Bangkok mempunyai visi bahwa pada 1998 tidak ada lagi perempuan di Kota
Bangkok yang meninggal karena kehamilannya. Hal ini diwujudkan bukan dengan
membuka tempat persalinan yang banyak, melainkan menjamin bahwa setiap
kehamilan berlangsung secara sehat sejak awal.
Karena
itu, tugas menteri kesehatan bukan hanya menyebarkan dokter dan perawat ke
seluruh pelosok negeri atau menyediakan rumah sakit di mana-mana. Tugas
menteri kesehatan adalah menjaga agar rakyat tidak jatuh sakit, sehingga
menghemat biaya pengobatan. Bukan hanya biaya yang dari pemerintah, tapi juga
yang dibayar sendiri oleh rakyat, baik langsung maupun tidak langsung. Dengan
begitu, uang yang dialokasikan untuk pengobatan dapat digunakan untuk hal yang
lebih produktif dan meningkatkan daya tabung keluarga. Di samping itu, rakyat
yang selalu dalam keadaan sehat juga akan menjadi sumber daya manusia yang
lebih tangguh.
Sudah
seharusnya presiden melihat bahwa program kesehatan bukanlah program untuk
menunjukkan budi baik (karitatif), melainkan sebuah program investasi untuk
kepentingan ekonomi negara. Seperti kata Bismarck, kanselir Prusia (Jerman)
pada awal era industrialisasi Jerman, "kalau mesin pabrik selalu dirawat
agar dapat selalu berfungsi, para pekerja pun harus selalu dijaga agar mereka
tetap sehat sehingga sanggup menjalankan mesin-mesin tersebut. Tanpa pekerja
yang sehat, mesin-mesin itu juga tidak akan produktif."
Patut
pula dicatat bahwa konsep puskesmas yang dikembangkan oleh Dr Leimena, Menteri
Kesehatan pada 1952, bukan sekadar balai pengobatan. Puskesmas adalah pusat
untuk menjaga agar masyarakat di wilayah kerjanya tetap hidup sehat.
Puskesmas harus diawaki oleh petugas yang mengerti soal pendidikan higiene
kepada rakyat sekitarnya. Saat ini puskesmas diawaki oleh dokter yang
didorong untuk berpikir kuratif, dan perawat yang dididik untuk merawat
pasien di rumah sakit.
Konsep
Leimena itu sudah berubah 180 derajat sejak awal Orde Baru. Puskesmas sudah
dimaknai sebagai balai pengobatan dan menunggu orang sakit datang berobat.
Secara tertulis, ada program-program pencegahan, tapi tidak berjalan karena
anggaran tidak tersedia. Penekanan kuratif malah semakin menonjol. Bahkan,
adakalanya pemerintah daerah melihat puskesmas sebagai sumber pendapatan.
Dengan begitu, bagi pemerintah daerah, semakin banyak warga yang sakit akan
semakin baik, karena semakin besar pula retribusi untik daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar