Minggu, 31 Agustus 2014

“Subsidi” Petani Gurem

“Subsidi” Petani Gurem

Suharto  ;   Fungsionaris DPPPDI Perjuangan,
Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM
SUARA MERDEKA, 30 Agustus 2014

                                                                                                                       


Dalam RAPBN 2015 yang dibacakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan DPR dan DPD, Jumat (15/8/2014), pemerintah mengajukan anggaran subsidi secara keseluruhan Rp 433,512 triliun atau naik Rp 30,476 triliun dibanding angka subsidi pada APBN-P 2014. Dari total subsidi Rp 433,512 triliun itu, sebagian besar dialokasikan untuk subsidi energi, yaitu Rp 363,534 triliun.

Adapun subsidi nonenergi mencapai Rp 69,977 triliun atau naik Rp 17,252 triliun dibanding APBN-P2014. Subsidi nonenergi tersebut, terdiri atas subsidi pangan Rp 18,939 triliun, subsidi pupuk Rp 35,703 triliun, subsidi benih Rp 939,4 miliar, subsidi public service obligation Rp 3,261 triliun, subsidi bunga kredit program Rp 2,484 triliun, dan subsidi pajak Rp 8,650 triliun.

Apakah petani gurem (peasent) yang menggantungkan hidup pada lahan kurang dari 0,5 ha ikut menikmati subsidi itu? Selama ini subsidi pupuk lebih banyak dinikmati petani dengan kepemilikan lahan luas, petani berdasi, bahkan pengusaha dan BUMN. Petani gurem tetap terpinggirkan karena tak punya akses ke regulasi, permodalan, dan pasar.

Padahal, jumlah mereka kini meningkat dari sebelumnya 44,51% menjadi 56,41%. Itulah tantangan berat presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo- Jusuf Kalla. Apalagi Presiden SBY ”mewaris” utang subsidi pupuk. Mei lalu, Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan pemerintah menunggak utang Rp 16,7 triliun kepada PT Pupuk Indonesia Holding Company untuk membiayai pupuk bersubsidi.

Angka ini didapat dari akumulasi utang sejak 2012. Lebih ironis lagi bila dihadapkan fakta bahwa subsidi pupuk lebih banyak dinikmati petani berdasi, pengusaha dan BUMN. Apalagi dalam penyalurannya banyak terjadi kebocoran. Masalah kronis lain adalah 52% jaringan irigasi di provinsi utama penghasil beras rusak, berdasarkan data 2013. Sebab itu, ide mengalihkan subsidi pupuk ke bentuk lain kian relevan dipertimbangkan.

Tujuannya supaya subsidi dinikmati merata oleh semua petani, termasuk petani gurem yang selama ini hanya mendapat manfaat relatif sedikit dari subsidi pupuk. Misalnya, untuk perbaikan irigasi di berbagai daerah. Untuk memperbaiki seluruh irigasi, menurut Menteri Pertanian Suswono, dibutuhkan anggaran Rp 21 triliun.

Tiga Kali Panen

Dengan irigasi lancar, petani bisa tiga kali panen dalam setahun. Dengan asumsi kepemilikan lahan pertanian rata-rata 1 ha dan produktivitas 7 ton gabah kering/ha, petani bisa mendapat Rp 28 juta/ha tiap masa tanam dengan asumsi harga gabah kering Rp 4 ribu/kg.

Dari Rp 28 juta, katakanlah biaya produksi hanya Rp7 juta maka setiap masa tanam petani mendapatkan penghasilan Rp 21 juta atau Rp 5 juta/ha/bulan.

Dalam kaitan hal itu, Jokowi-JK berjanji merehabilitasi jaringan irigasi yang rusak terhadap 3 juta ha lahan pertanian, mencegah pencemaran air sawah dari sungai, dan meningkatkan pemeliharaan infrastruktur pertanian, termasuk pembangunan baru.

Bagaimana dengan petani gurem? Tentu harus ada ”subsid” lain, misalnya redistribusi lahan melalui reformasi agraria seperti dijanjikan Jokowi-JK semasa berkampanye. Sangat penting untuk meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian. Jokowi-JK pun berjanji meningkatkan redistribusi tanah 1,1 juta ha ntuk 1 juta kepala keluarga petani kecil dan buruh tani setiap tahun.

Keduanya juga berjanji menyiapkan 9 juta ha tanah untuk petani dan buruh tani, serta program 1.000 desa berdaulat benih hingga 2019. Lahan pertanian memang masih bermasalah di Indonesia, antara lain soal konversi atau alih fungsi lahan 50.000 ha per tahun untuk kepentingan di luar pertanian. Bahkan total lahan yang dikuasai petani menyusut dari 10,5% menjadi 4,95%.

Jokowi JK berjanji mempertegas pencegahan konversi lahan pertanian. Kita tunggu realisasi janji-janji itu, termasuk ”subsid” bagi para petani gurem dan buruh tani yang oleh Bung Karno disebut kaum marhaen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar