Rabu, 27 Agustus 2014

Mengkaji Legalisasi Aborsi

Mengkaji Legalisasi Aborsi

Dewi Ayu Jamilah  ;   Peneliti kesehatan dari Stikes Cendekia Utama Kudus
SUARA MERDEKA, 27 Agustus 2014
                                                


Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 melegalisasi aborsi oleh korban pemerkosaan (SM, 14/8/14). Meskipun banyak kalangan menilai sudah tak ada kontroversi, kebijakan baru itu justru paradoks bagi dunia kesehatan, agama, dan perempuan. Perlu mengkaji ulang supaya tak menjadi bumerang di dunia hukum, kesehatan, serta tidak berisiko diselewengkan.

Meskipun aborsi yang dimaksud adalah sebelum janin berumur 40 hari, hal itu sama saja membunuh calon bayi. Padahal, janin  adalah makhluk yang telah memiliki kehidupan  dan  harus  dihormati. Menggugur­kannya berarti  menghentikan/menghilangkan kehidupan  yang  telah ada. Maka, hukum aborsi adalah haram, berdasarkan sejumlah dalil, termasuk agama.

Kemunculan PP itu berisiko melahirkan pihak yang memanfaatkan legalisasi terbatas untuk mengaborsi anak korban perzinaan. Hal itulah yang seharusnya jadi proyek utama untuk dicegah, bukan sekadar menerbitkan PP. Dari segi hukum, banyak pasangan muda tak sah melakukan aborsi.

Salah satu pihak yang tak setuju adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Zainal Abidin, Ketua umum organisasi itu menyatakan keberatan mendasarkan dua hal. Pertama; melanggar Pasal 338 KUHP. Kedua; hal itu melanggar dan bertentangan dengan sumpah profesi dokter dan aspek sosiologis masyarakat (Kompas, 15/8/14).

Pasal 299, 338, 346, 348 dan 349 KUHP adalah pasal yang melarang aborsi dengan sanksi hukum berat. Tak hanya pada wanita yang aborsi, namun juga terhadap mereka yang terlibat, semisal dokter, dukun, tukang obat atau orang yang menganjurkan aborsi. Jadi, secara hukum, PP Nomor 16 Tahun 2014 sangat paradoks.

Regulasi itu juga bertentangan dengan fatwa haram aborsi oleh MUI, yaitu fatwa Nomor 1/Munas VI/MUI/ 2000 tentang Aborsi. PP baru itu juga kontradiksi dengan UU Nomor 23 Ta­hun 1992 tentang Kesehatan. Apalagi, menurut WHO sejak 2008, rata-rata aborsi di Indonesia adalah karena kesengajaan (induced abortion).

Peraturan pemerintah itu memberi peluang kepada pasangan muda-mudi yang melakukan kumpul kebo mendapat jaminan untuk tidak punya anak. Dengan begitu, orang aman-aman saja hidup bersama tanpa nikah. Jika hidup bersama tanpa nikah sudah dianggap aman, perzinaan makin meningkat.

Dalam sejarah Islam, kehancuran kaum Nabi Luth disebabkan faktor pelampiasan nafsu birahi di luar ajaran agama. Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Nasional Jateng dr Hartono Hadisaputro SpOG menyatakan, di Indonesia diperkirakan ada 2,5 juta kasus aborsi tiap tahun. Artinya, ada 6.944-7.000 perempuan aborsi tiap hari (Kompas, 20/9/13).

Belum Siap

Aborsi sebenarnya bukan sekadar masalah hukum dan kesehatan, melainkan lebih pada moral sebagian generasi muda yang makin ’’bebas’’ andai aborsi dilegalkan. Ada beberapa solusi untuk menjawab kontroversi PP tersebut. Pertama; Kemenkes, MUI dan semua pemangku kepentingan, termasuk IDI, perlu mengkaji ulang PP tersebut.

Banyak kalangan menilai regulasi itu sangat kontroversial dan belum siap diterapkan. Bahkan, melahirkan potensi kejahatan berupa perzinaan bagi muda-mudi yang belum nikah. Kedua; moral dan budaya seks bebas generasi muda. Jika aborsi dilegalkan bagi korban pemerkosaan, hal itu memberi peluang bagi sebagian generasi muda untuk kumpul kebo.

Ketiga; pemerintah perlu ’’merevolusi hukum” dan menuntaskan akar masalah, yaitu zina dan seks bebas pada sebagian remaja. Dari perbuatan tercela itulah aborsi makin menjamur. Jika akar masalah terputus, aborsi pasti minim terjadi. Kempat; kembali merundingkan supaya pengundangan regulasi baru tak memicu problem.

Kelima; pemerintah harus ’’melegalkan’’ Pasal 485 RUU KUHP, bukan aborsi bagi korban pemerkosaan. Pasal itu mengamanatkan bahwa tiap orang yang hidup bersama bagai suami istri di luar perkawinan sah, dipidana paling lama setahun atau pidana denda. Bila ingin meminimalkan kehamilan di luar nikah, RUU itu harus disahkan, bukan melegalkan aborsi yang tak terkait keselamatan jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar